Tahun Depan, BI Diprediksi Naikkan Suku Bunga Acuan

Kamis, 08 Desember 2016 – 10:43 WIB
BI. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Bank Indonesia kemungkinan besar tidak melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan pada Desember ini.

Bahkan, pada tahun depan, BI mungkin menaikkan suku bunga BI 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI-7RR).

BACA JUGA: Mandiri Kucurkan Rp 7,84 Triliun untuk Sektor Maritim

Itu berarti era bunga murah diprediksi tidak bisa bertahan lama.

’’BI hampir tidak punya ruang pelonggaran (suku bunga, Red). Tahun depan ada kecenderungan BI rate dinaikkan,’’ kata ekonom Chatib Basri di Jakarta kemarin (7/12).

BACA JUGA: DPR Desak Ditjen Minerba ESDM Tegas Terhadap Freeport

BI diprediksi menimbang rencana bank sentral Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga The Federal Reserve Rate dalam pertemuan pekan depan.

Kenaikan suku bunga diprediksi berdampak pada tingkat inflasi dan pelebaran defisit anggaran.

BACA JUGA: Saham Produsen Sari Roti Menukik, Efek Ajakan Boikot?

’’Selain itu, tahun depan pemerintah membayar jatuh tempo obligasi sekitar Rp 500 triliun,’’ imbuh mantan menteri keuangan tersebut.

Dengan defisit anggaran yang diprediksi 2,41 persen atau Rp 280 triliun hingga Rp 300 triliun di APBN 2017, Chatib menilai kebutuhan dana pemerintah pada tahun depan mencapai Rp 800 triliun.

Selain itu, dengan defisit anggaran yang lebar, ruang bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan menipis.

Akibatnya, pertumbuhan kredit pada tahun depan tidak mampu melebihi single-digit.

Chatib menilai, pemerintah bisa mendorong pertumbuhan kredit melalui ekspansi belanja pemerintah, terutama infrastruktur.

Namun, belanja pemerintah sangat bergantung pada pencapaian target penerimaan pajak.

’’Apakah dapat terealisasi atau tidak, dengan kondisi saat ini, kami susah memprediksi target pajak,’’ tambahnya.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengakui prediksi tersebut.

Menurut Mirza, BI sudah berupaya melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga acuan hingga enam kali pada tahun ini.

Namun, pergerakan ekonomi tidak kunjung meningkat.

’’Saat ini persoalannya bukan suku bunga, melainkan demand yang perlu didorong. Kini demand pelan-pelan naik,’’ katanya.

Pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial, lanjut Mirza, memiliki keterbatasan.

Satu-satunya pemicu yang mampu meningkatkan demand adalah perbaikan kondisi ekonomi global.

’’Kalau pelonggaran moneter naik enam kali (periode taper tantrum, Red), sekarang turun enam kali. Giro wajib minimum dan makroprudensial sudah dua kali. Pemerintah juga mendorong regulasi. Saya rasa, dengan meningkatnya kondisi global nanti, demand-nya muncul lagi,’’ paparnya.

CEO Citi Indonesia Batara Sianturi menyatakan, perbankan kini mengikuti penurunan suku bunga kredit, khususnya ritel ke single-digit.

’’Pada 2017, saya rasa pertumbuhan kredit maupun dana pihak ketiga (DPK) single-digit juga,’’ katanya.

Ruang pertumbuhan kredit memang masih luas.

Namun, pertumbuhan tersebut baru terjadi pada semester kedua tahun depan. Segmen korporat dan ritel sama-sama tumbuh pada tahun depan.

Terutama karena daya beli masyarakat di wilayah luar Jawa meningkat seiring perbaikan harga komoditas ekspor dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

’’Kendati suku bunga dirasa tinggi, permintaan kredit akan tetap positif,’’ tuturnya. (dee/rin/c22/noe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Desak Izin Ekspor Freeport Tak Diperpanjang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler