jpnn.com, JAKARTA - Tiga jenis orang utan Indonesia yaitu orang utan Kalimantan (pongo pygmaeus), orang utan Sumatera (pongo abeli), dan orang utan Tapanuli (pongo tapanuliensis) telah dikategorikan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai spesies yang berada dalam status kritis.
Untuk bisa terus melestarikan populasi ketiga jenis orang utan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) orang utan Indonesia 2019-2029 di Jakarta (12/8).
BACA JUGA: KLHK Segera Pindahkan 74 Satwa Liar Dilindungi
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno menyatakan, dokumen SRAK orang utan Indonesia 2019-2029 ini dapat menjadi pedoman bagi semua pihak termasuk pemangku kepentingan di daerah dalam penyusunan rencana dan implementasi pembangunan.
“Saat kita sudah mempunyai rencana yang baik, maka kemudian aksinya yang diperlukan. Dokumen ini akan terasa lebih berarti saat diimplementasikan di lapangan,” ujar dia kepada wartawan di Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (12/8).
BACA JUGA: KLHK Mulai Penilaian untuk Anugerah Nirwasita Tantra 2019
BACA JUGA: KLHK Bantah Tudingan Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia Buruk
Dokumen SRAK Indonesia 2019-2029 merupakan upaya konservasi orang utan dan habitatnya yang disahkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No: SK308/MENLHK/KSDAE/KSA.2/4/2019.
BACA JUGA: KLHK Beberkan Alternatif Penanggulangan Pencemaran Air di Danau Toba
Wiratno berharap, implementasi SRAK orang utan ini mendapat dukungan dari seluruh sektor karena lebih dari 70 persen habitat orang tuan berada di luar kawasan konservasi.
Wiranto menambahkan, orang utan merupakan satu-satunya kera besar yang ada di Asia. Orang utan merupakan satwa arboreal dan semi-soliter yang memiliki mobilitas tinggi dengan daerah jelajah yang luas. Saat ini Indonesia menjadi rumah bagi setidaknya 60 ribu individu orang utan yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan di habitat seluas 15 juta hektare.
Namun demikian, tekanan populasi dan kerusakan habitat akibat pembukaan lahan, konflik satwa-manusia, perburuan dan perdagangan secara ilegal hingga bencana alam telah mengancam kelestarian habitat dan populasi orang utan. Akibatnya 77 persen kantong habitat orang utan berada dalam ancaman 100-500 tahun ke depan jika tidak dilestarikan.
Lanjut Wiranto menerangkan, sekitar sepuluh persen dari jumlah populasi orang utan saat ini hidup di luar kawasan konservasi seperti di dalam kawasan hutan produksi, area tambang, dan perkebunan sawit. Hal ini juga mendorong pemerintah untuk menetapkan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) untuk menjamin kelestarian orang utan.
KEE adalah ekosistem di luar kawasan hutan konservasi yang secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati yang mencakup ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan.
Wiratno menekankan, diperlukan komitmen dan sinergi yang tinggi dari seluruh lapisan baik dari pemerintah, masyarakat, akademisi dan juga sektor swasta untuk menjamin kelestarian orang utan.
“SRAK orang utan Indonesia merupakan acuan strategi yang harus dilaksanakan oleh semua pihak dan tidak dapat dilaksanakan sendiri-sendiri. SRAK orang utan bukan sekedar produk dari pemerintah dalam hal ini KLHK saja, tapi lebih dari itu yaitu sebuah inklusif yang mengajak dan mendorong kita semua untuk berbagi peran dalam implementasi upaya konservasi orang utan di Indonesia,” tegas Wiratno.
Acara peluncuran SRAK orang utan Indonesia 2019-2029 melibatkan Direktorat Teknis lingkup Ditjen KSDAE, Kepala Balai/Balai Besar Taman Nasional di Sumatera dan Kalimantan, Forum Orang utan Indonesia (Forina), Forum Konservasi Orang utan Regional, akademisi/perguruan tinggi, lembaga riset, sektor swasta, serta pemerhati, dan penggiat konservasi orang utan. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkait Pernyataan Greenpeace Soal Deforestasi, Begini Respons KLH
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan