jpnn.com, JAKARTA - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mendukung rencana Kemendagri menerapkan tanda tangan digital dalam seluruh dokumen administrasi. Melalui Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN memastikan bahwa implentasi tanda tangan digital untuk dokumen kependudukan secara nasional bisa terlaksana. Mereka tinggal merancang aturan pelaksana dari undang-undang yang sudah ada.
Kepala BSrE Rinaldy mengatakan, sebagai dasar hukum, tanda tangan digital sudah dilindungi oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, pemerintah juga sudah memiliki Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
BACA JUGA: Kemendagri Minta Airin Copot Semua Lurah Non-PNS
”Di UU ITE sudah dinyatakan bahwa tanda tangan digital kekuatan hukumnya sama persis seperti tanda tangan biasa,” ungkap dia, seperti diberitakan Jawa Pos.
Sebelumnya, Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri akan menerapkan tanda tangan digital pada dokumen kependudukan mulai tahun depan. Dirjen Dukcapil Zudan A.F. memastikan rencana tersebut dalam rapat koordinasi pendaftaran penduduk dan persiapan menghadapi pemilu di Makassar, Senin (26/11).
BACA JUGA: Rakornas Jelang Pemilu 2019: Polri Beber Potensi Kerawanan
Dengan penggunaan tanda tangan digital tersebut, pelayanan dokumen kependudukan akan lebih mudah. Setiap orang yang membutuhkan tanda tangan kepala dinas, seperti akta kelahiran dan kartu keluarga, tidak lagi tergantung pada kehadiran kepala dinas di kantor.
Menurut Rinaldy, BSrE menyiapkan sistem dan teknologi sesuai kebutuhan Kemendari dalam penerapan tanda tangan digital. ”Secara sistem, secara SDM, kami siap untuk membantu Kemendagri dalam hal ini (Ditjen) Dukcapil untuk implementasi (tanda tangan digital) secara nasional,” ujarnya.
BACA JUGA: Kemendagri Genjot Kinerja Keterbukaan Informasi Publik
Sebagai organisasi yang bergerak di bawah BSSN, sejatinya implementasi tanda tangan digital bukan hal baru bagi BSrE.
Bukan hanya Kemendagri saja yang sudah memakai tanda tangan digital dalam berbagai kebutuhan. BSrE juga sudah bekerja sama dengan organisasi lain. Baik yang bernaung di bawah pemerintah maupun organisasi di luar pemerintah. Misal Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan beberapa pemerintah daerah (pemda). ”Sudah lebih dari 60 organisasi,” kata Rinaldy.
Berdasar data BSSN, jumlah tepatnya sebanyak 64 instansi. Dengan rincian 18 instansi di level pusat, 3 BUMN, serta 43 instansi yang terdiri atas pemda provinsi, pemda kabupaten, dan pemda kota. Khusus dengan pemda, kata Rinaldy, kerja sama paling banyak meliputi sektor perizinan.
”Juga terkait kependudukan. Surat-surat keterangan. Itu juga mereka menggunakan tanda tangan digital,” imbuhnya.
Sejauh ini, instansi yang sudah menerapkan tanda tangan digital merasakan manfaat signifikan. Misalnya, dinas kependudukan dan catatan sipil (dipendukcapil) di daerah. Waktu untuk mengembangkan organisasi menjadi lebih banyak.
Sebab, pimpinan mereka tidak perlu lagi memakan waktu berlebih hanya untuk menandatangani berkas atau dokumen. ”Sehingga dia nggak bisa ke mana-mana,” ucap Rinaldy. Hal itu dinilai sebagai respons positif oleh BSrE.
Pengalaman kerja sama dengan pemda yang sudah mereka punya, diyakini oleh Rinaldy mampu memudahkan kerja sama yang mereka jalin dengan Kemendagri. Termasuk apabila implementasi tanda tangan digital oleh kementerian di bawah komando Tjahjo Kumolo itu diterapkan sampai level kelurahan. ”Jadi, sebetulnya nggak masalah. Tinggal kebijakannya mau diterapkan sampai mana,” ujarnya.
Lantas bagaimana dengan proteksi tanda tangan digital? Rinaldy menyebut, kriptografi menjamin tanda tangan digital yang dibuat dengan kerja sama BSrE aman. ”Seberapa kemungkinannya (dipalsukan), kalau kami pakai aspek dari teknologi informasi, bisa kami katakana hampir mendakti nol,” kata dia tegas.
Sebab, BSrE punya sistem yang mereka buat dan mereka kembangkan sendiri. Bukan membeli atau numpang kepada pihak lain.
Rinaldy menyampaikan, sejatinya implementasi tanda tangan digital saat ini sudah sangat terlambat. Jika merujuk UU ITE yang lahir pada 2008, harusnya pemerintah sudah menggunakan tanda tangan digital sejak sepuluh tahun lalu.
Karena itu, jangan heran apabila saat ini ada beberapa instansi yang mengklaim sudah memakai tanda tangan digital. Sebab, UU ITE sudah melindungi mereka sejak kali pertama resmi berlaku.
Hanya saja, lanjut Rinaldy, saat ini ada dua jenis tanda tangan digital di Indonesia. Yang tidak tersertifikasi dan yang tersertifikasi. Instansi yang kerja sama dengan BSrE sudah dipastikan tanda tangan digitalnya tersertifikasi. Juga punya proteksi kuat.
”Cukup kuat untuk tidak bisa diduplikasi,” ujarnya. Sukses kerja sama dengan puluhan instansi bisa menjadi salah satu bukti. Sejauh ini tanda tangan digital mereka aman.
Namun demikian, diakui Rinaldy, butuh aturan turunan untuk memastikan penerapan tanda tangan digital benar-benar terlaksana dengan baik. Dengan Kemendagri misalnya, butuh permendagri. Sedangkan dengan pemda, perlu aturan seperti pergub, perbup, atau perwalkot.
”Dari masing-masing kementerian, lembaga, atau masing-masing organisasi membuat peraturan sesuai dengan ciri khas atau kegiatan yang ada,” bebernya.
Lebih lanjut, Rinaldy menjelaskan bahwa tanda tangan tersertifikasi BSrE sudah bisa diterapkan oleh kementerian, lembaga, atau instansi mana pun di Indonesia. Tapi, tetap butuh aturan turanan dari peraturan yang sudah ada saat ini. Termasuk di antaranya apabila tanda tangan digital akan diterapkan untuk urusan hukum. Harus ada aturan dari penegak hukum atau lembaga peradilan yang menggunakannya.
Kanit II Subdit II Dittipid Siber Bareskrim Polri AKBP Idam Wasiadi menuturkan bahwa dalam dunia digital itu, terdapat dua jenis signature atau tanda tangan. Yakni private key dan public key. Untuk tanda tangan digital merupakan yang bersifat private key atau personal. ”Namun, dalam dunia digital bukan berarti tidak mungkin diretas tanda tangan digital tersebut,” paparnya.
Kendati kemungkinannya kecil, namun tetap ada potensi peretasan hingga bisa memalsukan tanda tangan dan sebagainya. Sehingga, bisa jadi bukan pemilik tanda tangan yang menggunakannya. ”Namun, yang lebih utama sebenarnya soal keabsahan penggunaan tanda tangan digital di Indonesia,” terangnya.
Dia pun membenarkan, tanda tangan digital telah diatur dalam UU ITE. Sayangnya hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya. Sehingga, keabsahan tanda tangan digital di Indonesia belum jelas. ”Ini yang perlu,” jelasnya.
Menurutnya, belum adanya PP tersebut berdampak pada proses penegakan hukum di Indonesia, bila terjadi peretasan tanda tangan digital. Secara sederhana belum bisa dianggap peretasan terhadap tanda tangan digital itu merupakan pidana. ”Belum bisa diproses,” paparnya.
Karena itu, bila ada sebuah peretasan tanda tangan digital, maka kepolisian tidak bisa menjeratnya. Apalagi, bila terjadi peretasan di Indonesia namun, korbannya orang asing. ”Mungkin di negara itu sudah pidana, tapi di Indonesia belum,” ujarnya.
Sehingga kesulitan bila hal semacam itu terjadi. Kejahatan antar negara perlu untuk memiliki kesamaan. ”di negara A sebuah pidana, di negara B juga pidana. Maka bisa kerjasama, tapi kalau bukan pidana, ya tidak bisa,” paparnya dihubungi. (idr/syn/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendagri Ingatkan Kada Hindari Tujuh Area Rawan Korupsi
Redaktur & Reporter : Soetomo