Sorban Dahlan

Rabu, 05 Maret 2014 – 17:12 WIB

jpnn.com - MENUNGGU saat boarding di Bandara Sepinggan Balikpapan dua calon penumpang membincangkan sosok presiden Indonesia mendatang. Seraya memperlihatkan layar Ipad, seorang dari mereka berkata, “Jelas sudah, siapa pengganti SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Ndak usah berisik lagi!” 

Saya juga mengikuti obrolan fesbuk tentang sorban mufti Amerika yang pindah ke kepala Dahlan Iskan, sebagai ‘isyarat’ untuk suksesi di Indonesia itu. Ramai dalam pro-kontra. Ada yang mengakuinya sebagai pertanda, ada pula yang menyebutnya tak lebih dari gothak-gathuk – asumsi yang cuma merujuk ketrampilan utak-atik gaya klenik. 

BACA JUGA: Pastikan KPK Terlibat Bahas RUU KUHAP-KUHP

Pemicunya adalah berita tentang Dahlan, Habib Syekh bin Abdulkadir Assegaf, dan sang mufti Syekh Maulana Muhammad Hisyam Kabbani, pada pengajian di rumah seorang warga Tomang, Jakarta Selatan, akhir Februari lalu. Bagi kalangan tasawuf ketiga nama ini bukanlah sosok-sosok asing.

Dahlan adalah salik (penempuh jalan) tasawuf melalui Tarekat Syatariyah, dan dikenal sebagai inspirator serta ketua Syekher Mania berbagai aliran tasawuf modern di negeri ini – selain Menteri BUMN. Adapun Habib Syekh adalah imam Masjid Jami' Assegaf, Solo. Ratusan ribu pengikut beliau tergabung dalam jamaah Ahbabul Musthofa.

BACA JUGA: KPK: Rekan Kerja Budi Mulya Masuk Dalam Dakwaan Century

Sedangkan Syekh Muhammad Maulana Hisham Kabbani tak lain dari ulama berdarah Lebanon, yang pernah belajar kimia di American University di Beirut, dan memperdalam kedokteran di University of Louvain, Belgia. Beliau juga meraih gelar bidang Hukum Islam dari Universitas Al-Azhar, Mesir.

Pindah ke Amerika 23 tahun lampau Maulana Hisyam mendirikan yayasan bagi Tarekat Naqsyabandi, dan sampai sekarang sudah 13 pusat studi tasawuf yang beliau buka – selain di Amerika juga di Kanada. 

BACA JUGA: Sertu Iman Meninggal karena Luka Dalam

“Warga negara, pemimpin, dan negara adalah ibarat penumpang, sopir bus, dan busnya,” kata Habib Syekh dalam pengajian di Tomang itu.

Bus ini, lanjut beliau, sudah berpengemudi. Penumpang hanya perlu duduk tenang, tidak gaduh, apalagi mengganggu. Biarlah pengemudi bus mengantar mereka ke terminal tujuan. Itulah terminal kesejahteraan dan kebahagiaan.

Saat dapat giliran memberi tausiyah Maulana Hisham memanggil Dahlan yang duduk di deret belakang. Sosok yang dipanggil beringsut, mendekat dengan berjongkok. Untuk beberapa saat keduanya berbincang dalam bahasa Inggris. Setelah itu Maulana Hisham memintanya lebih dekat lagi. Kepala Dahlan kini tepat di depan lutut beliau.

Maulana Hisyam lantas melepas sorban di kepala Dahlan, menggantinya dengan sorban dari kepala beliau sendiri. Kemudian mencium kepala pengasuh delapan pesantren itu selama kira-kira satu menit! Berikutnya adalah bacaan Al Fatihah yang diikuti 500-an anggota jamaah. Suara beliau bergetar dan parau. Air mata jamaah pun berlelehan. Dahlan sendiri rebah di pangkuan sang syekh. Juga dengan mata berair.

Adegan inilah, selain ucapan Habib Syekh tadi, yang rupanya dihubungkan pemegang Ipad di Bandara Sepinggan Balikpapan itu sebagai ‘isyarat Amerika’ – negara di mana Maulana Hisham kini bermukim. Konon, SBY pun mengalami ‘prosesi’ ini dulu, sebelum akhirnya terpilih menjadi presiden.

“Yang bener aja! Mosok presiden cuma ditunjuk seorang syekh. Lewat sorban pula!” timpal kawan si pemegang Ipad.

“Syekh ini memperlihatkan tanda, bung!”

“Ah, tahayul! Aku tahu, Dahlan itu orang baik. Tapi pemilihan presiden ya tetap sebuah proses politik!”

Pengumuman boarding berbunyi. Keduanya beranjak. Ternyata kami sama-sama menuju Surabaya. Dan, lho, di dalam pesawat pun bertetangga dekat. Mereka di deret kursi di depan saya.

Kaum sufi membagi jenjang spiritual menurut empat tingkatan. Masing-masing syari'at, tariqah, haqiqah, dan ma'rifat – tingkatan 'tak terlihat' atau inti wilayah hakikat, esensi dari seluruh level kedalaman spiritual.

Secara etimologis tarekat berasal dari tariqah. Arti harfiahnya, ‘jalan’ atau ‘cara’ atau ‘metode’ dalam studi tasawuf. Inilah proses perburuan kebenaran sejati (haqiqah, hakiki) dan pengharapan ideal, sesudah pelakunya memperdalam ‘jalan’ syari’ah (hukum). Tariqah dapat pula bermakna aliran, mazhab, atau cabang pemahaman tasawuf.

Al Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M) merumuskan tarekat sebagai cara para salik menuju Allah lewat tahapan-tahapan/maqamat tertentu. Dalam tarekat mereka menghamba pada Allah, memperlakukan guru sebagai pemegang rahasia keistimewaan menuju penghadapan Ilahi. 

Para salik menjalani tata-krama menurut kaidah agama, meneladani Rasulullah SAW, menjaga kehormatan diri, guru, sesama manusia, santun pada yang tua, sayang pada yang muda, dan tabah menghadapi permusuhan antar-saudara.

Komitmen dan perilaku mereka tertuju sepenuhnya untuk mempertinggi pelayanan, membersihkan niat agar tak terjebak tujuan duniawi, serta menjaga tekad demi meraih ma’rifat khashshah tentang Allah.

Dengan demikian, para salik adalah pribadi yang gandrung pada Allah dan sesama secara bersamaan. Bukan jenis manusia yang terasing, atau pingin masuk syurga sendirian saja. Mereka adalah pribadi-pribadi otentik, yang bebas dari polesan-polesan artifisial ala politikus atau artis atau ‘ustadz selebriti’. 

Dengan ikhtiar kuat dalam orientasi yang tidak melulu duniawi, ada yang menyebut mereka ‘semulia-mulia manusia setelah para nabi’. Namun pemikir Islam ternama, Ibnu Taimiyah, meluruskan dengan menyebut para salik sebagai ‘orang-orang yang ber-ijtihad dalam ketaatan kepada Allah’.

Jam'iyyah Ahlith Thariqah Mu'tabarah An-Nahdliyyah menyebut tak kurang dari 42 tarekat populer di Indonesia. Salah satunya adalah Tarekat Syattariyah, di mana Dahlan menjalani hidup sebagai salik. Tarekat ini muncul di Hindustan (India) pada abad ke-15, bernisbat pada pelopornya, Syekh Abdullah Asy-Syattar. 

Dengan gambaran hidup para salik yang demikian tak mudah, ingin benar saya nimbrung obrolan dua kawan sepenerbangan dari Balikpapan itu, dengan mengatakan ini;

Saudaraku, tanpa sorban pun Dahlan memenuhi syarat jadi presiden. Harap tidak terbalik melihatnya, seolah sorban itulah yang membuatnya layak jadi presiden. Anda baik, lalu ada yang memberi Anda kupluk (songkok), atau sajadah bikinan sendiri. Tidakkah yang jadi poin utama adalah bahwa Anda baik dulu, lalu berbagai pengharapan baik digantungkan pada Anda?

Asal tahu saja, Dahlan menerima pula perlakuan dengan esensi serupa dari petani, nelayan, peternak, dan rakyat biasa. 

Negeri ini sejatinya menjadi baik atau buruk terutama karena rakyat juga. Saat memilih dengan tepat, menjadi baiklah kontribusi pada negeri. Sebaliknya, saat memilih berdasar sentimen partai thok, pada citra yang direka-reka, tanpa pemahaman utuh atas track record sang pilihan, menjadi jelas pula kedurhakaan pada negeri. 

Saya percaya, sorban Maulana Hisham itu adalah ekspresi kasih sayang dan pengakuan akan mutu pribadi Dahlan. Bahwa Dahlan insyaallah jadi presiden, siapa yang tidak ingin Indonesia dipimpin orang baik dan berkemampuan?

Sayang sekali, sampai pesawat kami mendarat di Bandara Juanda, pandangan demikian tak juga dapat saya sampikan kepada dua kawan sepenerbangan ke Surabaya itu. Mudah-mudahan mereka baca juga tulisan ini. (stn@kaltimpost.net) ***

 

*Wartawan Kaltim Post di Samarinda

BACA ARTIKEL LAINNYA... Desak Ada Aturan Tertulis Semua Honorer K2 Diangkat jadi CPNS


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler