Tak Cuma Penanya yang Tajam...

Jumat, 25 Desember 2015 – 07:07 WIB
Surat kabar Jong Java, edisi 15 September 1926. Foto: Dok.Kominfo.

jpnn.com - TULISAN-tulisan Soejatin di majalah Jong Java garang menyerang sendi-sendi feodalisme. Dia memakai nama pena Gerbera. 

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Gadis Kecil Penggagas Hari Ibu itu Menolak Menyembah Raja Jawa

Gerbera, nama penanya di majalah Jong Java punya arti, "bunga sederhana tetapi kuat," sebagaimana diungkap Soejatin dalam buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi.

Tak sekadar tajam pena. Suatu waktu di tahun 1926, Soejatin menjadi seorang guru di HIS swasta.

BACA JUGA: Skenario Hari Ibu (1)

"Saya tidak mau bekerja dengan Pemerintah Belanda walaupun saya bersekolah di sekolah-sekolah Belanda," akunya.

"Saya ingin bekerja, ingin mengabdi untuk bangsaku, bukan untuk penjajah. Untuk itulah saya mengajar di HIS swasta, bukan di sekolah Belanda dengan fasilitas yang hebat dan aduhai."

BACA JUGA: Satu Episode Sejarah Gerakan Kiri Minangkabau

Sembilan belas tahun umurnya ketika itu. Pernah dia diminta memberikan semacam les privat kepada anak pembesar keraton Yogya.

Perempuan yang lihai bermain piano itu bersedia setelah syarat-syarat yang diajukannya dipenuhi; bisa duduk di kursi dan diantar jemput dengan kereta.

Suatu hari, "isteri Gusti ingin bertemu dengan saya, sebagai guru anaknya," kenang Soejatin.

Kedudukan Manusia

Saat asyik-asyik ngobrol, datang pelayan menghidang minuman. 

Untuk Gusti Putri gelasnya bagus lengkap dengan nampan dan tutupnya. Sedang untuk Soejatin, gelas biasa tanpa tutup, apalagi nampan.

"Ketika dipersilahkan minum saya menolak secara halus, menyatakan bahwa saya sudah minum dan tidak haus," tuturnya dalam tulisan.

Usai itu, dia pamit seperti biasa. Seolah tak terjadi apa-apa. 

Esok harinya, datang seorang abdi dalem ke rumah Soejatin. 

Ada yang mengganjal di hati Gusti Putri rupanya, kok minuman itu tak disentuh sama sekali, walau sekadar pelengkap sempurnanya sandiwara.

"Bilang sama Gustimu bahwa aku masih sanggup untuk membeli cangkir yang bagus lengkap dengan tutup dan nampannya…" tandas Soejatin.

Disampaikanlah apa yang dikatakannya kepada Gusti Putri. 

Bukannya marah, dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya dia perlakukan setara.

Sejak kecil saya memang diajarkan oleh kedua orang tua, untuk tidak membedakan kedudukan manusia…

Sejak kecil saya memang sudah membiasakan diri untuk berpikir bebas. Bapak mengajar saya begitu.    

Tahun itu juga dia mendirikan dan memimpin Poetri Indonesia, organisasi para guru perempuan di Yogyakarta. 

Sebagai ketua Poetri Indonesia, Soejatin melobi Nyi Hadjar Dewantara untuk… --bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Misteri Hilangnya Gedung Conefo


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler