jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyoroti fenomena Dinasti Politik dan Nepotisme oleh Presiden Jokowi dalam perspektif hukum positif dan dampaknya terhadap Pilpres 2024.
Menurut Petrus, dalam hukum positif terdapat Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
BACA JUGA: Anwar Usman Gugat Ketua MK Suhartoyo ke PTUN Jakarta
“Ketentuan tersebut secara tegas melarang dan mengancam dengan pidana penjara setiap Penyelenggara Negara yang melakukan Nepotisme,” ujar Petrus Selestinus saat berbicara diskusi bertajuk Dinasti Politik dan Nepotisme Jokowi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Dampaknya pada Pilpres 2024 di Jakarta, Rabu (13/12).
Diskusi yang dipandu oleh Davianus Hartoni Edy ini juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu Carrel Ticualu selaku Advokat Pemerhati Pemilu sekaligus anggota Perekat Nusantara) dan Julius Ibrani selaku Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
BACA JUGA: TPDI Minta MK Tak Layani Kepentingan Politik Dinasti & Oligarki dalam Uji Materi Usia Capres
Lebih lanjut, Petrus secara khusus menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023.
Menurut Petrus, putusan tersebut bermuatan Dinasti Politik dan Nepotisme oleh Joko Widodo.
BACA JUGA: Sambangi Kejagung, TPDI Sebut Pemberian Opini WTP untuk Pemkab Sikka NTT Bermasalah
Oleh karena itu, kata dia, putusan tersebut secara hukum, moral dan etika menjadi cacat konstitusi.
Pasalnya, selain telah merusak prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945, juga putusan MK Nomor 90 itu menjadi tidak sah atas kekuatan ketentuan Pasal 17 Ayat 5 dan Ayat 6 UU Nomor 48 Tahun 2009.
Lebih lanjut, Petrus menjelaskan diskusi bertema “Dinasti Politik dan Nepotisme Presiden Jokowi dari perspektif hukum positif dan dampaknya terhadap Pilpres 2024” ini merupakan bagian dari peneguhan sikap Para Advokat TPDI dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara untuk meningkatkan tempo permainan.
“Sebab, somasi yang disampaikan TPDI dan Perekat Nusantara tanggal 6/12/2023 yang lalu kepada Presiden Jokowi tidak dijawab dan tidak ada satupun tuntutan yang dipenuhi. Untuk itu, tempo permainan akan kami tingkatkan ke tahap gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa ke Pengadilan PTUN Jakarta,” ujar Petrus.
Petrus beralasan semua daya upaya melalui mekanisme biasa seperti kritik, saran, dan protes sebagian besar anggota masyarakat agar nepotisme di dalam Putusan MK Nomor 90 itu dihentikan ternyata tidak berjalan.
Dia menyebut nepotisme itu secara tegas dilarang dan diancam dengan pidana penjara berat oleh TAP MPR No. XI/MPR/ 1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
“Dampak lainnya pasca-Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023, seolah-olah telah memberi imunitas kepada beberapa pihak sebagai kebal hukum misalnya terhadap Gibran Rakabuming Raka dalam video yang beredar sedang membagi-bagi uang di Pesantren di masa kampanye, namun tidak ditindak,” ujar Petrus.
Petrus juga menyebut Prabowo Subianto dan Gibran bertemu perwakilan Perhimpunan Kepala Desa meminta dukungan.
Selain itu, Petrus menyebut Aiman Witjaksono memberi informasi soal netralitas Polri, dilaporkan ke Polisi dan diperiksa. Butet Kertaredjasa diminta tidak menampilkan acara bernuansa politis,
Selanjutnya, Agus Rahardjo yang bercerita pernah diintervensi malah dilaporkan ke Bareskrim.
“Tindakan-tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi,” ujar Petrus.
Petrus menilai fakta-fakta tersebut menunjukan suara rakyat berupa kritik dan kontrol sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak didengar oleh dan diikuti oleh Presiden Jokowi.
“Bahkan kritik-kritik yang dibuat melalui Somasi TPDI dan Perekat Nusantara dengan tuntutan agar Presiden Jokowi mengembalikam situasi kepada keadaan normal, yaitu Polri netral, Aparatur Negara lain juga netral agar demokrasi berjalan secara sehat tidak juga digubris,” ujar Petrus.
Pada sisi yang lain, kata Petrus, Presiden Jokowi seakan-akan merasa bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah melegitimasi dinasti politik dan nepotismenya yang telah melembaga dalam pemerintahannya sejak putranya Gibran jadi Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan.
“Di sini tampak jelas bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya telah memusatkan seluruh kekuatan sosial politik berada di bawah kendalinya sekaligus memperkokoh dinasti politiknya hingga pada suprastruktur kekuasaan lintas lembaga negara, Presiden dan MK,” kata Petrus.
Menurut Petrus, fenomena di mana Jokowi berada dalam pusat kekuasaan yang mengendalikan semua kekuatan politik yang ada, sama dengan apa yang telah dilakukan Orde Baru, yakni Presiden Soeharto pernah melestarikan sentralisasi kekuasaan memperkuat nepotismenya, hingga 32 tahun lamanya.
“Langkah itu kini ditiru oleh Jokowi dengan memperkuat jaringan nepotisme secara terstruktur mirip dengan era Orde Baru,” ujar Petrus.
Kontroversi
Praktisi Hukum sekaligus Advokat Pemerhati Pemilu Carrel Ticualu melihat Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dari perspektif Hukum Acara MK dan Hukum Tata Negara, berpandangan bahwa Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, menjadi kontroversi.
Pasalnya, menurut Carrel, ternyata Almas, Pemohon Uji Materiil, tidak memiliki legal standing, hanya karena ia mengidolakan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta yang sukses.
“Uji materi menjadi malapetaka, ketika yang memeriksa perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, adalah salah satu keluarga Jokowi, yaitu ketua MK saat itu, Anwar Usman. Menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, diwajibkan harus mundur dari persidangan” ujar Carrel Ticualu.
Carrel menilai meskipun banyak terdapat kontroversi, namun gugatan Almas dikabulkan oleh MK yang saat itu diketuai oleh Anwar Usman sehingga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh MKMK.
“Sementara Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tetap dilaksanakan sebagai konsekuensi dari sifat putusan MK yang final dan mengikat, meskipun cacat hukum,” ujar Carrel.
Oleh karena itu, Carrel berharap DPR dan Presiden segera merevisi sifat final dan mengikat dari putusan MK agar diseleraskan dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, Ketua PBHI Julius Ibrani berpandangan Putusan MKMK No. 02/MKMK/L/11/2023 membuktikan telah terjadi conflict of interest dengan basisnya adalah Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka, memiliki hubungan keluarga.
“Keanehan terjadi karena pemohon uji materil (Almas) mengajukan Gibran sebagai legal standingnya. Oleh karena itu, dalam hal demikian Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan Peemohonan Uji Materil ke MK,” ujar Julius Ibrani.
Julius menegaskan Pemohon sebenarnya adalah proxy Gibran, karena dalam legal standing Pemohon, yang dibahas adalah tentang Gibran Rakabuming Raka dan suksesnya membangun Kota Surakarta.
“Semua hal terkait penyimpangan dalam proses Uji Materiil Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, terungkap lewat sidang MKMK, antara lain terungkap bahwa MK telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses persidangan MK 90/PUU-XXI/2023,” ujar Julius.
Lebih lanjut, Julius mengungkap penyimpangan lain yang dilakukan Hakim Konstirusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah menambahkan klausa “pernah/sedang menduduki jabatan publik” yang sebelumnya tidak ada dalam Pasal 169 hurf q, juga di dalam Permohonan Uji Materiil itu tidak ditandatangani oleh Pemohon tetapi diproses.
Dia menilai pelanggaran etik melalui mekanisme yudisial dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 ketika disinkronkan dengan hubungan kekerabatan Anwar Usaman dan Gibran, menghasilkan dugaan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu pencawapresan Gibran Rakabiming Raka.
“Jadi, telah terjadi pelanggaran yang keras terhadap konstitusi negara (constitutional hard ball), termasuk terjadinya penyelundupan hukum dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023,” tegas Julius Ibrani.
Julius Ibrani menegaskan bahwa Pemilu 2024 hanya menjadi agenda yang sia-sia atau rekayasa dari sesuatu yang sudah kita ketahui, mengalami kekuasaan despotik, memperkuat nepotisme Jokowi, merusak citra anaknya sendiri (Gibran) sekaligus merusak demokrasi.
“Dengan demikian, dinasti politik dan nepotisme Jokowi, dampaknya akan mencederai demokrasi dalam pemilu 2024. Sebab, Dinasti Politik dan Nepotisme bertentangan dengan hukum positif,” ujar Julius Ibrani.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari