jpnn.com - SUNGGUH gerakan tari Perang Nias mampu menciptakan rasa mencekam. Ritme teriakannya, hentakan kakinya, hingga ayunan lembingnya benar-benar mampu menghadirkan suasana perang.
Nah.. bayangkan saja saat tarian ini ditampilkan di tengah kampung adat asli Nias, di dekat Hombo Batu asli, dengan para penari lengkap dengan seragam prajurit zaman itu. Tarian perang di Orahili Fau itu sungguh mencekam.
BACA JUGA: Ternyata Banyak Mercy dan BMW Berseliweran di Ibu Kota Korea Utara
Dame Ambarita, Nias
Berbeda dengan atraksi tari Perang Nias yang selama ini dipertontonkan di berbagai kesempatan, para penari Perang di Desa Orahili Fau tidak mengenakan seragam dari bahan kain biasa. Melainkan asli dari kulit kayu berwarna coklat. Bahkan ada yang mengenakan baju asli dari bahan ijuk: hitam, kaku, kasar. Wih...
BACA JUGA: Mendarat di Pyongyang, Jangan Coba Sembunyikan Barang Elektronik
Topi perangnya juga asli... dijalin dari sabut kelapa. Alas kaki asli dari sabut kelapa. Perlengkapan perangnya pun parang asli beserta perisai asli. Hanya lembingnya saja yang tidak asli, takut menciderai penonton saat dilempar ke pihak lawan dan ditangkis.
Satu hal yang tidak asli adalah para penari mengenakan celana pendek hitam. Dulunya, celana itu tidak ada. Prajurit kala itu hanya mengenakan cawat yang terbuat dari kulit kayu.
BACA JUGA: Cinta Beda Agama tak Direstui, Dokter Cantik Kabur dari Rumah
Tari Perang di desa ini disebut Fanufwo, menceritakan kisah perang antardesa, yakni Desa Orahili Fau dan Desa Bawomataluo, yang sebenarnya masih kakak adik.
Awalnya, Desa Orahili Fau adalah desa induk. Karena serangan pasukan Belanda pada tahun 1863 yang membumihanguskan desa itu, nenek moyang mereka menyelamatkan diri ke Desa Majine. Setelah beberapa tahun di tinggal di desa kecil tandus itu, dari empat puak kakak beradik, tiga puak kembali ke desa asli. Satu puak tetap tinggal di Desa Majine.
Tetapi karena masih was-was dengan serangan Belanda, ketiga puak marga Fau itu memilih membangun desa baru di atas desa induk, yakni Desa Bawomataluo. Setelah beberapa generasi, dua puak yang lebih muda memilih kembali ke Orahili Fau, sedangkan puak yang lebih tua tetap tinggal di Bawomataluo.
Karena rumah adat besar sudah dibakar Belanda, kakak beradik ini sepakat membangun rumah adat besar di masing-masing desa. Disepakati, pembangunan secara gotong-royong dilakukan pertama di Desa Bawomataluo.
Setelah rumah adat ini selesai, giliran membangun rumah adat besar di Desa Orahili Fau. Namun saat pembangunan dimulai, puak si abang dari Desa Bawomataluo memilih pergi berburu sehingga tidak ikut gotong royong.
Inilah asal mula perang. Si adik yang terus menunggu kedatangan si kakak membantu membangun rumah adat, menjadi kesal. Terjadilah perang antardesa.
”Dalam perang itu, kepala suku Orahili Fau tewas,” kata Matius Manao, koreografer sanggar dan pencipta atraksi-atraksi se Nias Selatan, yang menyusun ulang Tari Perang untuk ditampilkan bagi rombongan trip.
Adegan tari perang semakin mencekam saat lembing-lembing dilemparkan... dan ditangkis! Saat ditangkis, lembing terlempar ke tengah lingkaran penari. Penonton pun dihalau keluar batas yang ditetapkan. Demi keselamatan penonton sendiri. Fiuh... seru!
Para prajurit mengenakan perlengkapan tutup kepala yang disebut Laeru. Khusus untuk penghulu adat, penutup kepalanya disebut Laeru Niforai, terbuat dari kuningan (dulunya dari emas asli).
Kemudian ada perlengkapan kalabubu, yaitu kalung yang terbuat dari tempurung atau tanduk binatang, yang bagian belakangnya terbuat dari kuningan ataubesi. Fungsinya sebagai penahan pedang kalau leher ditebas lawan. Beratnya dahulu mencapai 2 kg.
Sekarang standar hanya ½ sampai 1 kg. Besi untuk kalung diperoleh dari Desa Lahusa Fau, yakni desa tertua penghasil tambang besi dan kuningan di Nias. Sampai sekarang kabarnya masih beroperasi.
Perlengkapan berikutnya disebut ereba, mirip rompi. Dulu bahannya bisa dari kaleng, baja, kulit kayu, dan ijuk. ”Masing-masing prajurit menyediakan perlengkapannya sendiri,” kata Kepala Suku Orahili Fau, Miliar Fau.
Untuk melukai atau membunuh lawan, ada tolege alias parang dan toho alias tombak/lembing. Plus baluse atau perisai untuk melindungi diri.
Dan tidak lupa, Balobalo Gahe alias alas kaki, terbuat dari sabut kelapa atau kulit waru. ”Seluruh perlengkapan itu selalu tersedia di rumah setiap prajurit, sebagai bentuk mawas diri karena desa tetangga bisa saja datang menyerang sewaktu-waktu.
Untuk memilih prajurit, syaratnya hanya satu: bisa lompat batu. Soal batasan umur, ditentukan pimpinan perang,” kata sang kepala suku.
Fanufwo atau tarian perang yang ditampilkan itu, tambah Matius Manau, adalah bagian dari atraksi Famadaya Hashi (upacara pemakaman penghulu adat yang gugur dalam perang), semacam opera ala Desa Orahili Fau.
”Jalan ceritanya bisa berbeda antardesa,” cetusnya. Yang pasti, kata dia, Tari Perang yang dikenal sebagai khas Nias, aslinya berasal dari Desa Orahili Fau.
Famadaya Hashi dilakonkan 50-80 orang pria dan wanita. Peran penari wanita tidak terlalu banyak, hanya sebagai pelengkap jalan cerita. Sementara untuk tarian, para pria sangat dominan. Dalam atraksi ini, peran para wanita baik gadis maupun ibu-ibu, hanya menyambut tamu, menonton prianya perang, dan menangis saat kepala suku tewas dalam perang.
Pakaian para wanita didominasi kuning dan merah. Terbuat dari kain asli. Merah artinya berani. Kuning bermakna keturunan bangsawan. Warna hitam biasa dipakai prajurit.
Adapun status atau kasta di Nias umumnya dan di Orahili Fau khususnya, bisa dilihat dari topi yang dikenakan seseorang.
Sabuk kelapa misalnya, dikenakan prajurit perang. Hiasan emas di kepala dikenakan penatua adat. Emas itu konon dibeli dari pedagang Aceh, yang ditukar dari anak-anak gadis keturunan kasta yang lebih rendah. Kasta bangsawan pada zaman itu mengenakan baju dan cawat dari kain yang ditenun dari kapas.
Bagi wisatawan yang ingin lebih jauh menikmati suasana asli Desa Orahili Fau, bisa menginap di rumah penduduk, dan menikmati masakan nikmat yang disajikan.
Oh satu lagi... rumah adat di desa ini sedikit banyak mirip rumah adat Batak Toba. Ada ’kursi panjang’ di bawah lawa-lawa yang menempel ke dinding bagian depan rumah. Jika ingin menonton kegiatan desa, para wanita, anak-anak, maupun orangtua bisa melihat dari celah-celah tiang, sembari duduk di atas ’kursi panjang’ ini.
Pada malam hari, bisa tidur di atas sejenis area datar di bawah ’kursi panjang’. Area ini lebarnya sama dengan lebar lantai rumah, hanya saja dibangun lebih tinggi setara tinggi ranjang modern. Area ini sekaligus berfungsi tempat makan, ruang keluarga, dan sebagainya.
Untuk toilet dan kamar mandi, umumnya setiap rumah memiliki versi modern.
Tertarik menikmati suasana itu? Yuk ke Orahili Fau! (*/Habis)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketahuilah, Lompat Batu Ada Ritualnya
Redaktur : Tim Redaksi