Tak Menyangka Lukisannya Masih Dipertahankan Produsen

Minggu, 08 Desember 2013 – 07:47 WIB
Bernard Prasadja, pelukis gambar spesialis produk-produk biskuit. Foto: Jawa Pos/Bayu Putra/JPNN.com

MASYARAKAT mungkin sudah tidak asing dengan produk biskuit Khong Guan, Monde, Nissin, dan beberapa merek lawas lainnya. Tapi, pasti tidak banyak yang tahu bahwa kemasan produk biskuit itu digambar pelukis yang sama. Siapa dia?
 
BAYU PUTRA, Jakarta

 
DINDING rumah bercat putih di kawasan Jakarta Pusat itu tampak ramai dengan sejumlah lukisan fauna maupun lanskap pedesaan berukuran besar. Nyaris tidak ada lagi ruang untuk menampung lukisan-lukisan tersebut. Kalaupun ada, posisinya sudah tidak bagus.
 
Lukisan di rumah berlantai keramik putih itu menunjukkan bahwa pemiliknya pencinta seni rupa. Permainan warna yang digunakan membuat ruang tamu rumah yang cukup luas tersebut terasa sejuk dan membuat betah penghuninya.
 
Ya, pemilik rumah itu tak lain Bernard Prasadja, perupa senior. Dia dikenal sebagai pelukis gambar di sejumlah merek produk biskuit lawas. Gambarnya menjadi istimewa karena bertahan hingga puluhan tahun, sampai sekarang. Para produsen biskuit mempertahankan gambar kemasan produknya karena lukisan itu tetap relevan dengan era sekarang. Gambar karya Bernard sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari merek produk tersebut.
 
Bernard mengungkapkan sebetulnya nyaris lupa bahwa gambarnya masih dipajang di kemasan kaleng produk-produk itu. Sebab, dia sendiri tidak menganggap karyanya di produk-produk tersebut istimewa. Justru anaknya, Dr Andreas Prasadja RPSGT, yang tergelitik untuk ”mengungkit” kembali ”karya besar” sang ayah.
 
Saat berbelanja bersama di sebuah supermarket, Andreas tiba-tiba mengambil kaleng biskuit Khong Guan dan menunjukkannya ke Bernard. Gambar di kaleng tersebut masih sama seperti yang diorderkan ke sang ayah pada 1970-an. Dia lalu memotret dan mengunggahnya ke media sosial.
 
”Saya sendiri sudah lupa kapan persisnya dapat order (melukis di kaleng kemasan biskuit Khong Guan, Red) tersebut. Yang jelas sudah puluhan tahun,” ujar Bernard saat ditemui di rumahnya Rabu lalu (4/12).
 
Menurut Bernard, order tersebut datang karena pada era 70-an masih sangat sedikit orang yang memiliki kemampuan desain grafis. Bernard yang saat itu berstatus mahasiswa Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) kebetulan memiliki kemampuan tersebut.
 
Order menggambar itu tidak langsung datang dari pihak Khong Guan, namun lewat sebuah perusahaan separasi warna. Tapi, Bernard tidak menggambar dari ide. Dia hanya menyempurnakan desain yang dimiliki perusahaan tersebut. ”Saya disodori gambar kasar di kertas yang sudah lusuh. Gambar itu ada ibu dan dua anaknya di meja makan menikmati biskuit,” kenang pria kelahiran 25 Januari 1948 tersebut.
 
Bernard lalu menyempurnakan konsep awal gambar itu menjadi lebih hidup. Setelah selesai, pihak produsen terkesan dengan gambar finalnya. Dari situlah nama Bernard sebagai tukang gambar mulai dikenal. Order pun berdatangan. Selain Khong Guan, dia diminta menggambar untuk produk biskuit wafer Nissin, Monde, dan beberapa merek lainnya. Sebagian mengorder langsung, sebagian lagi lewat tangan kedua. (c9)
 
Ada yang memberikan gambar kasar, ada pula yang hanya menjelaskan konsep yang diinginkan secara lisan. Seperti Monde, yang waktu itu meminta Bernard menggambarkan rombongan tentara Inggris yang sedang berjalan dan menjadi tontonan. Gambar itulah yang sampai kini tertera di bagian samping kaleng.

Menurut Bernard, dirinya juga mendapat order melukis gambar atau tulisan untuk produk-produk yang didistribusikan sebuah supermarket. ”Dulu belum sebesar sekarang. Namanya masih CV Hero,” tutur pria asli Salatiga, Jateng, itu. Belum lagi order membuat tulisan merek produk dari pabrik celana jins di Bandung.

BACA JUGA: Rutin Sambangi Pasien Kanker, Bangkitkan Harapan Bisa Sembuh

Lantaran kebanjiran order, Bernard tidak punya waktu lagi untuk kuliah. Bahkan, akhirnya dia memilih berhenti di tengah jalan (drop out). Dia mengakui, begitu uang gampang didapat, dia jadi lupa ke kampus. Apalagi, untuk mengerjakan sebuah gambar dia membutuhkan waktu beberapa hari.

”Semua saya kerjakan serbamanual. Satu order gambar baru selesai minimal seminggu. Beda dengan sekarang yang bisa rampung dalam beberapa jam,’’ lanjut bapak tiga anak itu.

BACA JUGA: Kuenya Bikin Penasaran Oprah Winfrey hingga Celine Dion

Saat era komputer mulai merambah Indonesia, Bernard tak mau ketinggalan. Dia memodernisasi diri dengan membeli sebuah komputer grafis. Selain untuk mempermudah penggarapan gambar-gambarnya, komputer itu dia fungsikan untuk mengolah foto sebelum dicetak. Saat itu dunia fotografi yang seperti itu masih jarang. Apalagi, hasil cetakan fotonya dapat diberi tulisan sesuai pesanan klien.  ”Boleh dibilang usaha saya sangat laku. Saingannya sedikit sekali,’’ tuturnya.

Di usia senjanya saat ini, Bernard tetap sibuk. Memang, tidak banyak bersentuhan lagi dengan dunia lukis-melukis. Dia banting setir dengan membuka usaha pengobatan alternatif prana atau pranic healing. Pengobatan itu memanfaatkan energi yang disalurkan ke tubuh pasien tanpa harus melakukan kontak fisik. Dia berkeliling Indonesai setiap akhir pekan untuk mengajarkan metode tersebut.

BACA JUGA: Setiap Jumat Terbang ke Solo untuk Nonton Pergelaran Ki Purbo

Bernard merupakan orang Indonesia pertama yang memiliki lisensi pengobatan yang dipopulerkan pakar yoga asal Filipina, Choa Kok Sui. Menurut dia, pranic healing bukanlah metode pengobatan gaib atau semacamnya. Sudah ada riset ilmiah tentang metode pengobatan tersebut.

”Saat ini ada sekitar 20 ribu orang di Indonesia yang menguasai metode pengobatan itu,” tuturnya sembari menggendong sang cucu, Patricius Kiano, yang ikut mendampingi kakeknya.

Kata Bernard, sebenarnya metode tersebut awalnya tidak ditujukan untuk pengobatan, tapi untuk melatih penguasaan emosi. Tidak sedikit orang yang menguasai metode prana dulu adalah orang bertemperamen tinggi. Namun, kini hidup mereka lebih tenang, bahkan makin rajin mendekatkan diri kepada Tuhan.

”Yang tadinya jarang salat menjadi rajin salat berjamaah, yang tadinya malas ke gereja setelah mengikuti metode ini menjadi lebih taat,” lanjutnya.

Waktu senggang biasanya digunakan Bernard untuk tenggelam di atas kanvas. Hal itu, katanya, untuk mengasah keahliannya melukis agar tidak hilang. Hasilnya, lukisan itu kemudian dipajang di dinding-dinding rumahnya.

Bernard mengaku, kini dirinya melukis hanya untuk menyalurkan kesenangan. Karena itu, dia tidak mengikuti pakem aliran mana pun. Dia juga tidak pernah mengikuti pameran meski lukisannya terbilang cukup bagus.

Kendati begitu, ada saja orang yang datang untuk melihat-lihat lukisannya. Bahkan, ada yang membeli lukisannya seharga Rp 40 juta. ”Saya kan tidak punya nama, jadi dihargai segitu (Rp 40 juta), ya senang sekali. Nggak nyangka,’’ ujarnya terkekeh. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gara-gara Trauma Lari di Tumpukan Orang Mati


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler