Strategi Pemerintah Genjot Produksi Industri Tekstil

Rabu, 13 Februari 2019 – 10:30 WIB
Ilustrasi tekstil. Foto: Jawa Pos.Com/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah terus berusaha meningkatkan kapasitas produksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Salah satu caranya dengan melakukan identifikasi, baik untuk kebutuhan dalam negeri sebagai substitusi impor maupun ekspor.

BACA JUGA: Maksimalkan Program Direct Call, Hilirisasi Harga Mati

Pemerintah siap memberikan kemudahan dan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan tersebut.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, kebijakan itu merupakan salah satu bagian dari upaya menggenjot produktivitas industri nasional TPT.

BACA JUGA: Strategi Astra Honda Motor Selaraskan Pendidikan dan Industri

’’Fasilitas tersebut, antara lain, kemudahan untuk mendapatkan mesin dan barang modal yang lebih cepat, kemudian jaminan akses terhadap ketersediaan bahan baku,’’ ujar Airlangga, Selasa (12/2).

Airlangga juga kembali menyinggung penerapan skema insentif fiskal berupa super deductible tax atau pengurangan pajak di atas 100 persen.

BACA JUGA: Kemenperin dan PT AHM Perkuat Pendidikan Vokasi

Fasilitas itu diberikan kepada industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi serta melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) untuk menghasilkan inovasi.

’’Skema yang diusulkan adalah pengurangan pajak 200 persen bagi industri yang terlibat dalam pelatihan dan pendidikan vokasi. Lalu, 300 persen bagi industri yang melakukan kegiatan litbang atau inovasi,’’ kata Airlangga.

Industri TPT nasional dinilai perlu membangun kemampuan produksi agar mampu memenuhi permintaan pakaian fungsional di pasar domestik maupun ekspor.

Sebab, dengan pertumbuhan ekonomi saat ini, terjadi pergeseran permintaan dari pakaian dasar (basic clothing) menjadi pakaian fungsional seperti baju olahraga dan sebagainya.

’’Pemerintah juga berupaya membuat perjanjian kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk memperluas pasar ekspor TPT lokal,’’ ungkap Airlangga.

Sebab, produk TPT negara tetangga seperti Vietnam bisa masuk ke pasar Amerika dan Uni Eropa dengan tarif bea masuk nol persen.

Sebaliknya, impor produk tekstil dari Indonesia masih dikenai bea masuk bertahap, mulai lima persen hingga 20 persen.

’’Karena itu, perlu adanya bilateral agreement tersebut,’’ tutur Airlangga.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengakui, pelaku industri TPT lokal masih sulit memperoleh bahan baku lokal yang kompetitif.

’’Impor kain dan benang terus meningkat karena harga benang dan kain di dalam negeri cukup tinggi akibat bea masuk antidumping untuk produk bahan baku benang, yakni polyester staple fibre dari Taiwan, Tiongkok, dan India, yang mencapai 5–28 persen,’’ terang dia. (agf/c14/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu Bakal Kerek Industri Makanan dan Minuman


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler