Sukses Kuasai Freeport, Pemerintah Ditantang Ambil Vale

Minggu, 30 Desember 2018 – 22:33 WIB
Aktivitas tambang PT Freeport Indonesia. Foto: dok/Radar Timika

jpnn.com, JAKARTA - Keberhasilan pemerintah mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia mendapat apresiasi banyak kalangan.

Ketua Fraksi Partai NasDem Ahmad HM Ali berharap, keberhasilan itu diikuti dengan pengambilalihan saham perusahaan lainnya, yaitu PT Vale Indonesia.

BACA JUGA: Testimoni SMI soal Ikhtiar Panjang Kuasai Freeport Indonesia

Vale adalah perusahaan tambang asal Brasil. Dulu dikenal dengan nama INCO. Vale didirikan sejak 1968.

 "Saya memiliki impian, Indonesia berdaulat atas kekayaan alamnya. Salah satu perwujudan yang terbilang penting adalah divestasi saham PT Vale Indonesia, menyusul keberhasilan divestasi saham Freeport," kata dia dalam keterangan pers.

BACA JUGA: Bela Jokowi soal Freeport, Misbakhun Bakal Ganjal Angket DPR

Menurut Ahmad, lebih dari setengah abad, Vale telah mengekstraksi nikel di daratan Sulawesi.

Di bawah rezim Kontrak Karya (KK) dengan penguasaan saham yang dominan, Vale telah menjadi salah satu perusahaan tambang nikel nomor wahid.

BACA JUGA: Dukung Angket Freeport, Fadli Zon Yakin Ada Skandal Besar

"Indikatornya, Vale menyumbang 5 persen pasokan nikel dunia. Dengan ukuran sedemikian, Vale memiliki pengaruh signifikan dalam dinamika komoditas nikel global," ungkap Ahmad.

Dalam operasinya, kata Ahmad, Vale memiliki banyak noda. Mulai dari konflik antara masyarakat hingga isu kerusakan lingkungan. Masalah yang paling utama adalah KK. Di bawah rezim ini, perusahaan dan negara diposisikan setara.

Menurut Ahmad, relasi yang ada dalam KK itu tidak wajar. Sebab, negara yang merepresentasikan rakyat Indonesia, adalah pemilik sah Tanah Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sudah sepatutnya posisi negara lebih tinggi dari korporasi sebagai pengelola.

"Fenomena ini berimplikasi luas. Berkali-kali pihak korporasi diberi perpanjangan KK dengan klausul yang lebih condong menguntungkan mereka. Ini membuat kesan publik bahwa negara lemah di hadapan korporasi pertambangan," imbuhnya.

Soal divestasi, sebenarnya Vale telah melepaskan 20 persen sahamnya kepada publik. Namun, dalam praktiknya, publik di sana didominasi pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri.

Seperti Platinum Asia Fund, GIC Singapore, Citibank New York, NT SST Co, Vale Japan Limited, The Manufactures Life INS, BBH Boston, AIA, dan Prudential Life Assurance.

Padahal, dalam UU Minerba baru dan regulasi turunannya, khususnya PP Nomor 24/2012, jelas termaktub bahwa divestasi saham wajib diberikan secara berjenjang kepada peserta Indonesia.

"Yaitu kepada pemerintah pusat, pemprov, dan kabupaten/kota, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta nasional. Hingga saat ini, Vale tak kunjung menawarkan saham kepada pihak Indonesia," cetusnya.

Selain itu, Vale juga tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter di Bahodopi dan Pomalaa. Tawaran dari Pemda Sulawesi Tengah untuk pembangunan itu juga tak digubris serius.

"Inilah saatnya untuk menimbang ulang status KK amandemen Vale. Hal-hal tadi cukup untuk menjadi basis pijak guna memaksa pihak Vale berunding kembali dan mempercepat agenda perubahan status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang termasuk di dalamnya divestasi saham 51 persen ke pihak Indonesia. Mimpi saya, menyusul Freeport, Vale kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," tandasnya.(flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Setuju Dibentuk Pansus Angket Divestasi Saham Freeport


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler