jpnn.com - Dahulu ada penyanyi dan pengarang lagu bernama Kuntet Mangkulangit yang kini sudah almarhum.
Tentu itu bukan nama asli, hanya nama panggung atau ‘’nom de guerre’’ alias nama perjuangan.
BACA JUGA: Seusai Menghadap Presiden, Menaker Bakal Merevisi Aturan JHT, Alhamdulillah
Nama itu disesuaikan dengan bentuk fisik pemiliknya yang kuntet (cebol), tetapi punya ambisi besar ‘’mangkulangit’’, memangku langit.
Tentu itu nama yang jenaka untuk mengundang tawa. Tidak ada orang yang bisa memangku langit, apalagi kalau badannya cebol. Mungkin lebih mirip pepatah ‘’pungguk merindukan bulan’’.
BACA JUGA: Minta Permenaker JHT Direvisi, Jokowi Panggil Ida Fauziyah
Burung pungguk, sejenis burung hantu (strigiformes), yang keluar di malam hari untuk mencari makan, dan sering terlihat menangkring di dahan pohon sambil memandang ke arah bulan.
Ada juga istiah Jawa sundul langit, atau menyundul langit. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan orang yang takabur, sombong, dan berjalan dengan mendongak pongah seperti menyundul langit.
BACA JUGA: Ikut Jokowi
Sundul langit juga dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang mencapai puncak paling atas, sehingga tidak ada lagi yang bisa menyamainya. Kalau angka maksimal adalah 100 persen, maka sundul langit berarti di atas 100 persen.
Apa ada angka di atas 100 persen? Secara matematis tidak ada. Namun, secara metaforik atau simbolik ada. Orang yang cinta buta akan mengatakan cintanya seribu persen.
Orang yang cinta buta tidak memedulikan apa pun, semua akan diterjang. Mati dan hidup untuk orang yang dicintainya.
Orang Jawa punya ungkapan ‘’pejah gesang nderek panjenengan’’, hidup mati ikut Anda. Itu salah satu bukti ungkapan cinta mati dan cinta buta. Itulah bukti bahwa cinta dan kesetiaannya sundul langit, menembus langit.
Beberapa hari belakangan ini di media sosial viral orang-orang yang berdeklarasi ‘’2024 Ikut Jokowi’’. Ada tukang bakso yang ikut berdeklarasi ‘’2024 Ikut Jokowi’’.
Mungkin sebentar lagi bakal ramai orang-orang yang mendeklarasikan ‘’pejah gesang nderek Jokowi’’, hidup mati ikut Jokowi, seperti dahulu ada yang melakukannya terhadap Gus Dur.
Kelihatannya rakyat memang sangat cinta kepada Jokowi. Rakyat puas dengan apa yang dilakukan oleh Jokowi. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh survei yang dirilis pada Senin (21/2).
Litbang sebuah media merilis hasil survei tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan mengumumkan bahwa 73,9 persen responden menyatakan puas.
Survei tersebut digelar pada 17-30 Januari 2022 melalui wawancara tatap muka. Survei melibatkan 1.200 orang responden yang dipilih secara acak dengan pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di Indonesia.
Tingkat kepercayaan survei ini 95% dengan margin of error plus minus 2,8 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Lembaga survei itu menyatakan kesalahan di luar pemilahan sampel dimungkinkan terjadi.
Berdasarkan hasil survei itu tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah meningkat dibanding Oktober 2021. Pada Oktober 2021, tingkat kepuasan publik berada pada angka 66,4 persen. Sementara itu, pada Januari 2022, tingkat kepuasan publik berada di angka 73,9 persen.
Jumlah responden yang tidak puas juga turun dari 33,6 persen pada Oktober 2021 menjadi 26,1 persen pada Januari 2022.
Partai pendukung tentu saja gembira ria dengan hasil survei ini. Kepuasan rakyat ini menjadi modal penting bagi pemerintah Jokowi-Ma'ruf untuk pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Hasil survei ini menjadi legitimasi bagi Jokowi yang tahun ini akan memimpin presidensi G-20.
Bagi PDI Perjuangan, tingginya tingkat kepuasan yang tinggi di segala bidang menjadi modal sosial penting yang memperkokoh legitimasi kepemimpinan Presiden Jokowi untuk dapat menjalankan program strategisnya dengan kecepatan tinggi. Begitu rilis resmi PDIP.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak ketinggalan ikut menjadi cheerleader, pemandu sorak. Kalau Jokowi ikut pilpres sekarang akan terpilih lagi. Begitu kata PKB.
Mungkin partai ini termasuk pendukung Jokowi tiga periode, atau paling tidak ikut kampanye 2024 Ikut Jokowi, karena ketua umum PKB Muhaimin Iskandar sudah bergerilya ke kantong-kantong NU (Nahdlatul Ulama) minta dukungan untuk ‘’nyapres’’ pada 2024.
Siapa tahu, dengan ikut menjadi cheerleader Jokowi akan senang dan merestui Muhaimin Iskandar menyapres.
Partai opisisi tentu saja ada di seberang partai-partai pemandu sorak. Gila! Seru Andi Arif dari Partai Demokrat.
Hasil survei ini dianggapnya ‘’gila’’, tetapi itulah data yang diperoleh dari metodologi ilmu sosial.
Namun, politik tidak sekadar bermodal data dan survei. Ada insting dan pengalaman. Turunlah ke bawah, tanyakan langsung kepada rakyat. Berdialoglah dari mulut ke hati kepada rakyat, pasti akan ketahuan bahwa rakyat tidak sedang baik-baik saja.
Andi Arif masih terlalu sopan untuk tidak menuduh survei itu pesanan sponsor yang dibuat dan dirilis sesuai order. Seperti tukang jahit yang lagi sepi order, pesanan itu digarap cepat-cepat sesuai dengan pesanan.
Sebagai politisi senior Andi Arif pasti mafhum, ada banyak jenis survei politik. Ada survei independen--biasanya hasilnya tidak dipublikasikan—dan ada survei ala tukang jahit yang digarap berdasarkan pesanan, dan ukurannya dibikin pas untuk pemesan supaya kelihatan gagah.
‘’Political Tailoring’’, tukang jahit politik, begitulah istilah kerennya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini paling kencang mengkritik Jokowi, mengatakan bahwa rakyat Indonesia memang pemaaf kepada pemimpinnya. Survei ini bisa tinggi karena rakyat Indonesia pemaaf.
Mungkin PKS juga ikut curiga bahwa survei ini adalah survei jahitan. Salah satu indikasinya survei diambil sebelum muncul krisis jaminan hari tua (JHT) yang membuat para buruh meradang. Kalau survei dilakukan setelah muncul kasus JHT, bisa jadi hasilnya akan lain.
Namun, hampir bersamaan dengan pengumuman hasil survei, Presiden Jokowi sudah memanggil menteri tenaga kerja dan memerintahkan supaya aturan JHT direvisi. Ini merupakan eufimisme dari kata dibatalkan.
Buruh menuntut aturan JHT dicabut, tetapi menteri tenaga kerja keukeuh dengan pendapatnya. Alasannya tuntutan pencabutan itu tidak sepenuhnya aspirasi buruh.
Katanya, banyak organisasi buruh yang mendukung program JHT. Beberapa organisasi buruh yang mendukung pun sudah bertemu dengan menteri tenaga kerja. Karena itu aturan ini tidak akan dicabut serta-merta.
Kebijakan JHT bisa menjadi blunder politik kalau dibiarkan menggelinding. Pola-pola ‘’divide and rule’’, pecah belah dan kuasai--yang banyak dipakai belakangan ini--menjadi semacam SOP.
Dalam kasus JHT buruh dipecah lalu dikuasai. Dibuat opini bahwa tuntutan pencabutan bukan aspirasi seluruh buruh. Namun, karena ada perintah presiden--yang perlu mencari legitimasi buruh--maka Bu Menteri harus mencabut dengan alasan revisi.
Dalam kasus Wadas juga begitu. Pola divide and rule diterapkan. Warga desa dipecah menjadi dua, antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Yang setuju dirangkul dan yang tidak setuju disingkur sebagai ‘’liyan’’ atau ‘’other’’. Us and them. Kita dan mereka.
Coba kalau survei dilakukan hari ini, ketika rakyat berdesak-desakan dan sikut-sikutan antre minyak goreng murah. Coba para perajin tempe yang sekarang sedang mengambek disurvei. Coba rakyat dimintai pendapat soal jual beli tanah pakai BPJS. Coba rakyat ditanya soal surat edaran menteri agama yang membuat aturan pembatasan suara azan di masjid.
Survei jahitan bisa digarap sesuai order. Bisa saja popularitas dan akseptabilitas Jokowi dibuat sundul langit. Namun, apa Jokowi percaya dengan hasil survei itu? Kalau yakin rakyat puas 80 persen seharusnya program JHT jalan terus.
Namun, kelihatannya Jokowi tidak yakin-yakin amat terhadap survei itu. Buktinya, Menaker harus melipir untuk melakukan revisi. (*)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror