jpnn.com - SETAPAK tak akan mundur. Biar mati berkalang tanah daripada hidup terjajah.
-------
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
-------
BACA JUGA: Ketika Urang Awak Menolak Bayar Pajak
Rombongan 17 menjadikan Padang Mardani yang dikenal sangat angker sebagai markas. Separuh area lapangan Padang Mardani tanah pekuburan rakyat berseling pohon-pohon besar.
Malam hari di sana berkabut. Jarak pandang dekat. Tiap malam Rombongan 17 bersilat dan berstrategi di sana.
BACA JUGA: Baca Nih...Trik Hamengkubowono X Macarin Pemudi Ibukota
Berontak
Peraturan pajak yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda menggelorakan perlawanan rakyat Minangkabau.
BACA JUGA: Bukan Pindad! Inilah Kisah Pabrik Senjata Pertama...
15 Juni 1908. Perang Kamang meletus. Ali dan Rasyid, anggota Rombongan 17 terlibat dalam parang basosoh itu. Rakyat Kamang menjuluki Ali; Putra Manggopoh Aceh Pidi, karena keberaniannnaya seperti rakyat Aceh melawan Belanda.
Esok harinya, Rasyid dan Ali tiba di Manggopoh dengan keris berlumuran darah kering. “Kita perang sekarang,” seru Ali. Semua hening. Siti maju tiga langkah dan berkata, “kenapa semua terdiam. Ini waktunya. Yang mau ikut maju ke depan.”
Rasyid menimpali. Dia maju seraya mengacungkan keris ke langit. Yang lain serentak mengikuti.
Mereka lalu mengangkat sumpah di atas Al-Qur’an. “Allahu akbar. Setapak tak akan mundur. Biar mati berkalang tanah daripada hidup terjajah. Siapa mungkir janji dikutuk kalamullah. Allahu akbar.”
Usai itu, sebagaimana dikisahkan dalam buku Siti Manggopoh, Rasyid mengangkat sumpah sendirian.
“Seandainya kita tertangkap hidup-hidup, biarlah saya seorang yang menjalankan hukumannya. Walau dihukum gantung.”
Detik-detik Menegangkan
Malam tiba. Dalam perjalanan ke markas Belanda, atas usulan Siti, mereka singgah di masjid Parit. Di situ ada pusaro limo, makam leluhur yang dikeramatkan. Rombongan mengelilingi pusaro sebanyak 7 kali.
Rahman Sidi Rajo yang punya ilmu garak, menancapkan kayu yang sudah diruncingkan ujungnya ke tanah.
“Ayo cabut. Siapa yang ragu-ragu, akan mudah mencabut kayu ini. Yang berhasil mencabutnya pulang saja ke rumah. Tak usah ikut,” katanya. Tak satu pun dari mereka berhasil mencabut batang kayu itu.
Pukul setengah sembilan malam, tiga orang mendekati benteng sebagai pedagang buah manggis. Sejurus kemudian seorang kurir diutus untuk memastikan. Jam 10 malam benteng dikepung rapat. Tak seanginpun tercium belanda.
Jelang pukul 00.00, Ali masuk markas Belanda. Dia berhasil memadamkan semua lampu, kecuali lampu kamar letnan.
"Saat masuk kamar letnan, Ali dicekek sang letnan sampai matanya mendelik," kenang Mande Siti--begitu perempuan bagak ini dipanggil ketika sudah tua--sebagaimana dikisahkan Abel Tasman, Nita Indrawati, Sastri Yunizarti Bakry dalam buku Siti Manggopoh.
Siti bergerak. Dihantamnya bahu letnan pakai ruduih (parang). Letnan balik menyerang. Dalam sebuah gerakan, rambut Siti yang panjang berhasil dijambak letnan dan dikalungkan ke batang lehernya.
Siti menyambar lampu kamar letnan dengan senjatanya. Padam. Dan sejurus kemudian, letnan berteriak. Ruduih Siti bersarang di perut letnan.
Pembantaian dimulai. Rombongan 17 terlatih bergerak dalam gelap. Satu persatu serdadu Belanda tewas disembelih.
Sebanyak 54 dari 55 serdadu Belanda yang bermarkas di Manggopoh terbunuh. Seorang yang berhasil melarikan diri melapor ke Bukittinggi. Tak berselang lama, Belanda pun melakukan pembalasan.
"Pemberontakan bisa dipadamkan oleh Belanda. Tapi semangat perlawanan hidup terus bagaikan api dalam sekam," tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 3.
Siti ditangkap. Saat disidangkan, hakim bertanya, "apakah kamu menyesal?"
Lantang Siti menjawab, "ya, menyesal. Saya menyesal karena tidak semua Belanda yang ada di markas itu terbunuh."
Siti ditahan di penjara Lubuk Basung 14 bulan. Lalu dipindah ke penjara Pariaman 16 bulan dan penjara Padang 12 bulan. Kemudian dibebaskan. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Belanda ke Jepang, Galangan Kapal Terbesar Itu Dikuasai Republiken
Redaktur : Tim Redaksi