Strategi Perang dari Lantai 10

Kamis, 18 Desember 2014 – 12:43 WIB
Dahlan Iskan. Foto: Budi Yanto/JPNN

jpnn.com - DAHLAN Iskan membawa jurnalistik ke tingkat berbeda. Tak hanya melulu soal haru biru idealisme, namun juga menghadapkan pada fakta—bahwa jurnalisme sejak lama jadi bagian industri—yang mestinya tak mengabaikan apa yang menarik, seraya tetap memelihara keinginan membela sesuatu yang subjektif berupa kebenaran hingga hal paling objektif yakni fakta.

 

------------------
Budi Yanto, Jakarta
-----------------
Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan ruang rapat bernuansa biru putih itu. Selain sisi jendelanya yang menghadap lanskap Jakarta Selatan. Dari jendela itu—jika tirainya dibuka—orang bisa melihat aneka pemandangan; dari bangunan kumuh hingga gedung pencakar langit dan beberapa perumahan mewah.

BACA JUGA: Ikhlas Lepas Museum Seikhlas Lepas Kekasih Pergi

Ruangan itu dilengkapi dengan sebuah meja oval memanjang, sebuah papan tulis putih, dan fasilitas layar proyektor perlengkapan presentasi standar. Pintu utama ruangan terhubung langsung dengan ruang kerja awak redaksi Jawa Pos.

BACA JUGA: Terawan Agus Putranto, Dokter Tentara Ikon RSPAD Gatot Soebroto

Alih-alih disebut pintu, akses menuju ruangan dibatasi panel-panel satu poros di tengah bagian, yang menyerupai kotak persegi memanjang ke atas. Karena menggunakan sistem engsel di tengah, panel itu bisa di dorong jika hendak keluar-masuk.

Konon ruangan itu jadi salah satu tempat mengurai ide di Graha Pena  Jawa Pos Jakarta. Bukan karena posisinya yang menawarkan aneka pemandangan dramatis di luar jendela—karena tirainya lebih sering ditutup, meski celahnya membuat orang sesekali ingin mengintip keluar—namun jadi tempat membedah ide karena ruangan itu memang formulanya ditujukan untuk diskusi dan rapat.

BACA JUGA: Mengenal Khoirul Anwar, Tukang Ngarit Penemu Teknologi 4G

Mungkin tak harus terlalu serius, karena kursi putar 360 derajat yang bisa disesuaikan tingginya malah memungkinkan situasi jadi rileks.

Di ruang itu, Dahlah Iskan dijadwalkan mengarahkan diskusi bagi belasan orang penentu kebijakan koran metro Jawa Pos group yang tersebar di pelbagai wilayah Indonesia. Sebelumnya diskusi direncanakan dihelat di sebuah rumah, Jalan Hang Tuah, Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang dikenal sebagai Padepokan Demi Indonesia. Atas permintaan Dahlan, diskusi dipindahkan ke ruang lantai 10 Kantor Jawa Pos Group di Kebayoran Lama, juga masih di Jakarta Selatan.

Sebagai orang yang sebelumnya tak pernah mengenal dekat Dahlan, saya belakangan jadi paham; mengapa banyak orang mengidolakan pria sederhana itu. Penampilan zuhud—untuk ukuran orang di balik ekspansi bisnis Jawa Pos—Dahlan mengajarkan gaya baru kepada para anak muda.

Setiap hari, selama 10 hari berturut-turut, ia selalu mengenakan kemeja, celana panjang dan sepatu dengan model sama. Dalam hati saya iseng bertanya; “Sebenarnya ada berapa stel sih baju, celana dan sepatu milik Dahlan? Sehingga ia mampu pakai pakaian serupa puluhan hari?”

Baju putih bertuliskan Kaliandra, celana warna hitam, dan sepatu kets bertuliskan DI yang fenomenal itu, jadi modal penampilan sehari-harinya. Kesederhanaan itu seakan mengajarkan; untuk jadi pemimpin hebat,  anda tak perlu pakai baju merk Cardinal, Poshboy, piere cardin, jeans impor dan kemeja keluaran distro mahal.

Betapa penampilan yang terpenting adalah kesopanan dan kepantasan. Karena pakaian mewah dan sepatu keren juga tak menjamin anda menjadi orang hebat.  

Awal Desember lalu, Dahlan Iskan membedah pikiran banyak anak muda yang dipilihnya untuk ikut ‘diskusi’ di ruangan itu. Para anak muda ‘terpilih’ itu adalah penentu kebijakan di tempat mereka bekerja. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Para anak muda ini merupakan “piston penggerak” di sebuah mesin bernama “koran metro” daerah masing-masing.

Belasan peserta diskusi itu terdiri dari berbagai macam karakter. Ada yang cuek, pendiam, periang, tenang, berpenampilan seadanya, berambut klimis, dewasa, ber-api-api, hingga pemarah. Bahkan beberapa diantaranya tak lancar berbahasa Indonesia, sulit berucap terstruktur, penuh keraguan, pesimis hingga sosok anak muda optimis.

Namun Dahlan sukses mengatasi keragaman itu dengan memberi julukan yang meyakinkan; “Kalian adalah orang-orang ajaib,”. Motivasi itu–entah mengapa—jadi semacam ajimat ajaib buat peserta diskusi hingga 10 hari berikutnya.

Pertemuan itu memang sejatinya berupa diskusi, karena bekas Menteri BUMN itu tak ragu meleparkan masalah ke tengah audiens untuk dipecahkan bersama para generasi baru itu. Ia seakan menunjukan bahwa dirinya terbuka pada hal-hal moderat yang jauh melampaui cara pandang saat dirinya masih aktif sebagai jurnalis lapangan.

Dahlan juga menyajikan banyak hal baru, bahkan jauh lebih maju dari era yang kini dialami para anak muda yang berdiskusi dengannya. Ibarat bermain catur, ia sudah menyiapkan puluhan langkah antisipasi untuk menghadapi kompetisi zaman.

Bahkan, ia dengan sabar mencoba menyelami pemikiran generasi kini, yang kerap terjebak dengan egoisme dan individualisme yang lahir dari sikap manja karena kemudahan teknologi. Ia juga tak ragu mengubah pendapat, jika memang itu terbukti karena pertimbangan logis dan masuk akal. Menunjukan pria dibalik ekspansi mega bisnis Jawa Pos Group ini dibentuk sebagai pemimpin yang mampu beradaptasi.

Metode pemecahan masalah yang dikemukakannya juga detil, terstruktur, dan disajikan gamblang. Detil karena ia mengurai seluk-beluk masalah lewat pemikiran mendalam. Terstruktur karena ia tahu betul masalah mendasar, kemudian menuju pemecahan masalah berikutnya yang jadi pelengkap persoalan, begitu seterusnya hingga masalah-masalah di belakang layar yang cenderung jadi pemicu bangkitnya hambatan baru. Disajikan gamblang, karena ia tak ragu mengulang demi memastikan orang memahami masalah, isi, dan arah pembicaraan.

Dengan membangun diskusi dan komunikasi dua arah, Dahlan seakan ingin memberi tahu, bahwa jurnalisme itu dinamis. Bukan teks book seperti teori klasik jurnalistik. Ia menyajikan fakta, bahwa praktisi media cetak harus siap dengan tantangan arus informasi dengan makin terbukanya ruang informasi lewat televisi dan internet.

Bersama para peserta, ia juga memetakan penyakit mendasar para jurnalis di era teknologi dewasa ini. Bahkan ia membuat istilah khusus hasil inventarisir itu dengan julukan “Tujuh Setan Jurnalistik” yang harus diperangi para anak muda penentu kebijakan di koran metro, sepulang ke tempat kerja masing-masing.

Bersama para peserta diskusi, ia juga merumuskan sebuah ‘strategi perang’ baru yang belakangan disepakati untuk dinamakan “new stright news” dan dikenal oleh para anak muda  itu lewat singkatan NSN.

Berbagi Pengalaman Meliput

Dahlan juga tak menolak ketika saya—dengan dibantu beberapa rekan peserta diskusi—meminta ia membagi pengalamannya meliput “Neraka 40 Jam di Tengah Laut”—cerita terbakarnya kapal bekas Tampomas II—di era 80an.

Permintaan cerita sampingan itu bukan tanpa alasan. Karena sepengetahuan saya, drama dan tragedi  Tampo Mas II itu membuat nama Dahlan menjadi lagenda di barisan jurnalis Indonesia.

Pemilihan cerita tambahan itu sebelumnya dilatarbelakangi oleh pujian jurnalis senior, Atmakusumah Astraatmadja—bekas redaktur pelaksana Harian Indonesia Raya—saat saya mengikuti pelatihan jurnalistik di Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) beberapa tahun lalu.

Atmakusumah mensejajarkan liputan Tampomas II Dahlan Iskan dengan liputan fenomenal milik Maskun Iskandar—bekas wartawan Indonesia Raya, kini dosen bahasa di Universitas Ahmad Dahlan—tentang pembantaian eks PKI 1969. Bahkan Atmakusumah mensejajarkan liputan Dahlan dengan karya investigatif milik Bondan “Maknyus” Winarno soal Skandal Emas Busang Kaltim di era 90an.

Hal berikut yang melatarbelakangi saya mendesak Dahlan bercerita soal pengalamannya meliput neraka 40 jam itu, karena tulisannya yang kaya deskripsi, dan dramatis tersebut, telah berpengaruh pada budaya pop Indonesia.

Liputan neraka di Tampomas saat itu malah menginspirasi Iwan Fals membuat lagu dengan judul “Celoteh Camar Tolol dan Cemar” yang jadi hits di medio awal 80an. Tak ketinggalan penyanyi balada Ebiet G Ade juga menciptakan lagu khusus berjudul “Sebuah Tragedi 1981”.

Dahlan tak menolak berbagi. Ia mengisahkan betapa “eksklusif” adalah hal yang sudah sejak lama mempengaruhi dan memotivasi lahirnya karya-karya jurnalistik fenomenal di dunia. Bahkan di-era dirinya masih jurnalis TEMPO dan ditugasi meliput musibah pemicu terkuaknya skandal pembelian kapal bekas itu.

Dahlan adalah peminjam yang baik bagi mata, telinga dan indera perasa para saksi kunci dan orang yang belakangan selamat dari musibah. Ia bahkan dengan mengejutkan bisa mendapatkan foto-foto istimewa nan fenomenal saat kejadian, dengan bermodalkan pendekatan dan menyelami perasaan orang-orang yang sempat terjebak bencana itu.

Ia berbagi trik sederhana mengakali keterbatasan sarana di era itu dengan mengandalkan insting berbeda angle dari para wartawan lain yang fokus meliput di Jakarta, sementara ia memilih menyusuri jalur keberangkatan kapal hingga ke Makassar.

Ia juga mengingatkan, bahwa apresiasi atas karya tak melulu harus berupa materi, bahkan pujian kecil yang disampaikan tak langsung bisa memacu Dahlan muda melanjutkan kisah drama Tampomas II, hingga tuntas menyimpulkan skandal besar pembelian kapal bekas itu.
*****
10 hari diskusi dengan Dahlan Iskan, ternyata memberi banyak pencerahan dan pemahaman baru kepada belasan anak muda yang mengaji kaidah jurnalistik di lantai 10 gedung Jawa Pos Jakarta itu. Mereka disajikan, kemudian berupaya memahami dan mempersiapkan strategi atas sejumlah realitas baru industri media. Nantinya belasan orang itu diharapkan mengembalikan marwah media mapan yang tetap mengedepankan fakta dan idealisme ke tengah pembaca.

Dahlan juga menekankan pemahaman ideal jurnalistik, yakni terkait upaya meladeni keinginan publik sebagai ‘majikan’ yang perlu informasi, tanpa membunuh realitas. Ia memberlakukan standar kejujuran, fokus hingga kemampuan membuat pembaca mengerti, memahami, dan menyelami kedalaman berita media cetak ditengah persaingan era teknologi informasi.

Hasilnya; ruangan tak seberapa besar di lantai 10 itu, seperti memberi pemahaman kepada para peserta; bahwa orang yang menguras ide di ruangan itu harus melihat masalah utuh dan jelas. Para peserta juga dituntun untuk mengecap dinamika bahwa masalah media cetak yang didiskusikan, dipersoalkan dan dipecahkan bersama bukan hanya soal seni, estetika dan kebutuhan industri, namun soal pesan idealisme dan konsisten memelihara penyajian fakta.

Dari seorang yang tak begitu kenal Dahlan, saya banyak belajar “strategi ajaib” dari orang yang menginspirasi jutaan orang di negeri ini. Dan itu saya alami di sebuah ruangan di lantai 10 gedung Jawa Pos Jakarta.(*)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Delapan Bulan tanpa Perawatan karena Tak Masuk Kartu Keluarga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler