jpnn.com, JAKARTA - Langkah Bareskrim Polri menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap dua pimpinan KPK, Selasa lalu (7/11), mendapat sorotan publik.
Saut Situmorang dan Agus Rahardjo, dua pimpinan KPK, dilaporkan oleh Sandy Kurniawan karena dianggap memalsukan surat untuk menjerat Setya Novanto dalam kasus korupsi.
BACA JUGA: Terbit SPDP terhadap 2 Pimpinan KPK, Pengacara Setnov Senang
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan polisi mestinya tidak buru-buru menerbitkan SPDP atau meneruskan laporan kubu Setnov.
"Kalau tindakan KPK dianggap salah karena menyalahgunakan wewenang atau tindakan penyidikan lainnya maka ada sarana yaitu praperadilan," ujarnya.
BACA JUGA: Tiru Fadli Zon, MAKI Minta DPR Surati KPK agar Tahan Novanto
Selain itu, polisi juga mestinya paham dengan ketentuan di pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana.
"Jad jelas dalam KUHP orang yang sedang menjalankan tugas undang-undang maka tidak bisa dipidana, contoh lain penembak eksekusi mati," ungkapnya.
BACA JUGA: Surat Fadli Zon ke KPK Seharusnya Cukup Lewat Pos atau Ojek
Boyamin menambahkan, keputusan pimpinan KPK dalam menerbitkan surat umumnya merupakan usulan dari penyidik yang disampaikan lewat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman.
Artinya, terbitnya SPDP atau dokumen lain yang berkaitan dengan bidang penindakan bukan hanya kesalahan pimpinan. Tapi juga bagian penindakan, khususnya direktorat penyidikan.
"Tindakan pimpinan KPK pasti usulan dan permintaan dari penyidik," terangnya.
Boyamin pun berharap kasus pemalsuan dokumen itu tidak diteruskan polisi. Sebab, tindakan itu bisa dimaknai publik sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan KPK. (tyo)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tuding Setnov Berlagak Sakit ketimbang Pakai Rompi Tahanan
Redaktur & Reporter : Soetomo