jpnn.com, JAKARTA - Pengajar hukum administrasi negara dan hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia Henry Darmawan menyoroti kebijakan Pemprov DKI Jakarta terkait biaya yang dikenakan terhadap Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) jaringan air, listrik, telekomunikasi telepon/internet.
Menurut Henry, dalam UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik diatur negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945.
BACA JUGA: Elektabilitas Ganjar Melejit Bisa Jadi Gegara Peristiwa Waktu itu
Di pasal 5 dijelaskan, kebutuhan dasar tersebut yakni pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup.
Kemudian kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
BACA JUGA: Jangan Beri Kesempatan Militer Mudah Masuk Urusan Domestik
Henry kemudian memaparkan aturan yang ditetapkan dalam UU 36/1999 tentang Telekomunuikasi.
Disebut jaringan telekomunikasi dapat memanfaatkan/melintasi tanah negara, bangunan milik/dikuasai pemerintah.
BACA JUGA: Psikolog Ingatkan Bahaya Penggunaan Smartphone dan Internet!
Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan. Termasuk melintasi sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar. Serta menggunakan bahu jalan.
Dalam pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Namun ada pemda yang menafsirkan perizinan ini dikaitkan dengan pembayaran kontribusi."
"Seharusnya pemda tidak boleh menafsirkan lain. Perizinan ya perizinan saja, jangan dikasih embel-embel lain," ujar Henry dalam diskusi publik bertajuk Keadilan Kabel Jakarta, Kamis (26/8).
Dia kemudian menyebut UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Retribusi yang dimaksud, pemakaian kekayaan daerah seperti penyewaan tanah dan bangunan, laboratorium, ruangan dan kendaraan bermotor.
Menurut Henry, dalam UU ini mengecualikan pengenaan retribusi termasuk sewa tanah selama kegiatan tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
"Sangat jelas disebutkan di penjelasan aturan tersebut, penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, antara lain pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum."
"Sehingga, pemancangan tiang dan menanam kabel untuk listrik atau telekomunikasi tidak termasuk objek retribusi dan sewa. Pemda tidak berhak menarik retribusi dan sewa," katanya.
Lebih lanjut Henry merujuk PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Undang-undang mengatur penyelenggara telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/departemen/lembaga atau pihak lain.
"Berdasarkan PP 52/2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi pemindahan kabel udara di Jakarta seharusnya operator telekomunikasi bisa mendapatkan kompensasi."
"Mengacu Pasal 70 PP 52/2000, Pemprov DKI harus memberikan ganti rugi ke perusahaan telekomunikasi," katanya.
Sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, PP 46/2021 tentang Pos Telekomunikasi Penyiaran juga memberikan kemudahan untuk menggelar jaringan telekomunikasi.
Pasal 21 menyebut dalam penyelenggaraan telekomunikasi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berperan menyediakan fasilitas untuk digunakan operator telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa tanah, bangunan atau infrastruktur pasif telekomunikasi.
"Jadi, biaya SJUT itu seharusnya tidak masuk target pendapatan daerah. SJUT harus dijadikan pengeluaran untuk memberikan pelayanan ke masyarakat."
"Jika dijadikan target pendapatan, akan membebani masyarakat. Jika SJUT gratis, harga barang dan jasa ke masyarakat jadi lebih murah," pungkas Henry.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang