Wajah Lain Hubungan Indonesia-Australia

Selasa, 03 Desember 2013 – 05:26 WIB
TELEKONFERENSI: Guru dan para siswa SMAN 3 Tangsel saat menjumpai guru dan siswa Castlemaine Secondary College, Australia. F-Agus Wahyudi/JAWA POS

jpnn.com - Ketegangan hubungan diplomatik pemerintah Indonesia dan Australia belakangan ini tak berimbas di semua lini. Di salah satu sekolah di Tangerang Selatan, Banten, para murid dan gurunya justru menyimpan kerinduan mendalam bisa dekat lagi dengan sesama insan pendidikan di Negeri Kanguru tersebut.

DIAN WAHYUDI, Jakarta

BACA JUGA: Lailly Prihatiningtyas, Calon Direktur Utama BUMN Termuda

TERHITUNG sejak Juni 2010, SMA Negeri 3 Tangerang Selatan (Tangsel) menjalin hubungan kerja sama dengan sekolah menengah di Australia, Castlemaine Secondary College. Lewat program sister school atau sekolah kembar, hubungan itu kemudian tidak lagi sebatas jalinan kesepakatan di atas selembar kertas MoU (memorandum of understanding). Sister school kedua sekolah telah menjadi sebuah pengikat hubungan persaudaraan baru. Sebuah jalinan koneksi yang jauh dari urusan politik diplomatik, apalagi perkara sadap-menyadap seperti yang terjadi belakangan.

"Kami disatukan oleh misi yang sama, yakni mencerdaskan generasi bangsa," ungkap Wakil Kepala Bidang Pendidikan SMAN 3 Tangsel Yuniati saat ditemui di ruang kerjanya Senin (25/11) lalu.

BACA JUGA: Kejar Pelaku Tabrak Lari saat Angkut 10 Penumpang

Karena kesamaan misi itulah, perbedaan yang ada bukan merupakan masalah yang berarti. Justru dari perbedaan yang ada, menurut guru bidang pelajaran matematika itu, kedua pihak bisa memetik pelajaran.

"Termasuk belajar saling menghargai. Kami menghargai budaya Australia. Begitu pula mereka juga menghargai budaya kita," imbuh perempuan berjilbab itu.

BACA JUGA: Dirikan Sekolah Alternatif di Pedalaman Pesisir Papua

Secara garis besar sister school merupakan link yang dijalin satu sekolah dengan sekolah lain di luar negeri. Bukan hanya berkaitan dengan pertukaran pelajar, kedua sekolah juga bisa sharing kurikulum, metode pengajaran, maupun informasi lain. Mekanismenya bisa saling berkunjung maupun berkomunikasi jarak jauh dengan memanfaatkan peralatan teknologi informasi seperti telekonferensi.

"Terus terang, setelah ada sister school kami seperti punya saudara dekat di Australia. Ini yang sulit dijelaskan, tapi bisa kami rasakan," kata Yuni, panggilan Yuniati.

Memang, program ini tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah kerikil kerap dihadapi dua sekolah beda negara itu. Kendala itu, antara lain, menyangkut kebijakan di negara masing-masing.

Misalnya, masih berlakunya kebijakan travel warning yang dikeluarkan pemerintah Australia terkait isu terorisme beberapa tahun lalu. Karena dianggap sebagai salah satu negara tujuan yang berbahaya, pemerintah Australia memberikan batasan-batasan ketat kepada masyarakatnya saat ingin datang ke Indonesia.

Aturan tersebut sempat membuat perjalanan sister school tersendat. Sebanyak 23 siswa Castlemaine yang hendak mengunjungi saudaranya di SMAN 3 Tangsel dalam rangkaian pertukaran pelajar terpaksa batal. Meski telah berusaha meyakinkan pemerintahnya, mereka tetap tidak mendapatkan visa. Padahal, di pihak lain, SMAN 3 Tangsel sudah mengirimkan enam siswa ke Australia untuk tujuan yang sama.

Meski menghadapi kenyataan seperti itu, semangat pihak Castlemaine tak lantas surut. Sang kepala sekolah, Mary McPherson, terus melakukan nego ke pemerintahnya agar travel warning dicabut. Setidaknya, ada perlakuan khusus untuk program sister school yang melibatkan sekolahnya.

Upaya itu dilakukan Mary dengan mengajukan visa kembali. Kali ini hanya untuk dirinya dan koordinator program sister school sekolahnya, Simone Bussets. Alasan keberangkatan mereka ke Indonesia untuk melakukan kunjungan balasan sekaligus penandatanganan MoU jilid 2 dengan SMAN 3 Tangsel. MoU jilid 1 telah ditandatangani di Victoria, Australia.

Awalnya, pengajuan visa itu nyaris ditolak lagi. "Namun, Bu Mary ngotot. Kepada pemerintahnya dia beralasan bahwa kunjungan kali ini untuk memastikan dan melihat langsung kondisi (keamanan) di Indonesia," ungkap Yuni.

Berkat kegigihan Mary, pemerintah Australia akhirnya melunak. Visa pun keluar pada awal 2012. Hanya, visa itu dikeluarkan bukan atas nama pemerintah, melainkan pribadi. Artinya, pemerintah Australia tidak bertanggung jawab jika dalam kunjungan itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Dengan penuh keyakinan Bu Mary tetap berangkat ke sini. Dia mengambil risiko tidak dijamin negaranya hanya demi membalas kunjungan kami," beber Yuni.

Berdasar kunjungan Mary beberapa hari di Indonesia yang berlangsung lancar dan aman itu, harapan mengirim siswa Australia ke Indonesia kembali muncul.

"Saat Bu Mary mau pulang, kami melepasnya dengan rasa haru. Kami berpelukan, saling menangis. Hal yang sama terjadi saat kami berkunjung ke Australia," cerita Yuni yang ikut dalam kunjungan ke negara yang kini dipimpin PM Tony Abbott itu.

Namun, pengiriman siswa Australia belum terwujud, persoalan kembali menghadang. Kali ini giliran datang dari pihak Indonesia. Pada awal 2013, lewat putusan Mahkamah Konstitusi, sekolah RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) dan SBI (sekolah bertaraf internasional) dibubarkan.

SMAN 3 Tangsel yang termasuk sekolah RSBI, mau tidak mau, harus pula mengikuti putusan tersebut. Program sister school dengan Castlemaine terkena imbasnya. Sejak saat itu, meski tidak sampai membatalkan MoU kedua sekolah, program sekolah kembar itu terpaksa divakumkan sementara. "Ini karena sister school juga berbau SBI. Kami agak takut menjalankannya. Khawatir dianggap melanggar," katanya.

Komunikasi dengan pihak Castlemaine pun tidak seintens sebelumnya. Tidak ada lagi telekonferensi, tidak ada pula pengiriman pelajar. "Paling yang bisa kami lakukan hanya SMS-an atau saling kirim e-mail dengan guru-guru di sana," imbuhnya.

Menurut Yuni, Mary memahami kondisi terkini program sister school yang harus vakum sementara tersebut. "Bu Mary sempat bilang, sudahlah, biarkan saja dulu. Kami (Castlemaine) tetap merasa SMAN 3 Tangsel adalah saudara terbaik, tetap istimewa," ujarnya.

Harapan agar program tersebut kembali intensif terlihat saat Jawa Pos menemui sejumlah siswa SMAN 3 Tangsel. Mereka berharap program itu dibuka kembali sehingga mereka bisa terbang ke Australia untuk menemui siswa di sana.

"Wah, saya senang sekali kalau memang program itu dibuka lagi," kata Bella Patricia, siswi kelas XII IPA 6.

Antusiasme terhadap salah satu bagian kegiatan program sister school itu juga ditunjukkan teman-teman Bella. Niken Ridianti, siswi kelas XII IPA 5, juga mengungkapkan keinginan besar untuk bisa mengikuti pertukaran pelajar itu. Dia mengaku terkesan dengan pribadi Marry Mc Pherson. "Orangnya exicited banget pokoknya. Saya ingin ketemu lagi dengan beliau," tandas Niken. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tangani Kasus Soeharto hingga Angelina Sondakh dan dr Ayu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler