Dengan begitu cepatnya kelompok Taliban menguasai Afghanistan termasuk ibu kota Kabul membuat banyak negara Barat mengungsikan warga mereka dari sana.

Namun, Tiongkok tidak melakukan hal yang sama.

BACA JUGA: Sejumlah Pekerja Amazon Flexi Menceritakan Kesulitan Mereka Mengirimkan Paket

Kedutaan mereka di Kabul masih berfungsi normal, dan para pebisnis Tiongkok yang berada di sana didorong untuk melihat peluang yang bisa dilakukan.

Juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, mengatakan kepada jaringan televisi milik pemerintah Tiongkok, CGTN, bahwa Tiongkok bisa 'memainkan peran penting dalam membangun kembali Afghanistan".

BACA JUGA: Uluran Tangan Warga Indonesia di Australia untuk Tanah Air di Tengah Pandemi COVID-19

Tidaklah mengherankan bahwa Taliban berpaling ke Timur untuk menarik investasi karena negeri yang tercabik oleh perang ini kemungkinan akan menghadapi sanksi baru dari negara-negara G7.

Namun, Dr Rodger Shanahan dari lembaga pemikir Australia, Lowy Institute, mengatakan 'menanam investasi terlalu banyak di Afghanistan juga memiliki risiko besar".

BACA JUGA: Militer AS Melakukan Serangan Balasan di Kabul, Rudal Menyasar ISIS-K

"Walau Beijing tidak terlalu mengkhawatirkan kekuasaan Taliban dan Taliban tidak berbicara banyak mengenai masalah Uyghur, yang adalah pertanda mereka akan membuka diri untuk investasi dari Tiongkok, Tiongkok juga harus belajar dari pengalaman Amerika Serikat di sana." Investasi Tiongkok di Afghanistan meningkat

Menurut Badan Otoritas Informasi dan Statistik Nasional Afghanistan, tiga mitra dagang terbesar Afghanistan adalah Iran, Pakistan dan Tiongkok.

Antara tahun 2019 dan 2020, nilai ekspor Afghanistan ke Tiongkok adalah sekitar Rp770 miliar sementara impor dari Tiongkok  bernilai sekitar Rp1,37 triliun.

Meski perdagangan bilateral masih kecil, investasi langsung Tiongkok ke Afghanistan meningkat 11 persen di tahun 2020.

Lembaga yang bernama Pusat Pertukaran Ekonomi Tiongkok, salah satu lembaga berpengaruh di negara tersebut, mengatakan bahwa ini adalah waktu yang paling baik bagi perusahaan Tiongkok untuk masuk ke Afghanistan. 

Dan bidang pertambangan adalah salah satu industri yang menarik perhatian Tiongkok di Afghanistan. Sumber daya pertambangan Afghanistan susah digali 

Di tahun 2010, sebuah laporan Amerika Serikat menyebutkan potensi pertambangan Afghanistan bernilai lebih dari 1 triliun dolar Amerika Serikat, sementara menteri pertambangan Afghanistan mengatakan potensinya tiga kali lebih besar dari perkiraan tersebut.

Tetapi Professor Gu Xuewu, Direktur Pusat Studi Global di University of Bonn di Jerman mengatakan bahwa sumber daya alam Afghanistan bukan motif utama investasi Beijing di sana.

"Lebih mahal biaya untuk menggali sumber daya pertambangan di sana dibandingkan di tempat lain," katanya.

Raffaello Pantucci, peneliti senior di lembaga pemikir Royal United Services Institute di Inggris mengatakan kepada ABC bahwa perusahaan Tiongkok tertarik dengan sumber daya alam Afghanistan, tetapi melakukannya bukan hal yang mudah.

"Taliban mungkin tidak memiliki banyak pengalaman terlibat dalam proyek seperti ini," katanya.

"Akan diperlukan pembangunan infrastruktur besar-besaran di medan yang sangat sulit sebelum penggalian bahan tambang itu bisa dilakukan." Kemungkinan pembangunan infrastruktur

Menurut kedutaan besar Tiongkok di Kabul, selain pertambangan, investasi Tiongkok akan difokuskan pada pembangunan infrastruktur seperti sarana telekomunikasi dan jalan.

"Tawaran Tiongkok ke Taliban tampaknya adalah "infrastruktur bagi perdamaian'," kata Professor Gu.

"Memberikan sistem infrastruktur baru bagi Afghanistan mulai dari jalan raya sampai telekomunikasi, mulai dari rumah sakit sampai sekolah, akan memperkuat pengaruh Tiongkok di sana dan di kawasan."

Namun, menurut Raffaelo Pantucci kebanyakan investasi Tiongkok tidak akan berbentuk investasi langsung.

Dia mengatakan Tiongkok sudah menghadiahkan beberapa gedung universitas, perumahan dan rumah sakit kepada Afghanistan, namun 'kebijakan perbankan Tiongkok tidak memberikan bantuan apa pun baik dalam bentuk pinjaman atau pun pembangunan infrastruktur".

"Semua kebanyakan diberikan oleh perusahaan Tiongkok yang beroperasi yang bekerja untuk organisasi keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan Bank Pembangunan Asia.

"Investasi langsung dari pemerintah Tiongkok mungkin akan mulai dilakukan sekarang, tetapi kecil kemungkinannya terlaksana mengingat situasi yang tidak stabil di Afghanistan, ditambah tekanan kebijakan Tiongkok untuk memastikan proyek investasi itu menguntungkan." Memperluas 'Belt and Road Initiative'

The Belt and Road Initiative (BRI) adalah proyek ambisius yang dilakukan Tiongkok untuk membangun infrastruktur yang menghubungkan Tiongkok dengan berbagai kawasan di Asia dan Pasifik.

Dan ini bisa menjadi alternatif bagi keterlibatan Tiongkok di Afghanistan.

Salah satu proyek utama BRI adalah pembangunan Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) yang saat ini pembangunannya sedang dilakukan di perbatasan Pakistan dan Afghanistan.

Professor Gu mengatakan sudah ada rencana untuk memperluas CPEC ke Afghanistan.

"Tiongkok melihat perluasan CPEC ke arah Barat dan ke Afghanistan sebagai cara terbaik untuk mengintegrasikan negeri itu ke dalam bingkai besar BRI," katanya.

Rafaello Pantucci mengatakan tujuan utama pembangunan infrastruktur CPEC adalah membantu komunitas di perbatasan Afghanistan-Pakistan untuk berkembang.

Namun rencana untuk membangun lebih lanjut, termasuk ke Afghanistan, mendapat banyak penentangan 'terutama dari Pakistan', katanya.

"Pakistan khawatir bahwa ini akan mengalihkan investasi Tiongkok dari Pakistan." 'Uang suka perdamaian, bukan perang'

Data dari Kementerian Perdagangan Tiongkok menunjukkan bahwa kontrak yang baru ditandatangani di tahun 2020 oleh perusahaan Tiongkok di Afghanistan bernilai sekitar Rp1,5 triliun, tapi hampir semua proyek ini belum dimulai.

"Keamanan di negara sasaran adalah faktor yang penting bagi investasi Tiongkok di luar negeri," kata Professor Fan Hongda, pakar masalah Timur Tengah di  Shanghai International Studies University.

"Gagal tercapainya situasi stabil di bawah pemerintahan dukungan AS sebelumnya merupakan alasan yang mendasar bagi terbatasnya investasi Tiongkok di sana."

Setelah mantan wakil presiden Amrullah Saleh mengatakan dia sudah bergabung dengan kelompok perlawanan untuk memerangi rezim yang baru, stabilitas di Afghanistan tampaknya tidak akan tercapai dalam waktu dekat.

"Kecil kemungkinan akan banyak investasi di Afghanistan sampai ada kejelasan mengenai siapa yang berkuasa, bagaimana kekuasaan mereka di negeri itu, dan peluang bagi kembalinya investasi yang ditanamkan," kata Dr Shanahan. 

Rafaello Pantucci mengatakan diperlukan banyak kemajuan di Afghanistan sebelum adanya investasi besar-besaran dari Tiongkok.

"Meski perusahaan Tiongkok lebih berani mengambil risiko dibandingkan yang lain, Afghanistan bukan negara yang mudah," katanya.

"Sudah ada bukti tewasnya warga Tiongkok yang sedang mengerjakan proyek di sana.'

Dalam kesimpulannya, Professor Gu mengatakan "tidak ada investor yang akan menanamkan uang mereka di negara yang dilanda perang antara kekuatan asing dan persaingan internal."

"Uang suka perdamaian, bukan perang."

 

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Paus Fransiskus Ajak Umat Berpuasa untuk Afghanistan

Berita Terkait