jpnn.com, JAKARTA - Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mendukung upaya Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia agar masyarakat tidak ikut terpolarisasi pada sektor investasi khususnya investasi dari pihak asing.
Menurut Piter, investasi pada program hilirisasi yang sedang digenjot pemerintah Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar dan tidak dapat mengandalkan modal dari dalam negeri.
BACA JUGA: Jadi Patokan Investor, ESG Dinilai Sangat Penting untuk Hilirisasi
“Hilirisasi membutuhkan dana investasi yang sangat besar. Hilirisasi tidak mungkin bisa dilakukan kalau hanya mengandalkan dana dalam negeri,” ujar Piter, Rabu (23/3/2023).
Piter mengatakan sikap anti atau sentimen terhadap investasi asing merupakan pemikiran yang sempit yang menghambat kemajuan sebuah bangsa.
BACA JUGA: MIND ID bersama Kementerian Investasi Siapkan Strategi Aselerasi Program Hilirisasi
“Antiasing itu adalah pandangan yang sempit dan menghambat kemajuan. Tidak ada satupun negara yang bisa bertransformasi menjadi negara maju tanpa kehadiran modal asing,” paparnya.
Menurut Piter, program hilirisasi sumber daya alam Indonesia harus mendapatkan dukungan, pasalnya tujuan dari dilakukannya program tersebut adalah memberikan nilai tambah, membangun industri yang dapat membuka lapangan kerja serta mensejahterakan kehidupan rakyat.
BACA JUGA: Kebijakan Hilirisasi Nikel Presiden Jokowi dapat Dukungan Penuh dari CNI Group
“Hilirisasi adalah bentuk kita mensyukuri semua anugerah kekayaan alam kita. Kita harus bisa mengolahnya, mendapatkan value added sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan hilirisasi kita membangun industri yang akan membuka lapangan kerja yang sangat luas,” ujar Piter.
“Tanpa hilirisasi kita kehilangan begitu banyak kesempatan. Kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Piter menyarankan pemerintah supaya konsisten dengan kebijakan program hilirisasi.
Dia berharap jangan berhenti pada saat pemerintahan sekarang saja, namun dapat diteruskan oleh pemimpin selanjutnya.
“Saran saya sederhana, pemerintah hendaknya konsisten dengan kebijakan ini. Pergantian rezim jangan sampai mengubah arah kebijakan yang sesungguhnya terlambat kita lakukan,” ucap Piter.
Sebelumnya, Menteri Bahlil mengatakan isu-isu terkait polarisasi di sektor investasi, terutama pada sentimen penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing, memang masih kerap mencuat di tengah-tengah masyarakat.
Namun, Bahlil mengatakan peran investor asing dalam pembangunan di Tanah Air tidak bisa disangkal.
Sebab, menjadi pendukung utama upaya hilirisasi yang saat ini tengah digenjot oleh pemerintah.
"Bukan saya bela pihak asing, tapi fair saja, kalau kita tidak mau pihak asing masuk, maka kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasi," kata Bahlil dalam diskusi hasil rilis survei nasional bertajuk 'Polarisasi Politik di Indonesia: Mitos atau Fakta?'.
Bahlil yang juga mantan Ketua Umum HIPMI itu menambahkan, peran investor asing itu diperlukan untuk mengisi kekosongan pemerintah, yang tidak bisa menggunakan APBN untuk menggenjot hilirisasi dan membangun industri-industri tersebut.
"Pemerintah itu tugasnya membangun regulasi," ujarnya.
Dalam hal ketersediaan lapangan kerja yang hadir dari adanya investasi asing tersebut, diakui Bahlil benar-benar membantu terciptanya peluang kerja yang lebih banyak. Jika itu dibanding yang bisa diciptakan oleh pemerintah sendiri.
Sebab, dari 7 juta lapangan pekerjaan eksisting, angkatan kerja Indonesia per tahunnya bisa mencapai 2,9 juta orang tenaga kerja. Apalagi, pasca COVID-19 telah terjadi juga PHK antara 5-6 juta tenaga kerja.
"Jadi, kalau cuma mengharapkan pemerintah membuka lapangan pekerjaan melalui penerimaan PNS, Polri, TNI, BUMN, kita itu tidak lebih dari satu juta lapangan kerja per tahun,” kata Bahlil.
Dari pertambahan angkatan kerja per tahun yang 2,9 juta saja kita defisit 1,9 juta. Lalu kalau kita tidak buka diri melalui investasi asing, mau dari mana buka lapangan pekerjaan?" kata Bahlil.
"Saya jadi takut kalau kita berpikirnya sangat sempit, suatu saat kampus ini akan menjadi pabrik pengangguran intelektual, dan itu akan menjadi masalah baru bagi bangsa," ujar Bahlil.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari