Tanggalkan Masker, Pilih Kacamata Hitam Agar Tak Grogi di Depan Mayat

Selasa, 11 November 2014 – 00:11 WIB
KAYA PENGALAMAN: Pudji ketika melakukan rekonstruksi dalam olah TKP bersama Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta (kanan). Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

jpnn.com - Bagi banyak orang, mayat merupakan sesuatu yang seram dan kalau bisa tidak usah berdekat-dekatan. Namun, bagi anggota Unit Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis, dulu unit identifikasi, Red) Polrestabes Surabaya Aiptu Pudji Hardjanto, mayat adalah sebuah karya seni yang menarik. Menurut dia, banyak yang bisa dipelajari dari sesosok mayat.

Laporan Phaksy Sukowati, Surabaya

BACA JUGA: Sempat Berdoa untuk Marco Simoncelli di Tikungan 11

PENAMPILANNYA tidak ubahnya musisi rock. Rambut gondrong, baju stylish dan cenderung skinny, serta sepatu pantofel runcing hitam. Tidak lupa, kacamata hitam dan aksesori gelang selalu melekat pada lulusan Secaba Polri 1993 tersebut. Itu sangat jauh dengan reputasi yang diperolehnya di kepolisian: spesialis mayat.

Pengetahuannya soal mayat luar biasa. Beberapa kasus pembunuhan terungkap berkat kejeliannya melihat hubungan mayat dengan benda-benda lainnya di TKP (tempat kejadian perkara). Secara otodidak, dia menguasai apa yang disebut Jeffrey Deaver dalam novel-novel kriminalnya hukum pertukaran materi. Bahwa ketika terjadi sebuah peristiwa kriminalitas, selalu terjadi transfer materi.

BACA JUGA: Lewat Bali Buka Jalan Fashion Week di Indonesia

Dalam kasus pembunuhan, mayat pun bisa menjadi petunjuk penting. ’’Misalnya, ketika korban meronta, kadang tidak sengaja menjambak rambut pelaku. Atau kulit yang terselip di kukunya,’’ papar pria 41 tahun itu.

Sejak awal berdinas, Pudji memang dekat dengan mayat. Penugasannya melingkupi banyak daerah konflik, seperti Timor Timur (kini Timor Leste, Red). Daerah konflik membuatnya bersentuhan dengan banyak jasad manusia. Itulah yang kemudian membuatnya begitu tertarik dengan mayat.

BACA JUGA: Airmata Likas untuk Gelar Pahlawan Nasional Djamin Ginting

Itulah yang membuat dia memilih untuk masuk menjadi Inafis. Ketika terjadi pemekaran di tubuh satuan reserse kriminal, Pudji lebih memilih masuk unit identifikasi. Di sini dia berperan seperti di serial CSI (Crime Scene Investigation) atau unit olah TKP. Mengungkap kasus, yang paling krusial adalah secepatnya datang ke TKP dan membuat TKP klir. Dalam hal itu, dia paling tertarik menyelidiki mayat yang menjadi korban.

Menurut dia, seorang pelaku yang pintar bisa merekayasa bukti-bukti untuk menyesatkan penyelidikan. ’’Tapi, jenazah manusia tidak bisa direkayasa. Ada perubahan-perubahan teratur yang terjadi sepanjang waktu kematian. Dan kalau dilakukan rekayasa, pasti bisa langsung diketahui,’’ paparnya.

Setelah mendalami dan mengeksplorasinya, dia semakin ”jatuh cinta” pada mayat. Kendati tidak pernah menjadi cita-citanya, dia menganggap pekerjaan tersebut dekat dengan jiwanya. Dia pun belajar keras melahap secara otodidak setiap materi ilmu yang disebut thanatology, yaitu ilmu kematian. Upaya tersebut dimaksudkan untuk mengolah terus logikanya setiap menghadapi teka-teki perkara.

Pudji mengibaratkan mayat sebagai bentuk karya seni alam istimewa yang diciptakan Sang Mahakuasa. Seni tersebut dianggapnya sangat dinamis karena banyak rasa yang mengiringinya saat bertugas. ”Ibarat lukisan bila sudah tergambar di atas kanvas, seperti itu saja. Kalau mayat, lebih dinamis karena ada perubahan yang unik setiap detailnya,” ujar Pudji.

Selain itu, dia memercayai adanya logika yang bisa dipelajari dalam tiap perubahan pada satu sosok jasad. Hubungan TKP dan mayat dianggapnya tempat persimpangan bertemunya perasaan atau insting, logika dengan hukum.

’’Setiap menitnya pasti berubah, mulai kaku mayat, lebam mayat, kembali kaku lagi, pembusukan, dan seterusnya. Dari tanda-tanda tersebut, dapat ditelusuri urutan kronologi dan penyebab kematian jenazah itu,” papar penghobi burung kicau tersebut.

Menghadapi mayat yang meninggal dalam keadaan tidak lazim bagaikan kesempatan emas baginya berunjuk gigi. Salah satunya pada akhir Oktober lalu kasus pembunuhan dengan pot bunga. Pembunuhan sadis tersebut terjadi tepat satu hari setelah ulang tahunnya. Perintah Kapolrestabes Surabaya langsung turun kepadanya untuk menyelidiki kasus tersebut.

Tugas yang diamanatkan kepadanya seolah menjadi kado berharga mengawali usia 41 tahun. Hasilnya tidak lebih dari 12 jam, dia berhasil mengungkap peristiwa pembunuhan itu. Dengan digabungkan bukti-bukti lain dan keterangan saksi, kasus tersebut diungkap. Pembunuhnya tidak lain adalah suaminya sendiri.

Meski terkesan nyentrik, Pudji mengaku tidak punya ritual khusus. Alih-alih mengenakan masker, Pudji malah mengenakan kacamata hitam. Alasannya juga tidak lazim. ’’Biar tak grogi di depan mayat,’’ terangnya, kemudian terkekeh. Dia juga selalu menolak mengenakan masker ketika melakukan olah TKP. Menghilangkan bau asli, katanya.

Selain itu, dia sensitif dan kesal saat mendapati TKP yang dihadapinya ”tercemar”. Misalnya, pengelola apartemen yang sengaja menaburkan bubuk kopi di sekitar kamar untuk mengurangi bau busuk mayat yang menyengat. Dia bahkan pernah mengusir dari TKP seorang Kapolres di daerah Jatim. Saat itu perwira tersebut mengoleskan minyak angin untuk mengurangi bau busuk yang masuk ke hidungnya.

Menurut dia, hal terpenting adalah detail-detail kecil. Mulai aroma sekitar jenazah, pakaian jenazah, hingga luka-luka di jasad tersebut. ’’Dari detail-detail kecil tersebut, banyak hal yang bisa terungkap,’’ paparnya.

Dia mencontohkan sosok jasad dengan banyak luka tusuk di perut dan sobekan di pergelangan tangan. ’’Dari luka itu bisa dibayangkan bahwa orang itu awalnya hendak bunuh diri dengan merobek perut. Tapi, tidak berani sebelum nekat mengiris nadinya sendiri,’’ paparnya.

Berkat pengalamannya, dia kerap dipanggil untuk mem-back up penyelidikan kasus besar di daerah lain, khususnya Jawa Timur. Di antaranya, TKP penemuan mayat perempuan di Nganjuk dan bunuh diri palsu di Lamongan. Nah, TKP mayat perempuan di sebuah hutan di Nganjuk beberapa tahun silam menjadi pengalaman yang sangat mengesankan baginya. Proses identifikasi mayat tersebut berlangsung cukup lama.

Bahkan, dia harus berkali-kali blusukan ke semak-semak bambu. Meski demikian, dia yakin hasil penyelidikannya mengarah ke pelaku. Namun, pelaku itu lebih lihai menyembunyikan pengakuannya hingga akhirnya tidak ditemukan tersangka dalam kasus tersebut.

Selain itu, dia sering dimintai bantuan untuk mengajar anggota identifikasi di sejumlah satuan kepolisian di Jawa Timur. Ketika mengajar, penggemar ayam betutu bali tersebut lebih suka memberikan materi contoh kasus yang pernah ditanganinya.

Tidak jarang, dia juga sharing wawasan dengan para dokter muda saat bekerja sama mengotopsi jenazah di RSUD dr Soetomo. Dia pun menggarap sendiri materi ajar yang didapatnya selama bertugas lebih dari satu dekade. ”Saya pakai materi yang riil saja yang saya temukan di lapangan. Karena justru ini yang lebih dibutuhkan,” ujarnya sembari menunjukkan foto dirinya kala memberi pendidikan. (*/c6/ano)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ayip Rizal, Perwira Polda Jawa Timur Kapten Tim Nasional Voli Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler