jpnn.com, JAKARTA - Isu legalisasi ganja untuk keperluan medis kembali mencuat di tengah masyarakat.
Hal itu terjadi setelah orang tua yang membutuhkan ganja untuk pengobatan anaknya viral.
BACA JUGA: Desakan Legalisasi Ganja untuk Medis Mencuat, Mabes Polri Buka Suara
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akhirnya angkat bicara soal legalisasi tersebut.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyatakan penggunaan ganja medis saat ini memerlukan pengkajian yang mendalam untuk memastikan keamanan dan keselamatan pasien.
BACA JUGA: Pernyataan Tegas Komjen Petrus soal Legalisasi Ganja di Indonesia, Simak Kalimatnya
"Kami harus benar-benar mengkaji ini karena pasti akan efek samping. Itu harus jadi perhatian kami," katanya seusai pembukaan Konferensi Asosiasi Dokter Medis Sedunia di Jakarta, Senin (4/7).
Adib melanjutkan, obat baru harus berbasis pada bukti klinis.
BACA JUGA: Legalisasi Ganja Medis, Begini Pernyataan Terbaru Polri
Menurut dia, obat tersebut perlu dikaji apakah dijadikan sebagai obat utama, pendukung yang diberikan bersamaan dengan obat lain, atau obat alternatif jika pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
"Ini yang harus dipahami karena dalam penatalaksanaan penyakit itu ada yang namanya golden standard, mana yang harus kami obati dan mana pengobatannya. Semuanya melewati proses berbasis bukti," ungkap Adib.
"Jadi, kami harus benar-benar mengevaluasi dalam bentuk riset. Sebab, kepentingan kami saat ini adalah keselamatan pasien," tegasnya.
Proses riset tersebut, kata Adib, meliputi berbagai tahapan, termasuk pengumpulan jurnal-jurnal ilmiah untuk dijadikan referensi, analisis data, hingga tahap uji klinis.
Adib mengatakan IDI siap berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk berkolaborasi membuat satu kajian ilmiah mengenai ganja medis.
"Kami siap berkolaborasi untuk membuat satu kajian based on research mengenai ini. Namun, pengobatan yang sudah menjadi golden standard harus kami lakukan," ujar Adib.
"Saya kira kami juga bisa libatkan para pakar, seperti pakar farmakologi untuk melakukan pengkajian ini. Kemudian, lembaga riset. Semuanya dilibatkan," ucapnya. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tarmizi Hamdi