Super Semar

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 11 Maret 2022 – 16:46 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Presiden Kedua Republik Indonesia Jenderal Besar TNI (purn) H.M Soeharto (1921-2008) mempunyai selera yang tidak biasa dalam mengidentifikasikan diri dengan tokoh wayang.

Biasanya, para pejabat mengidentifikasikan dirinya dengan para kesatria yang tampan, gagah perkasa, dan sakti mandraguna.

BACA JUGA: ANRI Mengaku Masih Mencari Naskah Asli Supersemar

Namun, Pak Harto lebih suka mengindentifikasikan dirinya dengan tokoh punakawan dari kalangan rakyat jelata.

Tokoh wayang idola Pak Harto ialah Semar yang dikenal sebagai punakawan yang mengabdi kepada raja-raja Pandawa yang berjumlah lima orang, Puntadewa, Bisasena, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.

BACA JUGA: Desak Jokowi Cekatan Tarik Uang Negara di Yayasan Supersemar

Punakawan adalah rakyat jelata yang mengabdikan hidupnya kepada para kesatria dan menjadi pelayan setia kemana pun para kestaria itu bertugas. Semar menjadi punakawan para kestaria Pandawa bersama tiga anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Empat sekawan punakawan Pandawa itu sangat setia kepada majikannya. Mereka semua digambarkan sebagai sosok dengan penampilan fisik yang ‘’nganeh-nganehi’’, yang tidak lazim dibanding manusia pada umumnya.

BACA JUGA: Aset Yayasan Supersemar Belum Dieksekusi Juga

Semar bertubuh ekstra tambun dengan perut sangat buncit. Gareng si anak sulung badannya kurus kecil dan kakinya pincang. Petruk si anak nomor dua badannya kelewat tinggi dengan hidung panjang yang melebihi porsi normal. Bagong di bungsu bertubuh pendek gemuk dengan mata ekstra melotot yang menghabiskan porsi muka.

Kendati bentuk fisik tidak sempurna, tetapi tabiat para punakawan itu sangat setia dan jujur. Mereka menemani bendara mereka dalam suka dan duka. Dalam setiap episode apapun para punakawan itu selalu hadir mendampingi bendaranya.

Budaya politik Indonesia kontemporer sangat dipengaruhi oleh filosofi pewayangan. Para politikus dan pejabat mengambil cerita dan karakter dalam pewayangan sebabagi filosofi politik. Banyak di antara para elite politik dan birokrasi yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh wayang tertentu.

Umumnya yang diambil sebagai idola adalah para kesatria seperti Puntadewa yang dianggap sebagai simbol kesatria yang jujur dan bijaksana.

Bimasena, adik Puntadewa, banyak sekali diidolakan oleh para pejabat karena penampilan fisiknya yang tinggi besar dan gagah perkasa. Arjuna sangat banyak diidolakan karena wajahnya yang sangat tampan dan kemahirannya dalam peperangan.

Figur kesatria lain yang paling banyak diidolakan adalah Gatutkaca, putra Bimasena, yang punya kesaktian tinggi dan bisa terbang seperti superman. Gatotkaca sangat kuat dan kebal senjata, dan fisiknya sangat tangguh sehingga disebut ‘’otot kawat balung wesi’’, berotot kawat dan bertulang besi.

Banyak elite politik yang memajang wayang idolanya di dinding ruang tamu atau di ruang kerja mereka. Makin sakti tokoh wayang yang diidolakan, makin banggalah sang pejabat dengan identifikasinya.

Pak Harto berbeda dengan para pejabat lain. Seleranya bisa disebut sebagai anti-mainstream. Pak Harto tidak mengidolakan para kesatria, tetapi memilih Semar sebagai idola. Tentu tampilan Pak Harto yang gagah dan tinggi besar lebih tepat diidentifikasikan dengan para kesatria. Namun, Pak Harto malah memilih punakawan sebagai idola.

Semar bukan sembarang punakawan. Dia mempunyai personalitas yang unik, karena campuran manusia dan dewa. Semar adalah makhluk setengah manusia dan setengah dewa. Tampilan fisiknya buruk, tetapi kesaktiannya luar biasa.

Semar dikenal juga dengan nama Ki Lurah Badranaya dan Ismoyo. Dia bisa sewaktu-waktu melabrak kahyangan jonggring salaka tempat para dewa bersemayam. Semar merupakan saudara tua dari Batara Guru yang dikenal sebagai ketua para dewa. Kalau semar sedang marah Batara Guru pun akan dibuat ketakutan.

Semar versi Pak Harto bukan Semar yang merusak kayangan. Sebaliknya Semar lebih memilih membangun kayangan. Salah satu episode wayang yang terkenal dan menjadi favorit Pak Harto adalah ‘’Semar Mbangun Kayangan’’.

Pak Harto mengambil banyak falsafah dari Ki Semar dan mengadopsinya menjadi filsafat politik. Salah satu yang sering dikutipnya adalah ‘’nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha’’, menyerbu tanpa membawa tentara, menang tanpa menghinakan, sakti tanpa senjata, dan kaya tanpa harta.

Sebagai realisasi ‘’Semar Mbangun Kayangan’’ Pak Harto menjadikan dirinya sebagai bapak pembangunan Indonesia dengan membangun banyak infrastruktur. Pak Harto juga membangun irigasi dan sarana pertanian sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan.

Pak Harto menerapkan falsafah ‘’mbangun kayangan’’ dan mengadopsinya menjadi filsafat ‘’developmentalism’’ atau pembangunanisme.

Titik balik karier politik Pak Harto terjadi pada 11 Maret 1966 ketika menerima surat perintah 11 Maret dari Presiden Bung Karno. Ketika itu Indonesia tengah dicekam krisis politik setelah pecahnya peristiwa 30 September yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh jenderal tewas akibat penculikan yang didalangi PKI.

Indonesia berada dalam situasi kaos, kacau. Bung Karno yang terlibat dalam konflik politik dengan jenderal-jenderal Angkatan Darat berpaling kepada PKI untuk mencari keseimbangan politik. Ide Bung Karno untuk menggabungkan tiga kekuatan, nasionalis, komunis, dan agama, dalam Nasakom memunculkan penolakan dari berbagai kalangan.

Puncak ketegangan terjadi ketika Pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung Samsoeri menculik tujuh jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Rangkaian penculikan itu diduga didalangi oleh PKI yang ingin melenyapkan para jenderal di bawah Jenderal Ahmad Yani yang sangat antikomunis.

Di tengah situasi yang guncang itu posisi Bung Karno menjadi terdesak. Posisi Bung Karno mirip the lame duck, bebek lumpuh, yang tidak mempunyai banyak opsi politik kecuali memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk melaksanakan operasi pemulihan.

Begitu mendapat surat sakti Supersemar Soeharto langsung bergerak cepat, membubarkan PKI dan mengumumkannya sebagai partai terlarang. Soeharto juga menangkapi tokoh-tokoh PKI dan sejumlah menteri yang diduga menjadi pendukung PKI.

Supersemar disebut sebagai kudeta terselubung Pak Harto terhadap Bung Karno karena pelaksanaan operasi pemulihan dianggap melenceng terlalu jauh dari amar surat perintah.

Namun, kesaksian Probosutejo, adik Pak Harto, dalam memoarnya menyatakan bahwa amar Supersemar adalah memulihkan keamanan nasional, dan hal itu tidak bisa dicapai tanpa melakukan tindakan tegas terhadap PKI.

Soeharto menemukan momentum yang tepat untuk mengambil alih kekuasaan. Dia bukan jenderal yang paling senior, karena masih ada Jenderal A.H Nasution. Namun, posisi strategis Soeharto sebagai panglima Kostrad membuatnya menjadi frontrunner, ujung tombak dalam operasi pemulihan keamanan.

Tepat setahun setelah menerima Supersemar Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden pada 12 Maret 1967. Berbekal selembar surat perintah, Soeharto bergerak cepat mengonsolidasikan Angkatan Darat dan menggerakkan milisi rakyat untuk memburu anggota dan simpatisan PKI.

Selebihnya adalah sejarah. Soeharto mengonsolidasikan kekuasaannya dengan rekayasa politik yang canggih. Bung Karno benar-benar menjadi the lame duck yang tidak berdaya. Ia menjadi tahanan rumah sampai meninggal pada 1970.

Supersemar menjadi surat sakti bagi Soeharto. Supersemar kemudian dimanfaatkannya untuk mencari legitimasi budaya dengan mengidentifikasikan dirinya kepada Semar. Secara fisik Soeharto tidak ada kemiripan dengan Semar.

Namun, untuk mendapat legitimasi politik Soeharto perlu tokoh idola yang memudahkannya untuk melakukan komunikasi politik kepada rakyat.

Maka pilihannya jatuh kepada Semar. Secara fisik bentuknya ‘’nganeh-nganehi’’, tetapi Semar punya kewenangan level dewa tertinggi. Soeharto bukan semar sembarang semar, dia semar super dan Super Semar. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler