jpnn.com, JAKARTA - Ketua Institut Harkat Bangsa Sudirman Said menyesalkan ulah para pejabat tinggi negara yang kerap membuat gaduh dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya.
Terbaru, dan sedang hangat-hangatnya, pernyataan kontroversial Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tentang azan.
BACA JUGA: Sudirman Said: Memberantas Korupsi Tak Cukup dengan Hukum
Sudirman menyebut, dirinya sepakat dengan pengaturan pengeras suara, baik volume maupun lamanya pengeras suara, di masjid atau mushola-mushola.
Karena di kota-kota memang pemukiman makin padat dan penghuni semakin beragam agama dan keyakinan. Pengaturan ini juga sedang dikelola oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI).
BACA JUGA: Sudirman Said Usulkan Audit demi Sudahi Spekulasi Bisnis PCR Menteri
"Hanya, mengatur kehidupan beragama harus dengan kebijaksanaan yang tinggi, sebaiknya menghindari diksi yang memancing emosi, atau yang merendahkan," ujar Sudirman, Kamis (24/2).
Kini, kata mantan Menteri ESDM itu, publik dihadapkan pada kenyataan bahwa pemimpin kementerian yang seharusnya menjaga kerukunan dan kedamaian, malah menyulut kontroversi yang tidak perlu.
BACA JUGA: Sudirman: Semangat Sumpah Pemuda jadi Pemersatu Mengatasi Pandemi Covid-19
Seharusnya, para pejabat publik belajar dari almarhum Frans Seda, seorang tokoh bangsa yang lama sekali menjadi pelayan publik dalam jabatan yang tinggi.
"Kata Pak Frans Seda, menteri atau pejabat tinggi negara itu punya tiga peran. Satu pembantu Presiden. Dua pemimpin sektor/institusi yang dipimpinnya, dan tiga, tokoh masyarakat," ungkapnya.
Sebagai tokoh masyarakat peran itu tak pernah berhenti, meskipun sudah tidak lagi duduk dalam jabatan formal.
Nah, dikataka Sudirman, bila para pejabat tinggi itu menyadari bahwa dia tokoh masyarakat maka segala ucapan, tindakan dan perilakunya akan menjadi perhatian dan rujukan publik.
"Kesadaran sebagai tokoh masyarakat ini tampaknya tidak cukup tebal atau mulai luntur. Itu yang membuat pernyataan dan tindakan kontroversial banyak tampil ke wilayah publik," tutur Sudirman.
Hal ini berdampak pada terseretnya energi bangsa pada kontroversi yang tidak produktif.
Selain itu, tindakan konyol atau pernyataan konyol dari Pejabat Tinggi negara akan menurunkan standar moralitas bernegara kita.
"Kalau pernyataannya mengabaikan kepatutan, tidak menuju pada kemanfaatan umum, membuat banyak mudharat, maka orang-orang awam juga bisa bersikap, 'dia saja begitu, saya juga bisa lebih konyol lah'," ucapnya.
Diingatkan Sudirman, kerusakan tata nilai bernegara dan berbangsa lebih berbahaya, karena ibarat tubuh manusia, nilai-nilai dan etika adalah nerve systems-nya.
Contoh lain penerabasan kepatutan adalah wacana soal penundaan Pemilu 2024 yang dilontarkan para pimpinan parpol dan menteri.
Sudirman mengingatkan, perputaran kepemimpinan nasional sudah diatur konstitusi. Tanggal pemilu, juga sudah ditetapkan berdasarkan konstitusi dan undang-undang yang mengaturnya.
"Kok tiba-tiba ada wacana mengajak Pemilu dimundurkan. Tidak ada perang, tidak ada kedaruratan, suasana kehidupan berjalan normal, bahkan Pandemi Covid-19 semakin dapat dikendalikan, kok tiba tiba mengajak menunda Pemilu?" tanya Sudirman.
"Apa mereka tidak sadar bahwa yang diucapkan adalah ajakan melanggar konstitusi secara kolektif. Apakah mereka mau menanggung dosa sejarah kolektif, hanya karena ingin memanjang-manjangkan masa menjabat?" sambungnya.
Ditegaskannya, negeri ini punya rakyat, bukan milik pribadi. Jika mau membuat aturan semaunya yang sesuai dengan selera pribadi, Sudirman menyarankan para pimpinan parpol dan menteri tersebut untuk membentuk perusahaan privat. Bukan masuk ke lembaga-lembaga publik.
"Kalau masuk ke lembaga publik sudah jelas harus mengikuti aturan konstitusi dan perundang-undangan," tegasnya.
Sudirman menilai perlu ada kesadaran bersama untuk saling mengingatkan. Elite politik harus ingat nasihat Ronggowarsito, harus 'eling lan waspada', jangan semua melu edan.
Sebab semujur-mujurnya orang yang tergila-gila segalanya, lebih terjaga orang yang senantiasa ingat dan menjaga kepatutan.
Sudirman mengingatkan, jabatan itu sementara. Umur, ada batasnya. Pejabat juga harus ingat, yang sedang diurus itu urusan rakyat semesta, bukan mengurus pribadi dan anggota keluarga.
"Kita harus membangun keberanian agar para kaum terdidik bersedia saling mengingatkan, bila bangsa ini ingin selamat. Jangan biarkan kekacauan pikiran, ucapan dan tindakan mewarnai kehidupan bernegara kita," tandas Sudirman. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil