Surabaya Kota Pertama Operasikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Senin, 25 Februari 2019 – 12:11 WIB
Petugas sedang membersihkan sampah di Kota Surabaya. FOTO : Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Surabaya bakal menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) pada tahun ini.

Kapasitas pembangkit listrik berbasis biomassa tersebut mencapai sepuluh megawatt (mw).

BACA JUGA: Cara Pemerintah Tingkatkan Investasi di Surabaya

Kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sendiri bakal meningkat pesat seiring beroperasinya 12 PLTSa pada 2019–2022 mendatang.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, investasi yang dikucurkan untuk pembangunan pembangkit itu mencapai USD 49,86 juta.

BACA JUGA: Harga BBM Berpeluang Tidak Naik Hingga Akhir 2019

’’Dari volume sampah 1.500 ton per hari,’’ kata Arcandra akhir pekan kemarin.

Sebanyak 12 PLTSa tersebut memang beroperasi di 12 wilayah di Indonesia dengan waktu operasional yang berbeda-beda.

BACA JUGA: Harga Bawang Putih Naik, Lumayan Tinggi

Total listrik yang dihasilkan mencapai 234 mw dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari.

’’Itu cukup besar untuk kemudian menjadi listrik yang akan dibeli PLN,’’ kata Arcandra.

PLTSa kedua yang siap beroperasi berada di Bekasi. Namun, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PLN sehingga ada kemungkinan beroperasi 2021.

Setelah itu, pada 2021 dan 2022, ada pembangkit sampah lain yang beroperasi tersebar di Indonesia.

’’Perbedaan biaya (investasi) itu bergantung teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah,’’ kata Arcandra.

Pemerintah memang terus mendorong pembangunan PLTSa di daerah melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Pembangunan PLTSa.

Dalam aturan tersebut, pemerintah daerah bisa menugaskan BUMD, BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa.

Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang.

Sebelum ada perpres, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tarif. Tarif ditetapkan USD 17 sen–USD 18 sen per kWh.

’’Padahal, harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah USD 17 sen,’’ ungkap Arcandra..

Perpres tersebut bisa menetapkan nilai keekonomian sekitar USD 13 sen per kWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

Sisa kekurangan tapping fee nanti dibayar pemerintah pusat. Tujuannya, tarif listrik dari EBT pun bisa murah.

Pengembangan PLTSa juga didukung perubahan dalam RUPTL PLN 2019–2028, yakni pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL, asal kapasitasnya di bawah sepuluh mw.

Sementara itu, kondisi kelistrikan di Jawa, Bali, dan Sumatera pada 2027–2028 diperkirakan kelebihan pasokan 13 gigawatt (gw).

Kelebihan disebabkan masifnya pembangunan pembangkit yang tidak diiringi naiknya permintaan listrik secara signifikan.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan, pertumbuhan permintaan listrik ke depan tidak setinggi perkiraan PLN.

Apalagi, selama ini pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia selalu di bawah target yang dicanangkan PLN.

’’Lima sampai enam tahun ke depan masyarakat lebih efisien dalam menggunakan listrik. Teknologi semakin banyak yang hemat listrik, rumah tangga, pabrik, komersial akan gunakan energi lebih efisien,’’ ujar Fabby, Minggu (24/2). (vir/c22/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penerbangan Langsung ke Surabaya Masih Kurang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler