jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) Jumadis Abda menilai, kebijakan yang mengharuskan PLN 'take or pay' hasil produksi listrik swasta, mengakibatkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bukit Asam, Sumatera Selatan menjadi korban.
Pasalnya, dalam klausul keberadaan independent power producer (IPP), mengharuskan PLN membeli produksi listrik dari perusahaan swasta. Meski harganya jauh lebih mahal dari yang diproduksi PLTU Bukit Asam.
BACA JUGA: Pemerintah Harus Dorong Perbankan Meningkatkan Standar Keamanan
"Jadi dihentikannya operasional PLTU Bukit Asam ini karena harus menerima beroperasinya Pembangkit IPP Sumsel 5. Dengan klausul take or pay (produksi IPP) maka PLN harus bayar. Kalau terus berlanjut, mendatangkan kerugian bagi PLN sekitar Rp 500 miliar/tahun," ujar Jumadis, Kamis (22/12).
Menurut Jumadis, perkiraan kerugian diperoleh dari perhitungan selisih harga beli listrik dari pembangkit IPP, dengan harga pokok produksi yang dihasilkan PLTU Bukit Asam.
Harga dari IPP Sumsel 5 berkisar Rp 780/kWh. Sementara harga listrik yang dibangkitkan sendiri oleh PLTU Bukit Asam hanya berkisar Rp 300/ kWh.
BACA JUGA: Sri Mulyani Bakal Pelajari Kisruh Pajak Inalum
"Karena itu SP PLN menolak klausul take or pay pembangkit listrik swasta tersebut. Karena sangat merugikan PLN dan pada akhirnya harga listrik akan menjadi semakin mahal diterima oleh masyarakat. Sebab setiap komponen biaya listrik pada akhirnya akan dibebankan pada harga jual listrik ke masyarakat," ucap Jumadis.
SP PLN kata Jumadis, akan terus mengawal kelistrikan nasional, agar selalu sesuai konstitusi, andal dan efisien. Selain itu juga agar sampai ke seluruh masyarakat dalam jumlah yang cukup dan harga yang kompetitif.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Resmikan PLBN Entikong, Menteri Basuki Lanjutkan Bangun Sarana Pendukung
"Listrik merupakan pondasi ekonomi sebuah negara. Karena itu sudah seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah," pungkas Jumadis.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Realisasi Repatriasi Tax Amnesty Capai Rp 67 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi