jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan menilai perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia atau Revisi UU BI rawan menjadi polemik baru.
Pasalnya, proses revisi yang sedang dibahas oleh Badan Legislasi DPR tersebut berlangsung di tengah pandemi covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya. Selain menyita energi, perubahan ini juga dinilai kontraproduktif.
BACA JUGA: Revisi UU BI Pangkas Pasal Penting, Begini Tanggapan Baleg DPR
“Seharusnya pemerintah lebih fokus pada penanganan Covid-19 melalui serangkaian kebijakan yang tepat arah dan terukur. Permasalahan utama saat ini adalah pada kredibilitas sisi birokrasi, kenapa justru mengutak-atik sektor moneter,“ kata pimpinan MPR dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Dia melihat persoalan saat ini bukan saja pada kredibilitas penyaluran anggaran namun juga akuntabilitas penggunaannya. Berdasarkan rilis Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional pada Rabu (2/9), realisasi program penanganan dampak pandemi masih sangat lemah. Realisasi program Perlindungan Sosial sebesar 49,31 persen dan UMKM yang menembus 42,14 persen memang kabar menggembirakan. Namun untuk sektor K/L dan Pemda, serapannya cuma sekitar 14,06 persen.
BACA JUGA: Revisi UU BI Bakal Memereteli Kewenangan OJK
Selain itu, penyerapan dan realisasi anggaran sektor perlindungan sosial dan UMKM belum mampu mendorong atau bahkan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi yang kini terkontraksi di angka -5,32 persen pada kuartal II tahun 2020. Kondisi ini menurut Syarief akan berlanjut pada kuartal III/2020. Maka, dia menilai perubahan UU BI tak relevan dengan kondisi yang ada.
“Apa relevansi antara reformulasi sektor keuangan dengan pemulihan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan umum? Apakah dengan revisi UU BI akan mampu meningkatan kinerja sektor moneter dalam mendukung kebijakan penanganan pandemi?” ucap anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini mempertanyakan.
BACA JUGA: Pimpinan MPR: Menag Seharusnya Bersuara Lantang untuk Pesta Gay Perusak Moral Bangsa
Dia menyebutkan revisi UU BI hanya akan memutar kembali tuas pengelolaan sektor moneter berjalan mundur seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Jika pembentukan Dewan Moneter terjadi, maka independensi BI yang juga menjadi benchmark bank sentral di seluruh dunia akan teramputasi secara permanen.
Jika mengacu pada Pasal 21 s/d Pasal 23 UU No. 11/1953, dan Pasal 9 s/d Pasal 10 UU 13/1968, disebutkan bahwa BI dipimpin oleh Dewan Moneter yang bertugas membantu pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan moneter, dan keanggotannya terdiri atas tiga orang anggota yang mempunyai hak suara yakni Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank.
Karena itu, dia memandang revisi Pasal 9A UU BI yang mengatur pembentukan Dewan Moneter tidak hanya menghapus independensi BI tetapi juga membuka ruang intervensi politik pada pengelolaan sektor moneter. Padahal, bentuk intervensi inilah yang membuat hiperinflasi pada tahun 1960-an dan krisis sistemik pada tahun 1997/1998.
"Karena itu kita perlu sangat berhati-hati menyikapi reformulasi sektor keuangan ini. Jangan sampai krisis yang pernah terjadi kembali berulang. Terlebih dengan ancaman destabilitas perekonomian global yang rawan menyeret pemerintah salah langkah,” tegas politikus kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan ini.
Dia menegaskan bahwa Independensi BI merupakan amanat Pasal 23D UUD 1945 yang secara eksplisit disebutkan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Klausul independensi ini tentu harus dimaknai dengan penolakan terhadap segala bentuk campur tangan apa pun dalam pelaksanaan tugas BI dalam mengelola sektor moneter.
“Padahal dalam kerangka pemeliharaan, pemantauan, dan penanganan krisis sistem keuangan, kita telah membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sehingga langkah amputasi independensi BI ini menjadi langkah mundur yang tidak perlu dan rawan,” pungkasnya.(jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam