jpnn.com - SEBAGAI salah satu kawasan wisata terpopuler di Malaysia, nama Cameron Highlands mungkin tak terlalu familier di Indonesia. Akhir pekan lalu beberapa cyclist Surabaya mengunjungi dataran sejuk dan indah itu naik sepeda.
------
Catatan AZRUL ANANDA
------
BACA JUGA: Wajah Lain Hubungan Indonesia-Australia
Cameron Highlands? Ketika menyampaikan nama itu untuk menjadi rute bersepeda, banyak teman yang heran dan menggelengkan kepala.
Sampai ada yang nyeletuk, "Kalau nanti dikejar singa bagaimana?"
BACA JUGA: Lailly Prihatiningtyas, Calon Direktur Utama BUMN Termuda
Ketika bilang nama "Cameron," mereka kira itu rencana ke Kamerun, negara di Afrika!
Padahal, setelah ke sana, Cameron Highlands "Dataran Tinggi Cameron" benar-benar tempat yang mengasyikkan. Khususnya bagi yang suka wisata alam, hawa dingin, dan suasana tenang saat liburan.
***
Terus terang, saya juga tidak familier dengan tempat tersebut. Yang saya tahu, banyak teman sesama cyclist di Singapura yang mengaku senang sekali pergi ke sana.
BACA JUGA: Kejar Pelaku Tabrak Lari saat Angkut 10 Penumpang
Joyce Leong, pendiri Joyriders, komunitas sepeda terbesar di Singapura, sangat rutin ke sana dan bikin tur bersama para cyclist ke sana. "Saya setahun empat kali ke Cameron. Ini tempat saya latihan menanjak. Soalnya, Singapura tidak punya gunung," tuturnya.
Karena penasaran, saya pun booking tempat di acara yang dia laksanakan akhir pekan lalu, 29 November sampai 1 Desember. Beberapa teman akhirnya juga ikut serta dari Indonesia.
Dari Surabaya Road Bike Community (SRBC), ikut serta Teddy Moelijono selaku ketua. Siswo Wardojo, founder SRBC yang dikenal doyan siksaan dan tanjakan, paling semangat ikut serta (meski ekspresinya selalu sama, baik saat senang maupun tersiksa). Satu lagi yang "terjebak" ikut serta adalah Donny Gunawan, teman cyclist asal Tulungagung.
Ketika berangkat pun, saya tidak punya bayangan kalau Cameron Highlands itu kawasan wisata yang begitu menarik. Yang saya pedulikan sebagai cyclist bahwa Cameron Highlands punya banyak rute seru dan menantang untuk latihan tanjakan.
Kami pun terbang dari Surabaya ke Singapura, Kamis (28/11) sore pekan lalu. Sebab, Jumat pagi-pagi, pukul 05.00, kami sudah harus berkumpul di apartemen tempat tinggal Joyce Leong, di kawasan Newton.
Di sana sebuah bus bertingkat siap mengangkut para peserta cycling tour ke Cameron Highlands.
Ini bus mewah. Bagian bawah yang berupa semacam ruang tamu (dengan sofa dan lain-lain) dijadikan tempat menaruh sepeda. Lantai atas tempat duduk peserta, dan sangat longgar. Total hanya ada 30 kursi, masing-masing seperti kursi pesawat business class.
Masih ada pula ruang untuk menaruh koper berisikan baju dan perlengkapan lain.
Satu per satu peserta berdatangan ke kawasan tempat tinggal Joyce. Total, ada 28 peserta. Bukan hanya ada orang Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Mereka mewakili sepuluh negara. Ada juga yang dari Islandia, Filipina, Inggris, Jepang, Swiss, Belgia, dan Australia.
Sebagian adalah anggota Joyriders Racing Team, yang menggunakan acara ini sebagai ajang untuk berlatih.
Yang dari Indonesia bukan hanya kami. Ada Dienly Wong, 45. Dia ikut bersama suaminya, warga Singapura Simon Yap, 52. Mereka berdua tinggal di Bali.
Setelah semua peserta terkumpul, bus berangkat pukul 05.30. Tidak lama langsung melewati check point imigrasi di Tuas, menyeberang ke Malaysia.
Tidak lama kami berhenti lagi untuk makan pagi di Johor. Setelah beberapa jam berkendara lagi ke arah utara, kami berhenti lagi untuk makan siang di kawasan Petaling Jaya. Makan nasi lemak di Village Park Restaurant, yang katanya terenak di Malaysia (sepertinya begitu, karena memang enak sekali!).
Dua jam kemudian, terus ke utara melewati Ipoh, kami pun sampai di tempat start untuk memulai rute bersepeda. Menanjak sejauh 53 kilometer menuju Tanah Rata, pusat keramaian Cameron Highlands.
Total, perjalanan busnya tujuh jam dari Singapura. Dipotong dua jam untuk breakfast dan lunch.
***
Cameron Highlands mungkin adalah Puncak-nya orang Jakarta dan Batu-nya orang Surabaya. Dataran tinggi tempat orang berlibur mencari hawa dingin, menjauhkan diri dari ingar-bingar dan "kesesakan" kota. Meski di Indonesia, Puncak dan Batu sama-sama mulai terasa sesak".
Cameron Highlands sendiri sangatlah luas. Luasnya 712 kilometer persegi, alias seluas Singapura. Ketinggiannya antara 1.100 hingga 1.600 meter di atas permukaan laut.
Kawasan di negara bagian Pahang Darul Makmur ini sebenarnya sudah sangat lama eksis. Wilayah ini dikembangkan Inggris sejak 1930-an.
Bagi penggemar wisata alam, tempat ini menawarkan banyak pemandangan indah. Agrowisata merupakan andalan, karena di Cameron Highlands ada perkebunan teh, dan kondang pula dengan hasil stroberinya.
Dari Kuala Lumpur, jaraknya memang masih 200 km. Tapi, sebenarnya bisa ditempuh dengan mobil atau bus hanya dalam tiga jam, mengingat infrastruktur jalan (highway) di Malaysia yang sangat maju.
Bagi cyclist seperti saya dan teman-teman, Cameron Highlands memberikan "area bermain" yang luar biasa luas dan memberikan tantangan lumayan.
Pada hari pertama Jumat (29/11) lalu, kami berhenti di sisi barat Cameron Highlands, di sebuah SPBU di Kampung Kepayang. Karena sudah sore, rute hari itu dibuat "pendek". Sekitar 53 kilometer menanjak ke arah Brinchang, kota kecil lain sebelum memasuki Tanah Rata.
Hanya anggota Joyriders Racing Team yang terus gowes sampai Tanah Rata (menambah 20-an km lagi).
Bagi kami berempat dari Surabaya, hanya ada waktu 30 menit untuk ganti pakaian, merakit sepeda dari koper, lalu tancap gas mulai bersepeda. Peserta lain siap dengan sepedanya sejak dari Singapura. Mereka tinggal ganti baju dan mulai gowes.
Tanjakan tidaklah terlalu berat, khususnya bagi yang sudah pengalaman. Tingkat kemiringan (gradient) tidak lebih dari 7 persen. Yang jadi tantangan adalah hujan dan hawa dingin.
Gerimis ketika mulai gowes, hujan makin lebat dan hawa makin dingin. Ketika mencapai finis di sebuah kafe/pusat belanja oleh-oleh, kami sudah mendaki total 1.600-an meter, dan suhu saat itu turun sampai 17 derajat Celsius.
Suhu di Cameron Highlands memang tak pernah lebih dari 25 derajat. Kalau malam bisa turun sampai 9 derajat Celsius!
Karena kedinginan, kami pun langsung minum Milo hangat, teh stroberi hangat, atau cokelat stroberi hangat.
Begitu semua berkumpul, bus datang, dan semua sepeda di-loading lagi ke dalamnya. Kami naik bus ke Tanah Rata, makan malam dulu sebelum menuju hotel (sebuah serviced apartment).
Masuk apartemen sekitar pukul 21.00, kami harus memaksimalkan istirahat. Maklum, sudah bangun pukul 04.00, naik bus berjam-jam, lalu gowes lebih dari tiga jam melewati tanjakan.
Apalagi, Sabtu (30/11) pagi kami harus bangun lagi pukul 04.00, mulai program lagi sejak pukul 05.00.
***
Sabtu pagi, pukul 05.00, kami naik bus, yang kemudian berangkat "turun gunung" ke arah timur. Berhenti lagi di sebuah SPBU di Sungai Koyah, kami lantas harus kembali menanjak ke arah barat, dengan total rute lebih dari 92 kilometer menuju Tanah Rata.
Sekitar pukul 07.00, kami mulai gowes.
Seperti program lain yang digelar Joyriders, kami harus mampu mandiri. Bus hanya akan berhenti dua atau tiga kali di tempat tertentu, memberi kita suplai air atau snack. Kalau ada ban bocor di tengah jalan atau masalah teknis lain, kami harus bisa mengatasinya sendiri.
Lagi-lagi, hujan gerimis mengawali acara, berlanjut makin lebat ketika semakin mendekati puncak!
Walau jarak tempuh lumayan jauh, tanjakan lagi-lagi tidaklah terlalu berat. Berkisar 3-7 persen di kebanyakan bagian, dengan beberapa bagian pendek mencapai 9 persen. Jalannya lebar-lebar (seperti tol), sehingga terasa "terbuka." Hujan dan dingin, sekali lagi, menjadi tantangan utama.
Karena rute panjang, banyak peserta mulai rontok. Kami sendiri bertekad menyelesaikannya sampai finis. Khususnya Donny Gunawan, yang punya pengalaman climbing lebih minim daripada yang lain.
"Pokoknya sudah saya niati finis walau harus pelan-pelan. Saya tidak datang jauh-jauh untuk menyerah," ucapnya.
Pemandangan sangat indah terlihat begitu kami semakin dekat dengan Tanah Rata. Beberapa kali kami berhenti, foto-foto dengan latar belakang perkebunan teh atau penanda jalan yang menarik.
Finis sekitar pukul 12.00, kami berkumpul di Jasmine Caf", sebuah restoran western di Tanah Rata. Restoran itu terkenal dengan fillet mignon (steak) dan roast duck (bebek panggang), plus jus stroberi.
Per porsi, termasuk steak, jus, Milo hangat, dan sup ayam hangat, kena biaya sekitar 50 ringgit. Tergolong murah mengingat kualitas makanannya.
Cameron Highlands memang bukan seperti kawasan wisata yang mewah. Tidak ada butik high end, tidak ada hotel supermewah. Makanan-makanan relatif terjangkau, dan ada banyak opsi makan di pinggir jalan kalau memang ingin demikian (bakul sate misalnya).
Usai makan, kami langsung balik ke hotel. Mandi dan istirahat. Dasar cyclist, kami tidak minat jalan-jalan. Memilih santai di apartemen, ngobrol sambil menunggu jadwal makan malam.
Usai makan malam, baru kami jalan-jalan di Tanah Rata. Belanja sedikit suvenir (khususnya teh stroberi), lalu nongkrong di sebuah Starbucks.
Kebetulan, akhir pekan itu ada kontes mobil modifikasi di pelataran parkir, di sisi jalan utama Tanah Rata. Seru juga melihat mobil-mobil modifikasi Negeri Jiran, yang mengandalkan permainan lampu, seolah-olah ingin jauh dari aliran elegan.
***
Tidak terasa, Minggu pun tiba (1/12). Lagi-lagi bangun pagi, pukul 06.30 kami sudah menaruh koper dan lain-lain ke atas bus. Jadwal pagi itu, kami menggelinding turun, dengan sedikit bagian menanjak, ke arah Tapah.
Jaraknya hampir 60 kilometer.
Di Tapah, sepeda kami packing, lalu semua naik bus kembali pulang ke arah Singapura. Di tengah perjalanan "turun," beberapa kali kami berhenti di tempat-tempat yang menarik untuk berfoto. Misalnya, sebuah air terjun, perkampungan kumuh, atau penanda jalan yang menunjukkan jarak menuju Kuala Lumpur (hampir 200 km).
Teddy dan Siswo rupanya tak tahan melihat beberapa penjual durian di pinggir jalan. Mereka pun sempat berhenti, makan dua buah durian, sebelum melanjutkan turun ke Tapah.
Naik bus sekitar 30 menit dari Tapah, kami berhenti di sebuah rest area. Dengan cepat, kami diminta mandi dan berganti pakaian di toilet-toilet yang tersedia di sana.
Setelah itu makan siang di Bidor, makan sup bebek yang superkondang.
Sebelum menuju Singapura, bus mengantarkan kami berempat menuju Kuala Lumpur International Airport (dua jam dari Bidor), untuk terbang kembali ke Surabaya. Kami berempat berpisah dari rombongan, yang meneruskan naik bus kembali ke Singapura (masih berjam-jam lagi!).
Menjelang berpisah, Joyce Leong memberikan "medali" khusus bagi para peserta tur. Bukan medali normal, bukan piagam biasa. Setiap peserta mendapatkan sebuah kubis, hasil alam asli Cameron Highlands!
Pukul 20.00 kami mendarat di Surabaya dan langsung berpisah pulang. Tiga hari perjalanan terasa begitu cepat. Karena rute cycling, kami tentu tidak sempat berwisata. Sayang memang, karena ada rute hiking di Tanah Rata yang begitu kondang, dan setiap orang hanya dikenai biaya sekitar 75 ringgit.
Namun, itu menjadi alasan supaya kelak kembali lagi ke Cameron. Sebab, perjalanan ini benar-benar berkesan. "Kami mampu mengatasi hujan dan hawa dingin. Kami mengalahkan rasa lapar, bahkan menaklukkan tanjakan. Kami lolos dari Cameron Highland!" Begitu bunyi status BlackBerry Donny Gunawan"
Dan memang, saat masih di Malaysia pun, kami sudah berkomunikasi dengan teman-teman sepeda lain di Indonesia. Kelak harus ramai-ramai ke Cameron Highlands lagi.
Kalaupun tidak ingin bersepeda, tempat ini bisa menjadi opsi liburan keluarga yang cukup asyik" (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirikan Sekolah Alternatif di Pedalaman Pesisir Papua
Redaktur : Tim Redaksi