Soekarno-Hatta Mengajarkan Anak Muda Indonesia Tak Minder dalam Pergaulan Internasional

Rabu, 21 Desember 2022 – 17:22 WIB
Acara bedah buku “Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta” di Universitas Terbuka Convention Center, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (21/12). Foto: DPP PDIP

jpnn.com, JAKARTA - Anak muda tak perlu minder dari pergaulan internasional seperti yang pernah dilakukan Soekarno dan Mohammad Hatta. Anak muda juga harus belajar dari kedua tokoh itu bagaimana Indonesia bisa setara di hadapan bangsa asing.

“Kita bisa memahami Bung Karno dan Bung Hatta adalah tokoh yang otentik dan orisinil dan gagasannya untuk Indonesia,” kata Sejarawan Bonnie Triyana dalam acara bedah buku “Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta” di Universitas Terbuka Convention Center, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (21/12).

BACA JUGA: Asosiasi Rektor Merah Putih Membumikan Ide & Gagasan Soekarno Hatta, Ada Pesan Megawati 

Bonnie bercerita ada beberapa mentalitas dan kritik kebudayaan Bung Karno terhadap bangsa Indonesia ketika itu. Namun, sebenarnya kritik itu masih relevan hingga saat ini.

Pertama mentalitas bangsa. Kedua adalah kebudayaan kolot lalu antikerakyatan, budaya rendah diri, dan bodoh.

BACA JUGA: Anak Muda Diminta Ikuti Jejak Soekarno-Hatta, Pemimpin Intelektual yang Membumi

“Kita bisa cek hasil tulisan Bung Karno. Mentalitas kolonial yang dikritik Bung Karno itu apa? Melihat penguasa asing kulit putih Belanda sebagai kumpulan orang yang superior, sementara kita inferior,” kata Bonnie.

Menurut Bonnie, Bung Karno sebagai seorang Islam pembaharu.

BACA JUGA: Prolog Bu Mega di Buku tentang Soekarno-Hatta: Mentalitas Bangsa Pejuang Tampak Meredup

"Kita bisa lihat sebagai pemikir keislaman Bung Karno ingin melihatkan Islam sebagai generator. Ini kritik Bung Karno yang harus mengubah mindset orang Indonesia bahwa kita berdiri sejajar dengan bangsa lain,” urai Bonnie.

Menurut Bonnie, pada 1945 saat Indonesia merdeka, jumlah penduduk Indonesia sekitar 61 juta dan 75 persen lebih buta huruf. Sstrategi Bung Karno bagaimana mengubah bangsa Indonesia yang sepenuhnya merdeka adalah pertama-tama drngan menegakkan supremasi ilmu pengetahuan.

“Jadi, penting universitas, pentingnya pendidikan. Pengetahuan menjadi cara dan modal untuk meraih kemajuan. Kedua aspirasi kebudayaan. Semua punya ekspresi yang sama. Kemudian kebijakan berbasiskan pengetahuan. Kebijakannya teknokratik, yang berdasarkan riset dan berbasis pengetahuan,” kata Bonnie.

Bonnie juga menyatakan Bung Karno sebagai pemersatu dan tidak membentur-benturkan. Salah satu contohnya adalah dalam pidato 17 Agustus 1964. Dia memberi pesan kepada masyarakat Tionghoa, yang dulu terbelah menjadi dua.

Pertama yang mendukung asimilasi total, misalnya kalau mau jadi Indonesia harus ganti nama dan lainnya. Yang kedua adalah tidak asimilasi total atau integrasi wajar yakni menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri sebagai Tionghoa.

“Bung Karno bilang, asimilasi total dan integrasi sama baiknya. Karena yang penting adalah bersatu membebaskan Indonesia dari rasialisme yang merupakan warisan dari kolonialisme itu,” kata Bonnie.

Dari berbagai temuan risetnya, Bonny melihat Bung Karno mengutamakan harmoni. Walaupun 1965 bisa bertahan mempertahankan kekuasaannya, Bung Karno memilih mengalah demi keutuhan bangsa Indonesia.

Sementara itu, doktor ilmu geopolitik Hasto Kristiyanto menyinggung soal Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan muara pemikiran Soekarno-Hatta. Bahwa bumi tanah air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk rakyat.

Sebelum membacakan Teks Proklamasi, kata Hasto, Bung Karno berpidato singkat yang ujung-ujungnya adalah kini tiba saatnya sebagai bangsa untuk berani meletakkan nasib bangsa dan tanah air.

“Itu sebelum kita merdeka. Kalau sekarang dikit-dikit kita welcome pada kepentingan asing, kita berarti memutarbalikkan mental penjajahan kembali eksis. Ketika elite lebih percaya pada asing dibanding bangsa sendiri, termasuk percaya pada para peneliti kita, artinya pejabat tersebut melarutkan diri dalam kepentingan-kepentingan dan menjadi aktor dari asing tersebut," kata Hasto.

Sekjen DPP PDI Perjuangan itu menilai ralyat Indonesia harus membangun rasa percaya diri.

"Apa yang saya sampaikan bukan sikap antiasing, namun serap sehebat-hebatnya iptek mereka, bagi kemajuan bangsa. Sebab tidak ada bangsa maju tanpa sistem pendidikannya maju," beber Hasto. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bea Cukai Soekarno-Hatta Gelar Sosialisasi Importasi Barang Diplomatik


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler