jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Rakyat Lawan Oligarki menilai upaya penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden sebagai pengkhianatan terhadap UUD 1945. Tak hanya itu, para elite negeri yang menyuarakan hal tersebut seperti ingin melihat rakyat berdarah kembali layaknya menumbangkan rezim Orde Baru.
Hal tersebut disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Abdul Kholiq dalam diskusi daring.
BACA JUGA: Penundaan Pemilu 2024 Dinilai sebagai Perselingkuhan Pemerintah dengan Pebisnis
Koalisi tersebut menilai pemerintah dan DPR tidak pernah peduli dengan pendapat rakyat mengingat produk legislasi selama ini yang ugal-ugalan, minim informasi, antikritik, dan mengabaikan partisipasi rakyat.
"Mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK, Omnibus Law UU Cipta Kerja, hingga UU IKN yang dikebut dengan cara-cara yang sama, yaitu tidak pernah mau mendengar protes dan keluhan rakyat," kata Abdul, Sabtu (19/3).
BACA JUGA: Survei DSI: Elektabilitas Golkar dan Airlangga Tertinggi, Bagaimana Posisi PDIP?
Dia mengutip pernyataan Jules Verne dalam buku berjudul 'Twenty Thousand Leagues Under The Sea' yang mengatakan kekuasaan punya telinga tetapi tidak mendengar, punya mata tetapi tidak melihat.
Oleh karena itu, menurut dia, wacana penundaan pemilu perlu diwaspadai karena sudah ada tindakan nyata para elite politik yang berupaya merealisasikan penundaan itu.
BACA JUGA: Santri di Nganjuk Mendukung Airlangga Hartarto Maju Capres 2024
Buktinya, anggota kabinet Presiden Joko Widodo telah menyuarakan keinginan menunda pemilu atau menambah masa jabatan secara terbuka.
Sikap itu ditunjukkan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, diikuti oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Tidak hanya itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengeklaim sebuah data yang disebut menunjukkan 110 juta akun media sosial masyarakat Indonesia ingin menunda pemilu.
"Bunyi sahut menyahut bak orkestra politik itu merupakan pertanda keseriusan para elite politik di sekeliling Istana," tambah Abdul.
Sikap politik untuk menunda pemilu ini dinilai sebagai pembangkangan terhadap konstitusi, khususnya Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945.
Aturan tersebut mengatur Pemilu yang bersifat periodik dalam waktu tertentu, yaitu lima tahun sekali.
Selain penundaan pemilu, upaya perpanjangan masa jabatan melalui amandemen konstitusi juga dinilai berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
"Para elite politik ini amnesia dengan suasana batin rakyat Indonesia yang dulu rela menukar darah dan air mata demi menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun," tutur Abdul. (mcr9/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wahai Pak Luhut, Simak Ini Pernyataan Haris Azhar Setelah Jadi Tersangka
Redaktur : Fathan Sinaga
Reporter : Dea Hardianingsih