jpnn.com - JAKARTA – Tercapainya kesepakatan antara Pemerintah Pusat di Jakarta dengan Pemerintahan Aceh terkait bagi hasil pengelolaan minyak dan gas alam di lepas pantai, merupakan tanda hubungan keduanya ke depan bakal mesra.
Hubungan panas antara Jakarta-Aceh, terutama terkait masalah bendera Aceh yang mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), secara otomatis berakhir. Pihak Aceh diyakini akan mengubah bendera kontroversial itu, pascakesepakatan bagi hasil migas dimaksud.
BACA JUGA: Uang Suap Fuad Disimpan di Kresek Bertulis I Love You
"Hubungan Jakarta dengan Aceh pasti akan semakin kondusif dan ini lah yang diharapkan masyarakat Aceh yang mendambakan perdamaian sejati, tak ingin ada konflik lagi," ujar pemerhati masalah Aceh, Firdaus Syam, kepada JPNN, kemarin (2/12).
Diberitakan sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo, menyatakan, sejumlah poin terkait pembahasan tiga aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah disetujui kedua belah pihak.
Kesepakatan awal menurut Tjahjo, diperoleh setelah dilakukan pembahasan tahap awal di Kantor Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Sofyan Djalil, Jakarta, Selasa (26/11) lalu.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Rawan Penyelewengan
Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan, mengatakan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh sepakat pembagian dilakukan dengan perbandingan Aceh memeroleh 70 persen, pemerintah pusat 30 persen.
Firdaus mengatakan, kesepakatan ini sebenarnya merupakan lanjutan dari proses negosiasi yang sudah dilakukan pemerintahan SBY. Hanya saja, saat menjelang hajatan pilpres, pemerintahan SBY tidak melanjutkan proses negosiasi tahap akhir.
BACA JUGA: Munas IX Golkar Diibaratkan Sinetron
"SBY lambat, tidak memanfaatkan momentum ini. Padahal, saat itu sudah tercapai kesepakatan, tinggal ujungnya saja. Nah, ujungnya saja ini yang dimanfaatkan pemerintahan Jokowi," kata Deputi Bidang Politik LPM Universitas Nasional, Jakarta, itu.
Dengan dalih itu, Firdaus membantah jika ada anggapan kesepakatan bisa cepat tercapai karena ada peran Wapres Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang merupakan putra Aceh. "Tapi dengan meneruskan kesepakatan yang dicapai lewat proses negosiasi pemerintahan SBY, ya langkah pemerintahan Jokowi ini tetap harus diapresiasi," kata dia.
Firdaus mengingatkan, ke depan yang harus menjadi perhatian adalah masalah penggunaan dana bagi hasil 70 persen itu. "Jangan sampai hanya dinikmati elit-elit Aceh saja. Tapi harus betul-betul untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh. Infrastuktur, pendidikan, kebudayaan, agama, secara merata. Kalau tidak, bisa memunculkan kekecewaan rakyat," pesan dia.
Karena itu, lanjutnya, perlu regulasi yang lebih detil lagi yang mengatur penggunaan dana bagi hasil dimaksud. Pemerintah pusat harus tetap melakukan supervisi aturan, termasuk juga pendampingan pengelolaan keuangan.
"Bukan berarti lepas kepala pegang ekornya, tapi bentuk tanggung jawab agar dana itu benar-benar bermanfaat untuk rakyat," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Agun Sarankan Airlangga Perkarakan Munas Golkar ke PTUN
Redaktur : Tim Redaksi