jpnn.com - MENGURAI kemacetan di jalan-jalan protokol Ibukota bukanlah perkara mudah. Tampaknya, hingga saat ini belum ada formula yang mujarab untuk menciptakan kondisi lalu lintas di Jakarta bisa lancar jaya setiap harinya.
Model 3 in 1 yang sudah diterapkan sekian lama, akhirnya dihapuskan sejak pekan pertama April 2016. Alasannya, ada dampak sosial, yakni munculnya joki-joki yang membantu pemilik mobil mensiasti aturan.
BACA JUGA: Aneh, Ahok Bikin PDIP Sulit
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengaku tak tega melihat anak-anak mungil juga dilibatkan menjadi joki. Katanya, itu tak manusiawi.
Lantas mencuat lagi gagasan model plat nomor genap-ganjil. Disusul lagi rencana menerapkan elektronic road pricing (ERP).
BACA JUGA: Setoran Rp 1 M Tetap Lanjut
Model seperti apa yang kiranya pas untuk diterapkan secara permanen? Pengamat transportasi publik yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, Haris Muhammadun menilai, sebenarnya 3 in 1 tak perlu buru-buru dicabut. Berikut wawancara wartawan JPNN dengan doktor bidang transportasi asal Purwodadi, Grobogan, Jateng itu, Sabtu (14/5).
Bagaimana tanggapan Anda tentang pencabutan kebijakan 3 in 1 di Jakarta?
BACA JUGA: Reformasi Tata Kelola Kompetisi
3 in 1 adalah kebijakan transportasi, mestinya kalau kebijakan itu dicabut harus mempunyai alasan yang kuat yang mendasari itu. Salah satunya, sudah ada kebijakan transportasi lain yg lebih tepat untuk diterapkan dan berdampak lebih luas, misal penerapan pelat nomor ganjil genap, atau ERP (electronic road pricing).
Jadi menurut Anda belum waktunya dicabut kebijakan 3 in 1 itu?
Betul, menurut saya tidak tepat jika 3 in 1 dicabut sekarang. Harusnya boleh dicabut apabila sudah ada kebijakan transportasi lain yang menggantikannya. Dan penerapannya langsung, dengan dicabutnya 3 in 1, maka berlaku aturan pelat nomor ganjil genap atau ERP.
Gubernur DKI beralasan 3 in 1 berdampak sosial, tanggapan Anda?
Kan masalahnya bukan di 3 in 1 nya, tapi justru di dampak sosial joki yang timbul. Mestinya joki-nya yang dibereskan. Bukan 3 in 1- nya yang dianggap salah hingga dicabut.
Lantas model apa yang kiranya tepat?
Segera laksanakan ERP, perbaiki layanan angkutan publik, percepat pembangunan angkutan massal berbasis rel (MRT dan LRT), perbaiki struktur ruang kota dengan penyebaran pusat kegiatan di timur, selatan, barat dan di wilayah penyangga
Perbaiki struktur ruang kota, apa maksudnya?
Kita harus berani mengambil langkah menggeser pola struktur Kota Jakarta sebagaimana dilakukan oleh negara lain. Contoh Malaysia yang berani menggeser pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Atau langkah moderatnya misalnya seluruh urusan pemerintahan pusat bidang polhukam ke Tangerang, bidang perekonomian ke Bekasi, bidang sosial dan budaya ke Bogor. Itu akan mengubah pola perjalanan orang, tidak terpusat di Jakarta.
Kalau model ganjil-genap?
Sebenarnya, kebijakan ganjil genap kan belum dicoba, sehingga kita tidak fair jika mengatakan itu tidak efektif. Tetapi sebenarnya area penerapannya bisa diperluas ke seluruh Jakarta jika kita terapkan kebijakan ganjil dan genap secara bergantian.
Kalau warga Jakarta boleh memilih, mana yang ebih disukai,3 in 1 atau ganjil-genap?
Masyarakat sudah akrab dengan 3 in 1, mereka sudah bisa mengatur perjalanannya jika ingin ke kawasan yang diberlakukan 3 in 1. Sehingga saya kira tinggal bagaimana Pemprov DKI harus bisa menertibkan dampak sosialnya yaitu joki, pemanfaatan anak anak dan lain sebagainya.
Jika solusinya harus geser pusat pemerintahan, berarti siapa pun gubernurnya tak akan mampu menyelesaikan masalah klasik ini?
Itu salah satu solusi. Saya kira solusi peningkatan kualitas angkutan publik dan pembatasan angkutan pribadi yang ketat apakah dengan 3 in 1, ganjil-genap dan ERP itu sangat mungkin akan bisa berdampak positif. Tapi jangan malah kendaraan pribadi dibiarkan begitu saja tanpa dikendalikan.
Maksudnya, jumlah kepemilikan mobil dibatasi?
Saya rasa dengan pembatasan operasinya yang lebih tepat.
Soal layanan ojek online, seberapa signifikan membantu mengatasi kemacetan?
Secara individu terhadap pengguna ojek on line iya. Tetapi belum ada negara manapun di dunia ini, yang melakukan pendekatan layanan ojek online untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Peningkatan penggunaan transportasi umum massal dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, itulah jawabannya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Belasan Manusia Keji Menjahati Yuyun
Redaktur : Tim Redaksi