jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai persoalan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP merupakan masalah yang beruntun.
Dia mengatakan, bagaimana publik tidak curiga, karena sejak pertama muncul masalah korupsi e-KTP, yang tercecer, hingga terakhir ini tentang kepemilikan oleh warga negara asing (WNA).
BACA JUGA: Pemerintah tidak Tiba-tiba Berikan KTP untuk Orang Asing
BACA JUGA : Kemendagri Jawab Isu e-KTP WNA Bisa Dipakai Mencoblos
BACA JUGA: Pemberian KTP Bagi WNA Sudah Lazim, Nih Penjelasannya
Menurut dia, persoalan utama sebenarnya adalah karena kurang sosialisasi terkait aturan dan e-KTP itu sendiri.
"Persoalan sebenarnya ini di mana? Ini kan persoalan kalau menurut saya sosialisasinya yang memang kurang sehingga publik tidak banyak tahu," kata Trubus, dalam diskusi Polemik e-KTP WNA, Perlukah Perppu? di gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/2).
BACA JUGA: Menkumham Sarankan KTP Elektronik Untuk WNA dan WNI Beda Warna
BACA JUGA : Please, Jangan Percaya Isu Kolom Agama di e-KTP Bakal Dihapus demi WNA
Hal itu dikatakan Trubus merespons persoalan kepemilikan KTP oleh warga negara asing (WNA) di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Menurutnya, sistem terkait e-KTP juga banyak kelemahan. Salah satunya adalah tidak ada alat untuk membedakan e-KTP palsu dan asli.
"Sementara kalau lihat perbandingannya itu ada e-KTP dengan yang di TPS itu beda. Jadi NIK-nya berbeda. Ini kan menjadi kecurigaan yang sangat panjang," paparnya.
BACA JUGA : Bantah Kolom Penghayat Kepercayaan di e-KTP Bakal Hilangkan Agama
Selain itu, ujar dia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) juga kurang memberikan sosialisasi terkait regulasi KTP untuk WNA.
"Publik tidak pernah tahu yang muncul kemudian belakangan itu disetop saja. Kata disetop juga tidak ada penjelasan apa-apa," ungkapnya.
Dia menjelaskan misalnya Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
"Pasal 63 sangat sumir. Jadi, isinya tidak ada penjelasan yang memadai," katanya.
Karena itu, ujar dia, kaibag tidak ada penjelasan memadai, muncul celah akhirnya e-KTP yang harusnya berbeda jadinya sama. "Misalnya, perbedaan WNI dan WNA semestinya dibedakan, tetapi ternyata mirip, sama," ujarnya.
Terkait perlu tidaknya penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), Trubus mengaku boleh-boleh saja kalau memang persoalan jadi perdebatan di di publik.
Menurut Trubus, perppu itu diperbolehkan. Penerbitan perppu juga bersifat objektif dan subjektif.
Kalau subjektif misalnya terkait kegentingan yang memaksa dan itu kewenangan sepenuhnya presiden. Sedangkan objektif, ujar dia, sebagaimana yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi antara lain soal kebutuhan yang mendesak, ada kosongan, dan aturan yang tidak memadai.
"Kalau ada aturan yang tidak memadai boleh ada perppu, itu objektif tetapi kalau misalnya subjektifnya dalam pengertian presiden boleh mengambil, saya pikir ya saja," katanya.
Hanya saja, Trubus mengatakan, jangan sampai persoalan ini jadi politis terlebih pilpres tinggal 49 hari lagi.
Solusi lain, ujar dia, bisa pula dibuat aturan turunannya seperti peraturan pemerintah atau PP sendiri. "Misalnya pasal 63 itu dibuat PP saja. Selama ini kan tidak ada PP-nya," ungkapnya.
Menurut dia, membuat PP memerlukan waktu yang tidak lama. Cukup 10 pakar dikumpulkan untuk membuat drafnya. "Dalam waktu tidak dampai sebulan selesai itu, maka jadilah PP dan ditandatangni pemerintah," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendagri: WNA Boleh Punya e - KTP, tetapi Dilarang Mencoblos
Redaktur & Reporter : Boy