Tak Ubah Tatib Pimpinan DPRA, Pemerintahan di Aceh Terancam Macet

Rabu, 10 Desember 2014 – 01:07 WIB
Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Djohermansyah Djohan, mengatakan sikap Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengangkat lima pimpinan, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Pasalnya, dalam Undang-Undang MD3, diatur jika jumlah anggota DPRA di bawah 84 orang, maka struktur kepemimpinan hanya dijabat empat orang. Masing-masing seorang ketua, dengan tiga wakil ketua. Sementara DPRA Aceh, menetapkan seorang ketua dengan empat wakil ketua.

BACA JUGA: Presiden Teken Keppres Penunjukan Sekda Banten

“Usulan Tata Tertib itu bertentangan dengan UU MD3, kemudian juga secara eksplisit tidak tercantum di UU Nomor 11 tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh. Jadi karena tidak ada pengaturan lex specialist, maka harus tunduk ke UU MD3. Minggu ini sudah sampai surat itu ke Aceh bahwa itu tidak dibolehkan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/12). 

Menurut birokrat yang akrab disapa Prof Djo ini, DPRA harus mematuhi rekomendasi yang diterbitkan Kemendagri. Karena kebijakan yang hendak diambil DPRA bertentangan dengan aturan yang ada.

BACA JUGA: Mabes Polri Kirim Tim ke Paniai

“Jadi kita ingatkan mereka, bahwa tidak dibolehkan di tatib diatur seperti itu. Kalau sudah ada surat dari Kemendagri, maka mereka (DPRA) diharapkan dapat segera kemudian menyusun tatib yang di dalamnya mematuhi apa yang sudah kami klarifikasi,” ujarnya. 

Setelah tata tertib klarifikasi diterbitkan dan disetujui, langkah selanjutnya kata Prof Djo, DPR Aceh perlu segera mengutus pimpinan yang diangkat ke Jakarta, untuk segera diterbitkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan.

BACA JUGA: 2014, Kejati Riau Selamatkan Uang Negara Rp 33 Miliar

“Saat ini sebenarnya sudah sangat terlambat sekali. Karena daerah-daerah lain sudah membentuk alat kelengkapan, bukan hanya pimpinan. Jadi ini mengganggu APBD-ya di sana. Makanya kita harapkan begitu ketuk palu, segera kami terbitkan SK-nya supaya dapat mengejar ketertinggalan pembentukan AKD,” katanya.

Saat ditanya, bagaimana sekiranya DPR Aceh tidak mematuhi rekomendasi Kemendagri, Prof Djo menegaskan, akan terjadi kemacetan pemerintahan di Aceh. Pasalnya, untuk menentukan APBD 2015, harus dibahas bersama antara pemerintah daerah dengan DPRA. 

Saat kembali ditanya apakah kondisi ini dapat berakibat sanksi DPRA tidak akan menerima gaji hingga enam bulan ke depan, Prof Djo mengatakan perlu ada pengecualian.

“Masalahnya sekarang ini kan mereka belum punya alat kelengkapan, pimpinan juga belum ada. Nah sementara terkait sanksi, itu kalau sudah ada AKD dan pimpinanya. Jadi ini saya kira jadi harus ada pengecualian,” ujar Prof Djo. 

Sebelumnya, Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, mengingatkan penetapan jumlah pimpinan DPRD berkaitan hak keuangan dan protokoler.

Jika penetapan jumlah pimpinan dewan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), maka hak keuangan dan protoker tidak bisa diberikan kepada para pimpinan dewan."Jika melanggar peraturan perundang-undangan, maka secara otomatis hak keuangan dan protokoler mereka tidak bisa diberikan," ujarnya beberapa waktu lalu.

Mantan Kapuspen yang akrab dipanggil Donny itu mengatakan, mengenai proses evaluasi terhadap keputusan DPR Aceh itu, bukan lah kewenangannya. Melainkan, itu menjadi urusan direktorat jenderal otonomi daerah. Hanya saja ditekankan, urusan hak keuangan pimpinan dewan yang jumlahnya melanggar aturan, menjadi kewenangannya untuk mengingatkan. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI di Batam Gerebek Lokasi Judi Dadu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler