MAHKAMAH Konstitusi kini tekun menyidangkan berbagai sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari daerahBerkas, bukti dan keterangan saksi akan dipelototi
BACA JUGA: Biarkan Tumbuh, Lalu Berguguran?
Lalu, tok-tok-tokBACA JUGA: Hibah Kekuasaan itu Mustahil
Tak hendak menggurui limau berduri
BACA JUGA: Sekapur Sirih untuk Double A
Saya merasa sengketa Pilkada Kota Sibolga itu punya hubungan kausal dengan amuk massa tersebutAmuk massa itu sesungguhnya telah menyempal dari sejarah kota di pantai barat Sumatera Utara ituKota itu dulu terbentuk dengan proses akulturasi sehingga didiami berbilang etnik, agama dan turunan yang datang dari tanah Batak, Minang dan Aceh dan belakangan etnik Tionghoa, Nias, Melayu dan lainnya sejak dulu dikenal rukun dan damai
Salah satu contohnya adalah pesta pernikahan yang beragama Kristen tak sungkan didatangi pemeluk MuslimDi sebelah rumah pesta selalu disediakan spesial untuk tamu MuslimParsubang namanyaTak ada makanan yang “haram” bagi Muslim di rumah “parsubang” itu
Gejolak satu-satunya di Sibolga, barangkali hanya pada 1965, ketika apa yang disebut dengan Gerakan 30 September/PKI meletusIni pun lebih merupakan tempias gerakan nasional yang merembes ke daerah, termasuk ke Sibolga
Saya ingat, saya sudah kelas 1 SMA kala itu, orang-orang PKI diuber, ditangkap dan dibunuhBahkan, kerusuhan Mei 1998 lalu malah tak menjalar ke kota itu. Saya ingat pula seuntai syair tentang berdirinya kota ituSibolga jolong basusuk, banda digali urang rante, jangan manyasa munak barisuk, kami sapeto dagang sansai
Syahdan, kota itu dulunya dibangun dengan menimbun tanah berawa-rawa dengan mengerahkan para narapidana yang kaki mereka dirantai sehingga dijuluki “orang rante.”
Dua bait berikutnya mendeskripsikan jatidiri masyarakat sebagai nelayan dan pedagang antar antarpulau yang hidupnya penuh suka dan dukaToh, mereka melaluinya dengan sabar dan tanpa berkelahi dengan sesama.
Demikian juga dalam menghadapi Pilkada Kota SibolgaMasing-masing dengan calon pilihannyaNamun karena ada lima kandidat yang bertarung, maka kompetisi makin tajamMenilik berita di koran-koran lokal (baca: Medan) banyak juga yang kebablasan menggunakan cara-cara yang tidak fair
Contoh luar biasa adalah penetapan DPT (daftar pemilih tetap) tiba-tiba menggelembung naik 10.000 orang dibanding pemilih pada Pemilu 2009 laluKok, pemilih baru bertambah 10.000 orang hanya dalam tempo beberapa bulan saja? Namun meski diprotes masyarakat, KPUD dan Panwaslu setempat tak pernah menggubris
Memang, dalam proses pemutakhiran data pemilih dan perekrutan anggota Panitia Pemungutan suara, ada tiga Camat dari empat kecamatan di Sibolga yang dimutasi secara mendadak tanpa adanya kesalahan yang jelasApakah memang ada hubungannya? Entahlah.
Kampanye dan sosialisasi salah satu calon bahkan melibatkan PNS, Lurah, Camat dan bahkan Walikota Sibolga pun tak pernah disemprit oleh KPUD dan PanwasluFakta-faktanya terekam dengan foto dan videoBukan black campaign
Bagi-bagi beras murah dan uang kepada masyarakat tapi dilabeli identitas calon dan nomor urutnya berlangsung terang-terangan di depan publicDilapori ke KPUD dan Panwaslulkada, tapi tetap diam saja
Bukan kebetulan jika salah seorang calon walikota Sibolga, yakni Marudut Situmorang yang berpasangan dengan kandidat walikota Sibolga, Syarfi Hutauruk adalah menantu Walikota Sibolga, Sahat Panggabean, sang incumbent yang tak ikut Pilkada
Tapi justru kesan sang incumbent adalah duet Syarfi-Marudut, walau keduanya dicalonkan oleh sejumlah partaiPadahal, Afifi Lubis justru sebelum mencalonkan diri adalah Wakil Walikota Sibolga.
***
Sederet fakta-fakta inilah, yang antara lain diajukan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi yang hari-hari ini berlangsung di JakartaPasangan Afifi Lubis-Halomoan Hutagalung menggugat hasil Pilkada yang dinilai curang tersebut
Konon sudah puluhan orang warga yang ditangkap gara-gara amuk massa ituSaya tanya Ketua DPD Partai Golkar Kota Sibolga, Syahlul Umur Situmeang, karena Golkar (bersama Partai Demokrat) lah yang mencalonkan Afifi, mantan Wakil Walikota Sibolga itu“Saya dan pak Afifi tidak ada memerintahkan, tapi murni gerakan massa,” katanya
Ketika amuk massa itu sempat mengambil sebuah kotak suara dari kantor Camat, ternyata di dalamnya ada surat suara kosong yang belum dipakaiMalah ada yang dicoreng dengan tanda silang tapi justru dicoblosBelum lagi ratusan orang pemilih yang datang dari luar kota yang tak berhak memilih
Dari fakta yang ditemukan di lapangan, terdapat 8538 Surat Pemberitahuan Panggilan untuk memberikan suara di TPS (Formulir Model C-6) yang tak diserahkan kepada pemilih, sehingga kehilangan hak suaranya
Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, War of Position, disebut “perang parit” yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan, dalam hal ini KPUD dan Panwaslukada yang tidak adil
Naga-naganya “tersandung” juga oleh apa yang disebut dengan suatu anasir Negara yang represif alias Repressive State Apparatus (RSA)
Soalnya, ketika Jumat petang (14/5) sejumlah aparat Birimob yang didatangkan dari Padangsidempuan, kota tetangga Sibolga, aparatus kontan menghalau dan memukuli massaMasyarakat melawan dengan lemparan batuAparat membalas dengan tembakan gas air mata
Seorang warga kota Sibolga meneleponi saya ternyata ada dua orang yang kepalanya koyak diterjang peluru karet dirawat di RSU di Sibolga
Banyak pula warga Sibolga yang melarikan diri dari kota itu karena takut ditangkap walau tidak terlibat kerusuhan itu“Saya kira ada dua ratusan orang tak berani pulang ke Sibolga,” kata Laksamana Muda (Purn) Bahder Ombun Hutagalung, seorang putra daerah, kepada saya
Maklum, ada penangkapan tanpa surat perintahDi dalam tahanan sewaktu diperiksa polisi terjadi pula pemukulan yang dibuktikan dengan video yang beredar di masyarakat“Saya punya videonya,” kata Julheri Sinaga, pengacara mereka yang merusak kantor camat tersebut
Masyarakat yang merusak kantor Camat itu adalah akibat dari sebuah sebab, yakni ketidak adilan berbagai masalah sebelum dan pada saat Pilkada 12 Mei 2010 dilakukan di Sibolga
Kasus itu mestilah dilihat dari hubungan kausal ituJika kasus pengrusakan diproses secara hukum, maka penyebabnya juga harus ditindak, baik secara hukum dan politikItulah asas equality before the law
Yang paling mencolok adalah kasus dugaan ijazah palsu seorang kandidat, Syarfi Hutauruk, yang kebetulan “menang” dalam Pilkada kota itu tak pernah diperiksa polisiPadahal, pengaduan masyarakat sudah jauh hari sebelum Pilkada baik ke KPUD, Panwaslu, KPU Pusat dan kepolisian
Ada kesan sebuah konspirasi telah terjadiBahwa sejak awal Syarfi secara sistemik ditargetkan sebagai pemenang
Surat ini datang dari lapanganMencoba masuk ke arena siding Mahkamah Konstitusi walaupun kewenangan tetap berada di tangan majelis hakim yang terhormat
**
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan One Man Show
Redaktur : Tim Redaksi