Soroti Sejumlah Kasus Hukum, Senator Filep Wamafma: No Viral No Justice

Kamis, 23 Mei 2024 – 16:26 WIB
Senator atau anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat Dr. Filep Wamafma. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat tengah dihebohkan dengan berbagai kasus pelanggaran hukum di tanah air yang terkuak dalam beberapa hari belakangan ini.

Tak jarang persoalan hukum akhirnya ditangani aparat penegak hukum seusai kasus itu viral.

BACA JUGA: Diduga 200 Tambang di Kaltim Beroperasi Ilegal, Praktisi Sebut Penegakan Hukum Lemah

Bahkan, tak sedikit pula masyarakat yang mengunggah persoalan hukum yang dihadapinya ke media sosial guna mendapat dukungan dari masyarakat luas dan memperjuangkan keadilan.

Senator Filep Wamafma menyeoroti fenomena tersebut melalui keterangan tertulis  pada Kamis (23/5/2024).

BACA JUGA: Jamin Formula E 2023 Bersih dari Kasus Hukum, Bamsoet: Mulai dari Nol

Menurut Filep, negara wajib menyediakan rasa keadilan bagi warga negara, bukan sebaliknya warga negara yang mencari keadilan sehingga negara terkesan abai dalam perlindungan terhadap masyarakatnya sendiri.

“Ada satu hal yang kini menjadi pandangan umum masyarakat bahwa penegakan hukum dan pencarian keadilan akan bisa dilaksanakan kalau kasusnya viral, terutama melalui media sosial. Di satu sisi kita bersyukur, artinya masyarakat kita melek hukum dan punya hati nurani hukum yang peka, tetapi di sisi lain saya harus menyatakan bahwa dalam hal ini pemerintah gagal mengayomi masyarakat, pemerintah gagal hadir dan menjadi pelindung masyarakat dan menyediakan rasa keadilan,” kata Filep.

BACA JUGA: Jadi Pembicara di Rakor MKKS SMA/SMK se-Papua Barat, Filep Wamafma Paparkan Materi Otsus Bidang Pendidikan

Filep lantas menyinggung sejumlah kasus seperti kasus-kasus terkait pelaksanaan tugas Bea Cukai, kasus-kasus asuransi yang berjalan di tempat, kasus-kasus pidana yang terungkap kembali seperti kasus Vina Cirebon.

Kemudian, kasus pembunuhan yang sampai sekarang masih menjadi misteri misalnya pembunuhan Akseyna, mahasiswa UI, yang sampai 8 tahun belum terungkap. Selain itu, juga terkait kasus pertanahan masyarakat adat.

Menurut Filep, sederet persoalan ini membuat publik menilai bahwa masyarakat kecil sangat sulit mencari keadilan seandainya saja tidak viral.

Pace Jas Merah ini pun memberi kritik tajam terhadap tugas negara sesuai amanat konstitusi.

“Sebagai contoh, saya ikuti kasus Rempang di Batam. Persoalan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah Masyarakat Adat di Pulau Rempang,” ujar Filep.

Menurut Filep, masyarakat bahkan berhadapan dengan apparat atau Masyarakat Adat Rendu di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tempat dibangunnya Bendungan Lambo.

“Proyek Bendungan Lambo ditengarai merampas perkebunan, ruang hidup, dan tempat bahan baku tenun alami masyarakat disana,” ujar Filep.

Tak hanya itu, Filep menambahkan catatan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menyatakan bahwa sekitar 2.578.073 hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi.

Hal ini bertentangan dengan amanat Konstitusi Pasal 18B dimana negara seharusnya menghormati eksistensi masyarakat adat.

Filep mengatakan konstitusi sudah mengaturnya supaya ada keadilan atau supaya masyarakat adat tidak bersusah payah mencari keadilan, karena seharusnya pemerintah yang menyediakan keadilan itu.

“Bila kita mencermati, persoalan pertanahan ini selalu berkait erat dengan pembangunan infrastruktur dan kini dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Ini harus menjadi bahan kajian dan evaluasi,” kata Filep.

Lebih lanjut, Filep mengatakan kasus HAM di lain sisi juga sama. Ada 17 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998.

Kemudian Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014.

“Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Namun, baru Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai yang telah memiliki putusan pengadilan. Itupun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban,” ujar Filep.

Wakil Ketua Komite I DPD RI ini pun mengkritik penegakan hukum yang dilalui masyarakat.

Dia menyebutkan berdasarkan sejumlah kasus menunjukkan perjuangan masyarakat mencari keadilan pun sangat lama dengan proses pengadilan yang Panjang. Hal ini berdampak pada makin jauh keadilan yang dicari oleh rakyat.

“Celakanya, oknum penegak hukum tertentu seperti tidak serius menangani kasus yang dilimpahkan kepada mereka. Dahulu ada kasus Mohamad Irfan Bahri, remaja asal Madura ditetapkan sebagai tersangka seusai membela diri dari serangan pelaku begal pada 2018 lalu, atau kasus ZA di Malang yang dihukum penjara padahal membela diri juga. Ini kan semacam ketidakprofesionalan aparat penegak hukum,” ujar Filep.

“Kasus Nenek Minah memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang berujung jadi tersangka. Lagi-lagi, no viral no justice. Di sinilah saya kembali bertanya, mengapa masyarakat sulit mencari keadilan di tengah negara hukum dan demokrasi ini?” tanya Filep.

Menurut Filep, dari aspek warga negara secara umum, amanat Konstitusi sudah jelas yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah atau kemanusiaan.

Pembelajar hukum pasti paham bahwa penegakan hukum dan pencapaian keadilan itu bisa berhasil jika aturan yang bagus didukung oleh aparat yang berintegritas. Kedua hal ini yang akan menciptakan rasa percaya (trust) masyarakat, bahwa masyarakat akan mendapatkan keadilan karena keadilan sudah disediakan negara.

“Saya berharap berbagai kejadian ini bisa menjadi catatan dan evaluasi pemerintah terutama institusi penagak hukum sehingga masyarakat tak kesulitan mencari keadilan,” pungkas Filep.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler