Soal Pembatasan Pembelian Pertalite, YLKI: Buntutnya Runyam!

Sabtu, 11 Juni 2022 – 11:20 WIB
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menilai rencana pemerintah membatasi pembelian BBM jenis Pertalite menimbulkan kerancuan pada tataran operasional. Ilustrasi SPBU: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai rencana pemeirntah membatasi pembelian BBM jenis Pertalite menimbulkan kerancuan pada tataran operasional.

Pasalnya, ada satu barang yang sama, kualitasnya sama, tetapi harganya berbeda-beda.

BACA JUGA: Siap-Siap, Beli Pertalite Pakai MyPertamina, Ini Kriterianya

"Pasti nantinya akan menimbulkan berbagai anomali, distorsi bahkan moral hazard," ungkap Tulus saat dikonfirmasi JPNN.com, di Jakarta, Sabtu (11/6).

Menurutnya, meski dalam konteks menekan tingginya subsidi BBM yang ditanggung pemerintah, kebijakan ini bisa dimengerti, tetapi pada beberapa hal memiliki catatan.

BACA JUGA: Ini Jenis Mobil yang Bakal Dilarang Beli Pertalite

"Dari sisi daya beli, kebijakan pembatasan BBM juga akan memukul daya beli konsumen, khususnya pengguna roda empat pribadi, yang selama ini menggunakan BBM pertalite," ungkapnya.

Sebab, pengguna pertalite jika bermigrasi ke Pertamax berarti kenaikan harganya sebesar Rp 5.500 per liter. Angka itu, kata Tulus, jauh lebih tinggi daripada kenaikan harga Pertamax itu sendiri, naik dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 (naik Rp 3.000 per liter).

BACA JUGA: Pemerintah Melarang Mobil Mewah Beli Pertalite, Berlaku Kapan?

"Secara politis, kebijakan ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk ambigu. Di satu sisi pemerintah tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya terjadi kenaikan harga, malah jauh lebih tinggi," bebernya.

Tulus menilai dari sisi ekonomi kebijakan ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi, karena yang banyak menikmati subsidi, adalah pengguna kendaraan pribadi, terlebih roda dua.

"Masyarakat yg benar-benar miskin, berdasar data Kemensos, tidak bisa menikmati subsidi BBM, karena tidak memunyai kendaraan bermotor pribadi," ucapnya.

Secara teknis, lanjut dia, kebijakan ini jika diterapkan sangat sulit diawasi dan menyulitkan petugas SPBU.

"Bisa menimbulkan chaos pelayanan di SPBU, apalagi SPBU di kota kota besar, atau di jalan utama, seperti jalan nasional, bahkan jalan provinsi," beber Tulus.

Tulus pun heran dengan kebijakan ini, karena di seluruh dunia harga bbm adalah tunggal, tidak ada dual price, apalagi triple price.

"Jika ini diterapkan pasti buntutnya runyam!" tegasnya.

Dia pun menyarankan pemerintah jangan membuat kebijakan yang berpotensi menimbulkan masalah baru. Jangan ingin mengatasi masalah, tetapi berpotensi menciptakan komplikasi masalah.

"Jika ingin menyubsidi BBM, maka seharusnya melalui subsidi tertutup, subsidi pada orangnya, bukan subsidi pada barang. Subsidi pada barang, terbukti banyak penyimpangannya dan tidak tepat sasaran. Namun demikian, data subsidi Kemensos perlu di-upgrade, agar lebih adil dan komprehensif," tutur Tulus.

Terakhir, tegas Tulus, jika harga minyak mentah dunia terus melambung, maka pemerintah seharusnya berani mengambil kebijakan yang terukur dan rasional.

"Lakukan review terhadap harga BBM Pertalite," imbuh Tulus. (mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler