Sultan DPD RI Merespons Soal Presidential Threhold, Menohok

Jumat, 17 Desember 2021 – 13:46 WIB
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold masih menjadi perdebatan elite dan diskursus publik yang menarik.

Hal ini terbukti dengan banyaknya pihak yang mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal 222 UU Pemilu 17 Tahun 2017.

BACA JUGA: Habib Aboe: PKS Pengin tidak Ada Presidential Threshold di Pilpres 

Pelaku yang mengajukan melakukan JR bukan hanya berasal dari civil society dan akademisi atau ahli hukum, tetapi juga dari kader partai politik.

Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin menjadi salah satu Senator yang paling lantang menyuarakan pentingnya merevisi UU Pemilu yang cenderung eksklusif dan tidak demokratis itu.

BACA JUGA: Nurul Arifin Bilang Meniadakan Presidential Threshold Malah Berbahaya

“Hegemoni politik yang tidak relevan dengan semangat demokrasi ini harus kita akhiri. Bahwa benar konstitusi mensyaratkan partai politik sebagai kendaraan politik pengajuan capres, tetapi parpol tidak bisa mengeklaim menjadi pihak yang paling baik dan paling berjasa dalam membangun demokrasi,” tegas Sultan yang juga mantan wakil Gubernur Bengkulu itu pada Jumat (17/12).

Menurut Sultan, presidential threshold (PT) 20 persen merupakan wujud diskriminasi politik terhadap partai politik tertentu.

BACA JUGA: Sultan Najamudin Minta Pemerintah Tingkatkan Tes Covid-19

Ketentuan itu juga menolak realitas demografi Indonesia yang sangat besar ini. Tidak adil jika publik yang berjumlah 270 juta jiwa ini hanya disuguhi dengan dua pilihan capres yang  merupakan hasil skenario politik elite dan media.

“Partai politik seharusnya menjadi pihak yang paling dirugikan dengan ketentuan ini. Sebab setiap partai tentu memiliki visi dan platform politik yang berbeda. Namun karena partai cenderung pragmatis dan tidak ideologis, maka hal ini menjadi lumrah,” kata Sultan.

Sultan menilai parpol lebih memilih berkoalisi dengan pemerintah. Akibatnya landscape demokrasi kita menjadi kering.

Buktinya, kata dia, indeks demokrasi Indonesia sejak 2020 menempati titik terendahnya sejak reformasi. Bahkan indeks demokrasi kita kalah dari Timor leste.

"Artinya, parpol yang seharusnya melahirkan politikus-politikus yang ideal bagi demokrasi justru mencari aman di ruang kekuasaan. Bahkan ketua umum partai bersedia menjadi pembantu presiden. Akibatnya demokrasi kita terkesan hanya melahirkan politikus, bukan negarawan,” kata Sultan.

Pengalaman dua kali pilpres terakhir harus dijadikan pelajaran berharga bagi kita. Dengan ambang batas yang demikian tinggi, menyebabkan partai politik hanya terafiliasi dalam dua poros koalisi besar.

Di sanalah oligarki dengan kekuatan modalnya bermain lalu memengaruhi hasil pemilu dan kebijakan politik pemerintahan selanjutnya.

“Pemilu sekadar menjadi formalitas demokrasi. Tidak memberikan solusi kepemimpinan nasional yang ideal dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tapi pemimpin yang sesuai kehendak oligarki,” ujarnya.

Sebagai penutup, Sultan menyampaikan bangsa yang majemuk ini harus bisa merayakan demokrasi secara lebih variatif dan sukarela dalam menentukan pilihan politiknya.

Masih banyak putra-putri terbaik bangsa yang harus disediakan ruang dan kesempatan politik oleh demokrasi. Setiap Parpol menawarkan pilihan yang ideal bagi masyarakat, biarkan publik yang menyeleksi.

Demikian seharusnya cara kita mencari pemimpin. Makin banyak pilihan akan makin baik dan kompetitif proses seleksinya. Itulah demokrasi.

“Ketentuan ambang batas 20 persen justru menjadi penyebab segregasi sosial politik bangsa selama ini. Lalu, untuk apa kita mempertahankannya,” ujar Sultan.(fri/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler