Surat Suara Pileg 2019 Lebih Besar Dari Koran

Rabu, 21 November 2018 – 00:24 WIB
Warga menggunakan hak suaranya. Ilustrasi Foto: Ricardo/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - KPU telah menetapkan model dan ukuran surat suara yang akan dipakai dalam pemilu 2019 mendatang. Seperti yang sudah diduga, ukuran kertas suara begitu besar. Khususnya untuk pemilu legislatif.

Kini, KPU tinggal menunggu satu kali lagi konsultasi dnegan pemerintah dan DPR untuk mengesahkan model surat suara tersebut.

BACA JUGA: Yusril: OSO Lakukan Perlawanan Secara Sah dan Konstitusional

Surat suara untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD berukuran paling besar. Modelnya vertikal, dengan ukuran 51x82 cm. Itu setara dengan satu setengah kali ukuran halaman koran Jawa Pos. Sementara, yang paling kecil tentu saja surat suara untuk pilpres. Ukurannya 22x31 cm atau sedikit lebih besar ketimbang kertas A4.

Ukuran yang jumbo itu tidak lepas dari banyaknya partai yang berpartisipasi dalam pemilu 2019. Yakni 16 partai nasional dan 4 partai lokal khusus untuk Provinsi Aceh. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menjelaskan, ukuran lebar kolom untuk nama caleg kali ini lebih besar, sekitar 1 cm. Itu untuk memastikan pemilih tidak keliru dalam mencoblos.

BACA JUGA: Misbakhun Berbagi Jurus ke Caleg Golkar di Pasuruan

Bila lebar kolom nama terlalu kecil, dikhawatirkan hasil coblosan berada di antara dua nama. Bila itu terjadi, maka suaranya akan dianggap masuk sebagai suara partai.

’’Calonnya dirugikan, karena sebenarnya pemilihnya ingin mencoblos dia,’’ terangnya di KPU, Senin (19/11). Bila menjadi suara partai, tentu tidak ada garansi bahwa suara itu akan diberikan kepada si caleg.

BACA JUGA: DPC PDIP Menargetkan Jokowi - Maruf Menang Besar

Meskipun surat suara menjadi besar, Pramono menjamin lebarnya tetap muat saat dibentangkan di bilik suara. Sebab, bilik suara sendiri lebarnya 60 cm. ’’Kalau surat suara terlalu lebar, tidak adil untuk partai di sisi kanan dan kiri,’’ lanjut mantan Ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.

Saat ini, proses lelang surat suara masih berlangsung. Rencananya, produksi dan distribusi akan dimulai awal Januari hingga Maret mendatang. Untuk lelang, pihaknya menggunakan acuan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPT HP) pertama. Sementara, saat produksi nanti, acuannya adalah DPT HP II.

Menurut Pramono, hal itu tidak menjadi persoalan. Sebab lelang dilakukan menggunakan harga satuan per lembar. Untuk surat suara pilpres misalnya, harga perkiraan satuannya adalah Rp 309 per lembar. ’’Jadi lelangnya bukan gelondongan (borongan), sehingga berapapun yang diproduksi tidak masalah,’’ tutur pria kelahiran Semarang itu.

Sementara itu, mantan Ketua KPU Ramlan Surbakti mengingatkan KPU untuk berhati-hati dalam menangani surat suara. Terutama dalam hal pascaproduksi. ’’Di Pemilu 2019 ini, surat suara yang diproduksi jumlahnya (hampir) 1 miliar lembar,’’ terangnya.

Sebagai gambaran, bila jumlah pemilih dalam DPT sekitar 190 juta, maka jumlah surat suara yang diproduksi akan mencapai sekitar 970 juta lembar termasuk cadangan.

Maka, tantangan utamanya ada pada proses distribusi. ’’Anda lihat, tahun 2009 ada berapa surat suara yang tertukar? Puluhan. Pemilu 2014 lebih banyak lagi,’’ terang Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya itu.

Untuk 2019, dia berharap tidak ada lagi kejadian surat suara tertukar. Khususnya untuk surat suara pemilu legislatif anggota DPR dan DPRD.

Ramlan menjelaskan, ada mahasiswa S2 Tata Kelola Pemilu di Unair meneliti distribusi surat suara di Jatim. Di Surabaya dan Nganjuk didapati banyak surat suara tertukar. Namun, ada dua kabupaten lain dalam penelitian yang surat suaranya tidak ada yang tertukar.

’’Ternyata yang tidak tertukar itu, seleksi (sortir) dan packaging (pengepakan) surat suara ditangani sendiri melibatkan PPK dan PPS,’’ lanjutnya.

Sementara, di Surabaya dan nganjuk, untuk sortir, pelipatan, dan pengepakan menggunakan tenaga outsourcing di luar struktur KPU. Ketika terjadi kekurangan surat suara dalam pengepakan, pekerja outsourcing tersebut asal mengambil surat suara untuk mengenapi. ’’Padahal itu surat suara untuk daerah pemilihan lain,’’ tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Pramono mengakui adanya problem tersebut di masa lalu. ’’Di 2014 itu ada kasus surat suara tertukar di 744 TPS,’’ ujarnya. Karena itu, saat rakornas akhir pekan lalu, pihaknya sudah mewanti-wanti pemegang divisi logistik KPU seluruh Indonesia.

Mereka tidak boleh lagi menggunakan tenaga outsourcing untuk sortir, pelipatan, dan pengepakan surat suara. Khususnya untuk surat suara DPR, DPRD Provinis, dan DPRD Kabupaten/Kota. ’’Sebaiknya (memberdayakan) staf PNS dan honorer di KPU sendiri maupun PPK dan PPS,’’ lanjutnya.

Sementara, untuk surat suara pilpres dan pemilihan anggota DPD, bila tenaga internal KPU benar-benar tidak mencukupi, baru boleh menggunakan jasa outsourcing. Sebab, kedua jenis surat suara itu lebih minim risikonya. ’’Kecil kemungkinannya untuk tertukar karena surat suaranya itu-itu saja,’’ ucap Pramono. Dengan cara itu, diharapkan tidak ada lagi kasus surat suara tertukar.

Pramono menambahkan, pihaknya juga sudah merancang metode pelipatan surat suara untuk mencegah kasus coblos tembus. ’’Jadi emmang ada teknik khusus untuk melipatnya,’’ tambah alumnus University of Hawaii at Manoa, Amerika Serikat, itu. Sehingga, mau tidak mau pemilih harus membuka seluruhnya untuk bisa mencoblos. (byu)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Persiapan Pemilu 2019 Hampir Rampung


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler