jpnn.com - Merujuk data terbaru vaksinasi yang dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 26 April 2021, total vaksinasi di Indonesia telah diberikan kepada SDM Kesehatan, petugas publik dan lansia sebanyak 11,8 juta jiwa atau 29,42 persen dari total sasaran sebanyak 181,5 juta jiwa masyarakat Indonesia. Vaksinasi diharapkan dapat mencapai herd immunity atau kekebalan imun.
Untuk mendapatkan vaksin di masa pandemi ini, negara dapat melakukan sejumlah cara, yakni melalui kerja sama bilateral dengan negara yang memproduksi vaksin secara langsung.
BACA JUGA: Bio Farma: Vaksin yang Sedang Diupayakan Pertama Datang dari Sinopharm
Cara lainnya melalui kerja sama multilateral dengan organisasi kesehatan dunia/WHO melalui COVAX Facility yang dikelola oleh WHO bersama GAVI dan Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI).
Selain itu, melalui produksi vaksin mandiri dalam negeri seperti vaksin merah putih.
BACA JUGA: Dituding Mati-matian Bela Vaksin Nusantara, Dahlan Iskan: Apa Salahnya?
Dua minggu yang lalu, India memberhentikan ekspor vaksin ke berbagai negara termasuk Indonesia akibat melonjaknya permintaan domestik negeri Bharata tersebut.
Di India yang sebelumnya terdapat 97.000 kasus per hari, Januari lalu sempat melandai hingga hanya 9.000 ribu kasus per hari. Namun, pada April ini India mengalami pelonjakan kasus sebesar 30 kali lipat menjadi 300.000 kasus per hari akibat adanya kerumunan massal saat sekitar 1.000 lebih masyarakat India melakukan ritual mandi di sungai Gangga.
BACA JUGA: Jokowi - Xi Jinping Berdiskusi, Stok Vaksin Indonesia Bertambah, Alhamdulillah
Padahal, India saat ini menjadi negara kedua yang terdepan soal vaksinasi di Asia setelah China, di mana total 132 juta masyarakat India telah divaksinasi.
Embargo vaksin muncul akibat India harus fokus memproduksi vaksin untuk melawan lonjakan kasus dalam negerinya, belum lagi terdapat varian baru mutasi Covid-19 di India yaitu B.1.1.617 yang tidak kalah ganas.
Kebijakan India ini telah berdampak sangat besar bagi Indonesia, melalui komitmen yang telah disepakati sebelumnya, vaksin AstraZeneca yang diproduksi India seharusnya diberikan 11,7 juta dosis ke Indonesia.
Sebanyak 1,1 juta dosis telah diberikan pada Maret lalu dan sisanya seharusnya diberikan bulan ini. Namun, hanya terdapat 3,8 juta yang akhirnya sampai kemarin di Indonesia.
Berbicara tentang stok vaksin di Indonesia, telah dilakukan skema rencana, yakni per April ini ßeharusnya terdapat 7-10 juta dosis vaksin dari Biofarma, Mei-Juni nanti direncanakan suplai 50 juta dosis vaksin.
Pada Juni sendiri vaksin AstraZeneca dan Novovac akan dijadwalkan tersedia sebesar 30 juta dosis di Indonesia, lalu pada Juli, vaksin Sinovac, Novovac, Pfizer, dan AstraZeneca akan dikirim lagi sesuai kesekapatan yang diberlakukan.
Embargo vaksin menjadi ancaman nyata berbagai negara yang saat ini masih belum mampu memproduksi vaksin sendiri, termasuk Indonesia yang menjadi negara dengan vaksinasi tertinggi ketiga di Asia setelah China dan India.
Belum lagi persoalan ‘nasionalisme vaksin’ bagi sebagian negara yang memproduksi vaksin, dimana mereka ingin agar warga negaranya saja terlebih dahulu yang mendapatkan vaksin.
Hal ini sebenanya dikecam oleh WHO melalui pernyataan “vaccine nationalism harms every one and protect no one”, WHO berkali-kali mengatakan dengan keras bahwa tiap negara harus saling bahu-membahu untuk mewujudkan dunia bebas Covid-19. Jika hanya satu negara saja yang divaksin maka tidak akan ada gunanya karena virus akan selalu menular dari negara lain.
Dengan total lebih dari 160 juta jiwa yang masih harus divaksin, Indonesia harus mampu mengambil kebijakan yang solutif, diplomasi bilateral dan multilateral harus terus ditingkatkan demi pemenuhan vaksinasi.
Di tengah stok vaksin yang masih belum pasti, negara harus memprioritaskan vaksinasi kepada masyarakat yang berisiko tinggi untuk tertular seperti halnya lansia dan petugas kesehatan.
Prioritas vaksin ke daerah-daerah zona merah juga harus diutamakan, misalnya DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Bali.
Saat ini hanya vaksin Pfizer, AstraZeneca dan J&J saja yang telah mendapatkan emergency use of listing (EUL) dari WHO walaupun beberapa waktu yang lalu vaksin J&J sempat stop edar karena terjadi penggumpalan darah di sejumlah Negara.
Sementara vaksin buatan Sinopharm, Sinovac dan Moderna masih menunggu hingga akhir Mei untuk diproses EUL-nya.
Di Indonesia sendiri, hanya AstraZeneca saja yang mendapatkan EUL dari WHO, sisanya Sinovac, dan Biofarma dikeluarkan atas izin emergency use of authorization (EUA) oleh BPOM RI.
Embargo vaksin dunia harus jadi momentum bagi Indonesia untuk mengevaluasi pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi sehingga mendorong percepatan pengembangan vaksin dalam negeri.
Jika Indonesia mampu mandiri dalam vaksin tentunya tidak akan lagi bergantung pada gejolak embargo vaksin dunia yang bisa saja menjadi senjata diplomatik dalam perebutan pengaruh geopolitik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut vaksinasi menjadi acuan terpenting dalam membangkitkan ekonomi negara serta menjauhkan negara dari jurang resesi.
Vaksinasi ditargetkan memicu pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 4,5 hingga 5,3 persen. Strategi pengembangan vaksin juga akan berpengaruh terhadap APBN di tahun depan, anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp627,96 triliun harus digunakan sebijak dan sesolutif mungkin, jangan sampai terjadi keterlambatan vaksinasi yang juga berdampak terhadap investasi di Indonesia.
Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19, tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan di Indonesia masih di bawah 60 persen.
Dukungan politik hingga moril harus secara masif diberikan kepada negara. Masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan walaupun sudah divaksin.
India telah melakukan kesalahan ‘pandemi fatigue/kelelahan pandemi’ yang kemudian mengakibatkan ribuan kasus terjadi secara besar-besaran. Kasus India ini harus menjadi alarm bagi Indonesia agar tidak lagi terjadi gelombang besar penyebaran Covid-19 khususnya menuju Idulfitri.
Vaksinasi memang menjadi upaya terpenting dalam menanggulangi pandemi, namun pencegahan dan pengendalian melalui protokol kesehatan tidak bisa diabaikan, negara dan masyarakat harus bersatu dan bersinergi demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari pandemi.(***)
Penulis adalah mahasiswi Hubungan Internasional UIN Jakarta
Redaktur & Reporter : Friederich