Spirit Akulturasi Tiongkok-Jawa Menghasilkan Budaya Peranakan

Selasa, 02 Agustus 2016 – 10:40 WIB
Klenteng Sam Poo Kong di Gedung Batu, Simongan, Semarang

jpnn.com - SEMARANG – Rangkaian tradisi perayaan 611 tahun Admiral Zheng He atau yang lebih popular dengan sebutan Laksamana Cheng Ho di Semarang kali ini lebih seru dam lebih heboh. Rangkaian perayaan diawali dengan diskusi Fasilitasi Pengembangan WIsata Sejarah dan Religi, Cheng Ho dan Warisan Budaya di Hotel MG Suit, Jalan Gajah Mada, Semarang, Sabtu (30/7).

Diskusi itu ibarat menjadi reminder bagi publik akan sejarah dan pengaruh panjang budaya Tiongkok yang terasa sampai sekarang. Staf Ahli Bidang Multikultur Kementerian Pariwisata, Hary Untoro Drajad saat membuka diskusi yang diikuti para budayawan, sejarawan, pelaku usaha, industry, akademisi dan unsur pemerintah itu mengatakan, context lebih penting dari content.

BACA JUGA: Pererat Kerja Sama, Menko Puan Pimpin Delegasi Indonesia ke Tiongkok

“Memahami sejarah Cheng Ho itu harus kontekstual, harus penuh pemaknaan, menengok masa lalu, melihat fakta saat ini, dan memproyeksi masa depan. Bukan hanya text book dan literasi saja,” kata Hary Untoro yang dalam kesempatan itu didampingi Asdep Pengembangan Destinasi Wisata Budaya Kemenpar, Lokot Enda.

Diskusi dengan tiga pembicara itu cukup inspiratif. Taufik Rahzen bertutur soal implikasi Cheng Ho dan warisan budayanya.

BACA JUGA: Ogah Ikut-ikutan Golkar, Demokrat Siapkan Capres dari Internal

Sedangkan Remy Silado alias Japi PA Tambayong  berbicara soal Intepretasi Jalur Samodera Cheng Ho sebagai Daya Tarik Wisata Budaya. Ada pula Harjanto Halim, ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Wisata (Kopi Semawis) yang bercerita soal akulturasi budaya Tiongkok-Jawa di Kota Semarang.

Soal sejarah Cheng Ho sendiri, sudah pasti diskusi berlangsung seru, penuh pro dan kontra, dan cukup atraktif. Tetapi yang menarik justru paparan Harjanto Halim, bos  PT Ulam Tiba Halim, produsen minuman serbuk Marimas itu.

BACA JUGA: Belum Ikhlas, PKS Bakal Tagih Lagi Kursi Ketua MKD

Halim membawa sapu lidi, celana sarung, baju merah bermotif Tiongkok dan serban Arab. Apa maksudnya?

Sapu lidi rupanya yang akan dipakai oleh sekitar 50 orang anggota Kopi Semawis untuk ikut menjadi penyapu di depan arak-arakan Karnaval Cheng Ho dari Klenteng Tay Kak Sie di Gang Pinggir, ke Klenteng Sam Poo Kong di Gedung Batu, Simongan, Semarang.

“Konon, ini punya makna, punya filosofi. Yakni untuk membersihkan diri dari segala sengkolo atau hambatan dan persoalan hidup,” ujar Halim.

Halim juga menjelaskan soal Pasar Gang Baru, Pasar Tradisional dan tempat favorit di Pecinan yang direlokasi untuk pemukiman orang Tionghoa sejak tahun 1741 oleh pemerintah kolonial Belanda. Dulu mereka berada di Simongan, dekat Sam Poo Kong.

Namun, mereka dipindahkan ke satu wilayah yang dekat Kota Lama, markasnya Belanda, agar mudah memantaunya. “Sampai sekarang pasar Gang Baru ini menjadi pasar tradisional paling hidup budayanya,” kata Halim.

Segala masakan yang berbasis Tiongkok pun banyak ditemukan di sini. Seperti leonpia atau dalam sebutan Jawa dilafal lumpia. Ada kue moci, wingko babad, dan banyak makanan khas yang berasal dari Tiongkok.

“Sekarang penjual dan pembelinya lebih banyak orang Semarang, berbaur dalam satu budaya di sana,” kata dia.

Halim juga melihat akulturasi kuat di kesenian, seperti liong dan barongsai yang selalu tampil bersama dalam satu panggung dengan Warak Ngendok. Warak itu, simbul akulturasi, patung binatang berkepala singa (Tiongkok), berleher panjang (Arab) dan bertubuh seperti kambing (Jawa).

Itulah tiga kebudayaan yang memengaruhi Kota Semarang dengan sangat kental. “Dan itu hanya keluar saat sebelum bulan puasa tiba, diarak dalam sebuah karnaval juga sampai ke Masjid Alun-Alun Pasar Johar,” kata Halim yang juga pemilik Sekolah Karang Turi, Semarang itu.

Setiap malam Minggu dan Minggu malam, juga ada street food sepanjang jalan di kamping Pecinan Semarang. Semua jenis makanan ada, dan rasanya original semua, enak-enak.

Tempat makan yang mirip Shilin di Taiwan itu sudah hidup sejak lama, dan konsumen atau penikmat warung yang menutup jalan di kota Pecinan lama itu kebanyakan puas dengan cita rasa yang ditawarkan. “Pintu Gerbangnya sudah menggunakan ornament Tiongkok, sumbangan Kemenpar,” kata Halim.

Ketua Yayasan Sam Poo Kong, Mulyadi juga membenarkan analisa Halim itu. Akulturasi juga bisa dia lihat di klenteng Sam Poo Kong. Saat Festival Cheng Ho yang dipusatkan di klenteng itu, ribuan manusia berjubel di sana.

Orang masih berlalu-lalang sampai tengah malam. Berbaur antara mereka yang menonton pertunjukan kolosal di pelataran tinggi di depan klenteng, dan mereka yang hendak berdoa. “Menyatu saling hormat, saling berbagi, dan semuanya menikmati dengan tertib dan baik,” kata Mulyadi.

Even tahunan perayaan menapaktilasi Laksamana Cheng Ho yang dikemas dalam Festival Budaya Cheng Ho di Semarang ini berlangsung mulai 30-31 Juli 2016.

Pada Sabtu (30/7) malam, pukul 00.00 dirayakan dengan pesta kembang api di kompleks Sam Poo Kong. Ribuan pasang mata pun menunggu lama sampai duduk-duduk di halaman klenteng yang sangat megah itu.

Kegiatan yang dilaksanakan antara lain ritual sembahyangan, malam budaya, seminar dan business meeting, serta kirab budaya dari Klenteng Tay Kak Sie ke Klenteng Sam Poo Kong. Kirab pada Minggu (31/7) juga berlangsung heboh. Ribuan warga antusias membawa patung besar Cheng Ho sejauh 6 kilometer dari klenteng di Gang Pinggir, ke klenteng Sam Poo Kong.

Perayaan kirab ini memperlihatkan detail-detail bagaimana perjalanan Laksamana Cheng Ho dengan armadanya, termasuk kisahnya saat memutuskan singgah di Semarang.

Cheng Ho bukan hanya tokoh penjelajah Bumi yang mashyur, namun juga seorang penyebar agama Islam yang disegani. Namanya sangat legendaris di tengah-tengah peranakan Tionghoa. Jejak Cheng Ho di Semarang sangat mendalam karena konon keturunan Tionghoa di Indonesia telah bekerja susah payah bersama pribumi untuk membangun Kota Semarang.

Tidak hanya itu, ekspedisi Cheng Ho secara garis besar juga berbuah persahabatan dan ilmu pengetahuan. Pada saat kirab berlangsung, para etnis Tionghoa dapat ikut sembahyang di altar besar Sam Poo Kong ataupun meminum air suci di goa petilasan tersebut.

“Saya senang, masyarakat senang, prosesi bagus sesuai rencana, masyarakat terhibur, sudah saatnya destinasi seperti ini dipromosikan ke mana-mana,” ungkap Harry Untoro Drajat.

Terpisah, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, ada istilah cultural value dan commercial atau financial value. Sejarah yang dipelajari sebagai ilmu, katanya, bisa menjadi science dan cultural value.

Tetapi di pariwisata, sejarah bisa dikemas menjadi atraksi menarik setelah digabungkan dengan artefak, bukti peninggalan zaman purbakala, dan legenda atau cerita rakyat yang sudah dipercaya dari mulut ke mulut. Sejarah bisa dikemas dalam storyline yang membuat orang terpikat untuk datang, karena kekuatan cerita.

Cerita yang berbasis sejarah, baik itu fiksi maupun non-fiksi, bisa menjadi atraksi pariwisata yang khas. Menjadikan sejarah masa lalu dengan segala peninggalan yang masih tersisa, itu punya sensasi yang kuat.

“Itulah jawaban mengapa banyak museum di Eropa yang ramai dikunjungi orang. Cerita soal Manneken Pis di Brussels, patung bocah kecil setinggi 61 cm di perempatan jalan di Belgia, itu kaya cerita dan membuat orang tertarik datang melihat sendiri patungnya,” kata Arief Yahya.(bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Beginilah Cara Polisi Selidiki Testimoni Fredi Budiman ke Koordinator KontraS


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler