Soal Royalti ke PT Timah, Eks Dirjen Minerba Jelaskan Begini

Jumat, 01 November 2024 – 15:09 WIB
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2015-2020 Bambang Gatot Ariyono dalam sidang lanjutan dugaan kasus korupsi timah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Kamis (31/10).

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2015-2020 Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan bahwa bijih timah yang ada di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah belum menjadi milik PT Timah kalau royalti belum dibayarkan.

Hal ini diungkapkan Bambang saat bersaksi di sidang lanjutan dugaan kasus korupsi timah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Kamis (31/10).

BACA JUGA: Melawan Polisi, 5 Pelaku Curanmor di Serang Dihadiahi Timah Panas

Mulanya, Penasihat Hukum (PH) terdakwa Riza menanyakan Pasal 92 Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Minerba perihal kepemilikan mineral.

Bunyi dari pasal tersebut “Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki Mineral, termasuk Mineral ikutannya, atau Batubara yang telah diproduksi setelah memenuhi iuran produksi”.

BACA JUGA: Bedah Dakwaan Kerugian Negara di Kasus Timah, Kerusakan Lingkungan Tanggung Jawab Siapa?

"Dalam hal bijih timah yang diperoleh oleh masyarakat penambang, kemudian iuran produksi atau royalti itu belum dibayarkan. Apakah pada saat itu mineral atau bijih timah sudah menjadi milik PT Timah," tanya PH kepada Bambang.

Bambang menjelaskan bahwa bijih timah di IUP PT Timah yang belum dibayarkan iuran produksinya bukan milik PT Timah.

BACA JUGA: Ditanya Hakim soal Kerugian Lingkungan Rp 271 Triliun, Jaksa Kasus Korupsi Timah Terdiam

"Belum (memiliki), kalau belum bayar royalti. Pemindahan kepemilikan berdasarkan Pasal 33 di UU Minerba adalah pembayaran royalti kepada negara," jelas Bambang.

Pada 2018 dan 2019, saat PT Timah bekerja sama dengan smelter swasta juga telah memberikan kontribusi kepada negara yang mana masing-masing Rp 818 miliar dan Rp 1,198 triliun.

Menurut Bambang, pembayaran pajak dan royalti kepada negara tersebut harus dilakukan oleh perusahaan yang legal dan berbadan hukum.

"Kalau bayar royalti, bayar pajak itu kan mesti ada nomor NPWP-nya.

Berarti itu dari legal, harus berbadan hukum dan legal. Kalau ilegal tidak pernah bayar royalti," tuturnya.

Pernyataan Bambang ini tidak sejalan dengan kerugian negara sebesar Rp 26,649 triliun atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah. Pasalnya, bijih timah tersebut belum menjadi milik PT Timah.

Dalam sidang sebelumnya, Riza juga pernah mengungkapkan bahwa pembelian bijih timah kepada mitranya senilai Rp 26,649 triliun telah menghasilkan pendapatan dua kali lipatnya.

Dia menyebutkan bahwa pembelian bijih timah dari 2015 sampai 2022 sebesar Rp 26,649 triliun yang disebutkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai kerugian negara telah menjadi pendapatan perusahaan kurang lebih Rp 50 triliun melalui penjualan logam timah.

"Kalau kami lihat dari seluruh perolehan bijih Timah dari 2015 sampai 2022, itu semua sudah diproduksi jadi logam. Logam itu sudah dijual dan pendapatannya itu kalau tidak salah 50 triliun," kata Riza. (mcr4/jpnn)


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler