jpnn.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan Indonesia sudah 77 tahun merdeka dan selalu berusaha membuat hukum pidana nasional dalam bentuk kitab undang-undang tersendiri.
Dijelaskan Mahfud, masyarakat Indonesia sekarang sudah berubah dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional, dan dari masyarakat terjajah menjadi bangsa merdeka, maka hukum kolonial harus diganti dengan hukum nasional.
BACA JUGA: Pasal RUU KUHP yang Menimbulkan Perdebatan, dan Polemik Terus Digodok
“Sejak 1963 kita telah mendiskusikan perubahn KUHP. Alhamdulillah kita saat ini telah menghasilkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana atau RKUHP yang relatif siap untuk diundangkan. Sudah selama 59 tahun kita membahas dan merancang RKUHP ini dan telah mendapatkan arahan politik hukum dari 7 presiden yang berbeda,” ujar Mahfud MD.
"Itulah sebabnya politik hukum tentang perubahan KUHP itu menjadi salah satu perintah utama yang ditulis di dalam UUD 1945,” sambungnya.
BACA JUGA: Hakim Agung Ditangkap KPK, Jokowi Sebut Ini Sudah Urgen, Lalu Perintahkan Mahfud MD
Kepala Biro Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika Bertiana Sari, mengatakan pada 2019 telah dihasilkan kurang lebih sebanyak 6.000 daftar inventarisasi masalah pada RKUHP dengan memperhatikan masukan lebih dari 22 lembaga swadaya masyarakat.
Namun, pada September 2019, RKUHP tersebut ditarik lagi oleh presiden dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat terhadap beberapa isu.
BACA JUGA: BEM Nusantara: Sudah Saatnya KUHP Produk Kolonial Digantikan Karya Bangsa Sendiri
"Setelah penarikan RKUHP tersebut pada 2019, pemerintah melakukan pembahasan secara intensif dengan melibatkan pemangku kepentingan,” kata Bertiana.
Bertiana juga menyampaikan bahwa ada 14 isu krusial yang menjadi kontroversi dalam RKUHP.
Antara lain mengenai living law yang terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 601 RKUHP, juga terkait dengan pidana mati yang diatur di dalam Pasal 67 dan Pasal 100 RKUHP, dan juga terkait penghinaan terhadap presiden diatur dalam pasal 18 RKUHP.
“Saat ini terdapat dua isu krusial yang sudah dihapuskan dari 14 isu tersebut, sehingga tersisa 12 isu krusial yang masih dalam pembicaraan,” serunya.
Sementara itu, Marcus Priyo Gunarto, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada menjelaskan alasan dimasukkannya tindak pidana terhadap informatika dan elektronika di dalam RKUHP.
Kata Marcus dari sisi kejahatan kalau bertolak dari kriminologi, media informatika dan elektronika bisa menjadi alat tetapi sekaligus juga objek dari tindak pidana.
"Dan kejahatan media informatika dan elektronika itu sifatnya adalah victimizing. Bisa menimbulkan korban, dan korban itu bisa saja berupa kerugian materiil, imateriil dan juga bisa menimbulkan penderitaan psikis," tutur dia.
Ditambahkan Marcus, kejahatan media informatika dan elektronika ini akan terus berkembang.
Sehingga pemberian sanksi pidana terhadap perbuatan kejahatan informatika dan elektronika ini akan terus terjadi.
"Itulah pentingnya kejahatan terhadap informatika dan elektronika itu dimuat di dalam RKUHP, supaya tetap mengacu pada KUHP, dalam kaitannya sebagai konstitusi hukum pidana," terang dia.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kominfo: Humas Pemerintah Harus Cermati Perkembangan Isu di Masyarakat
Redaktur & Reporter : Yessy Artada