Soal Siswi Nonmuslim Disuruh Berjilbab, Romo Benny: Jangan Dipolitisasi, tetapi...

Jumat, 29 Januari 2021 – 22:20 WIB
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Romo Benny. Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo hadir sebagai salah satu pembicara Webinar Pancasila ‘Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Institusi Pendidikan Formal: Apakah Melanggar Konstitusi?’

Webimar yang dipandu oleh Rinto Wardana, ini membahas peraturan daerah yang mewajibkan berpakaian muslim dan Muslimah dalam lingkungan pendidikan formal. Salah satu isu mengemuka antara lain kasus siswi nonmuslim SMKN 2 Padang disuruh berjilbab.

BACA JUGA: Siswi Nonmuslim SMKN 2 Padang Disuruh Berjilbab, Gusrizal Sebut Tak Ada Pemaksaan

Pembicara lain yang juga hadir yakni Nisa Alwis (Pengelola Pesantren Darul Iman Pandeglang, Banten) dan Indra Charismiadji (Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia).

Pada kesempatan itu, Benny Susetyo menyatakan masalah peraturan daerah yang mewajibkan berpakaian muslim atau muslimah sebenarnya sudah lama dan seperti gunung es.

BACA JUGA: Mewajibkan Siswi Nonmuslim Berjilbab Dinilai Melanggar HAM

“Jika mau jujur (masalah) ini seperti gunung es, karena peraturan tersebut tidak memenuhi peraturan Menteri Pendidikan, bahwa setiap orang tidak diwajibkan. Sekolah tidak melarang (penggunaan jilbab), tetapi tidak mewajibkan,” katanya.

Benny menilai hal ini terjadi karena kelemahan pengawasan atas peraturan sekolah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan juga karena politik identitas dari daerah itu sendiri.

BACA JUGA: Respons Romo Benny Tentang Kebijakan Diskriminatif di Dunia Pendidikan

Menurut Benny, persoalan ini dapat diselesaikan jika pengawasan dan ketegasan instansi terkait, yaitu Kemendikbud, terlaksana.

Namun, Benny menambahkan bahwa hal ini tidak perlu diperbesar dan dipolitisasi, tetapi tetap merujuk kepada peraturan Menteri Pendidikan yang sudah ada dan sudah lama.

Sekolah pun diminta untuk tidak memaksakan kehendaknya dan mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

“Jika melanggar maka kena sanksi. Jika ditegakkan, ini selesai. Tidak perlu ada politisasi ke mana-mana,” tambahnya.

Terkait politik identitas daerah, Benny menyatakan bahwa peraturan daerah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pusat. Jika hal ini terjadi, publik berhak menggugat.

Sementara itu, Nisa Alwis menyatakan kejadian di Padang merupakan fenomena gunung es dari perkembangan fanatisme dan intoleransi di negara kita.

“Pemaknaan terhadap jilbab telah mengalami pengkristalan belakangan ini, seolah-oleh jilbab yang ideal adalah yang sekarang ini sedang berkembang. Padahal, materi dan penelitian terhadap jilbab bahkan sebelum Islam 300 tahun yang lalu sudah dipakai oleh kaum Yunani dan Kristen Ortodok dan lainnya,” kata Nisa.

Nisa menyatakan, bahwa kearifan lokal mengajarkan keluwesan kita untuk berpakaian, dan sebaiknya masyarakat Indonesia mengikuti contoh tersebut.

“Kita ingat orang tua kita menggunakan busana kebiasaannya, entah itu kebaya dan lainnya, dengan kearifan masing-masing, tidak mengurangi ketaatan beragama mereka,” tuturnya.

Indra Charismiadji menyatakan tiga poin yaitu tujuan suatu kebijakan boleh jadi baik, tetapi pelaksanaan harus juga tetap bijak.

Kedua, sistem pendidikan yang melakukan penyeragaman adalah sistem yang menyalahi aturan Pancasila dan UUD 1945, serta penindakan dari Kemendikbud sebaiknya lebih berpusat pada pendidikan guru-guru dalam hal toleransi dan nilai-nilai Pancasila, bukan hanya memberikan sanksi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler