Surat untuk Mahkamah Konstitusi

Jumat, 11 Juni 2010 – 00:12 WIB

MAHKAMAH Konstitusi kini tekun menyidangkan berbagai sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari daerahBerkas, bukti dan keterangan saksi akan dipelototi

BACA JUGA: Biarkan Tumbuh, Lalu Berguguran?

Lalu, tok-tok-tok
Perkara diputus hanya dengan mendengar seluruh keterangan yang terdengar di ruangan yang terbatas itu

BACA JUGA: Hibah Kekuasaan itu Mustahil



Tak hendak menggurui limau berduri
Saya ingin berkisah tentang amuk ribuan orang yang merusak tiga dari empat kantor camat dan beberapa kantor kelurahan di Sibolga (Sumatera Utara), dua hari setelah Pilkada 12 Mei lalu

BACA JUGA: Sekapur Sirih untuk Double A

Saya merasa sengketa Pilkada Kota Sibolga itu punya hubungan kausal dengan amuk massa tersebut

Amuk massa itu sesungguhnya telah menyempal dari sejarah kota di pantai barat Sumatera Utara ituKota itu dulu terbentuk dengan proses akulturasi sehingga didiami berbilang etnik, agama dan turunan yang datang dari tanah Batak, Minang dan Aceh dan belakangan etnik Tionghoa, Nias, Melayu dan lainnya sejak dulu dikenal rukun dan damai

Salah satu contohnya adalah pesta pernikahan yang beragama Kristen tak sungkan didatangi pemeluk MuslimDi sebelah rumah pesta selalu disediakan spesial untuk tamu MuslimParsubang namanyaTak ada makanan yang “haram” bagi Muslim di rumah “parsubang” itu
 
Gejolak satu-satunya di Sibolga, barangkali hanya pada 1965, ketika apa yang disebut dengan Gerakan 30 September/PKI meletusIni pun lebih merupakan tempias gerakan nasional yang merembes ke daerah, termasuk ke Sibolga

Saya ingat, saya sudah kelas 1 SMA kala itu, orang-orang PKI diuber, ditangkap dan dibunuhBahkan, kerusuhan Mei 1998 lalu malah tak menjalar ke kota itu.  Saya ingat pula seuntai syair tentang berdirinya kota ituSibolga jolong basusuk, banda digali urang rante, jangan manyasa munak barisuk, kami  sapeto dagang sansai

Syahdan, kota itu dulunya dibangun dengan menimbun tanah berawa-rawa dengan mengerahkan para narapidana yang kaki mereka dirantai sehingga  dijuluki “orang rante.”

Dua bait berikutnya mendeskripsikan jatidiri masyarakat sebagai nelayan dan pedagang antar antarpulau yang hidupnya penuh suka dan dukaToh, mereka  melaluinya dengan sabar dan tanpa berkelahi  dengan sesama. 
 
Demikian juga dalam menghadapi Pilkada Kota SibolgaMasing-masing dengan calon pilihannyaNamun karena ada lima kandidat yang bertarung, maka kompetisi makin tajamMenilik berita di koran-koran lokal (baca: Medan) banyak juga yang kebablasan menggunakan cara-cara yang tidak fair
 
Contoh luar biasa adalah penetapan DPT (daftar pemilih tetap) tiba-tiba menggelembung naik 10.000 orang dibanding pemilih pada Pemilu 2009 laluKok, pemilih baru bertambah 10.000 orang hanya dalam tempo beberapa bulan saja? Namun meski diprotes masyarakat, KPUD dan Panwaslu setempat tak pernah menggubris

Memang, dalam proses pemutakhiran data pemilih dan perekrutan anggota Panitia Pemungutan suara, ada tiga Camat dari empat kecamatan di Sibolga yang dimutasi secara mendadak tanpa adanya kesalahan yang jelasApakah memang ada hubungannya? Entahlah.    
 
Kampanye dan sosialisasi salah satu calon bahkan melibatkan PNS, Lurah, Camat dan bahkan Walikota Sibolga pun tak pernah disemprit oleh KPUD dan PanwasluFakta-faktanya terekam dengan foto dan videoBukan black campaign
 
Bagi-bagi beras murah dan uang kepada masyarakat tapi dilabeli identitas calon dan nomor urutnya berlangsung terang-terangan di depan publicDilapori ke KPUD dan Panwaslulkada, tapi tetap diam saja

Bukan kebetulan jika salah seorang calon walikota Sibolga, yakni Marudut Situmorang yang berpasangan dengan kandidat walikota Sibolga, Syarfi Hutauruk adalah menantu Walikota Sibolga, Sahat Panggabean, sang incumbent yang tak ikut Pilkada
 
Tapi justru kesan sang incumbent adalah duet Syarfi-Marudut, walau keduanya dicalonkan oleh sejumlah partaiPadahal, Afifi Lubis justru sebelum mencalonkan diri adalah Wakil Walikota Sibolga.   

***
 
Sederet fakta-fakta inilah, yang antara lain diajukan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi yang hari-hari ini berlangsung di JakartaPasangan Afifi Lubis-Halomoan Hutagalung menggugat hasil Pilkada yang dinilai curang tersebut
 
Konon sudah puluhan orang warga yang ditangkap gara-gara amuk massa ituSaya tanya Ketua DPD Partai Golkar Kota Sibolga, Syahlul Umur Situmeang, karena Golkar (bersama Partai Demokrat) lah yang mencalonkan Afifi, mantan Wakil Walikota Sibolga itu“Saya dan pak Afifi tidak ada memerintahkan, tapi murni gerakan massa,” katanya

Ketika amuk massa itu sempat mengambil sebuah kotak suara dari kantor Camat, ternyata di dalamnya ada surat suara kosong yang belum dipakaiMalah ada yang dicoreng dengan tanda silang tapi justru dicoblosBelum lagi ratusan orang pemilih yang datang dari luar kota yang tak berhak memilih

Dari fakta yang ditemukan di lapangan, terdapat 8538 Surat Pemberitahuan Panggilan untuk memberikan suara di TPS (Formulir Model C-6) yang tak diserahkan kepada pemilih, sehingga kehilangan hak suaranya
 
Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, War of Position, disebut “perang parit” yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan, dalam hal ini KPUD dan Panwaslukada yang tidak adil
 
Naga-naganya “tersandung” juga oleh apa yang disebut dengan suatu anasir Negara yang represif alias Repressive State Apparatus (RSA)

Soalnya, ketika Jumat petang (14/5) sejumlah aparat Birimob yang didatangkan dari Padangsidempuan, kota tetangga Sibolga, aparatus kontan menghalau dan memukuli massaMasyarakat melawan dengan lemparan batuAparat membalas dengan tembakan gas air mata
 
Seorang warga kota Sibolga meneleponi saya ternyata ada dua orang yang kepalanya koyak diterjang peluru karet dirawat di RSU di Sibolga
 
Banyak pula warga Sibolga yang melarikan diri dari kota itu karena takut ditangkap walau tidak terlibat kerusuhan itu“Saya kira ada dua ratusan orang tak berani pulang ke Sibolga,” kata Laksamana Muda (Purn) Bahder Ombun Hutagalung, seorang putra daerah, kepada saya

Maklum, ada penangkapan tanpa surat perintahDi dalam tahanan sewaktu diperiksa polisi terjadi pula pemukulan yang dibuktikan dengan video yang beredar di masyarakat“Saya punya videonya,” kata Julheri Sinaga, pengacara mereka yang merusak kantor camat tersebut
 
Masyarakat yang merusak kantor Camat itu adalah akibat dari sebuah sebab, yakni ketidak adilan berbagai masalah sebelum dan pada saat Pilkada 12 Mei 2010 dilakukan di Sibolga

Kasus itu mestilah dilihat dari hubungan kausal ituJika kasus pengrusakan diproses secara hukum, maka penyebabnya juga harus ditindak, baik secara hukum dan politikItulah asas equality before the law

Yang paling mencolok adalah kasus dugaan ijazah palsu seorang kandidat, Syarfi Hutauruk, yang kebetulan “menang” dalam Pilkada kota itu tak pernah diperiksa polisiPadahal, pengaduan masyarakat sudah jauh hari sebelum Pilkada baik ke KPUD, Panwaslu, KPU Pusat dan kepolisian

Ada kesan sebuah konspirasi telah terjadiBahwa sejak awal Syarfi secara sistemik ditargetkan sebagai pemenang

Surat ini datang dari lapanganMencoba masuk ke arena siding Mahkamah Konstitusi walaupun kewenangan tetap berada di tangan majelis hakim yang terhormat

**
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan One Man Show


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler