Tanggapi Putusan Uji Materi Soal Syarat Capres-Cawapres, Hendardi: MK Promosikan Kejahatan Konstitusional

Selasa, 17 Oktober 2023 – 05:14 WIB
Ketua SETARA Institute Hendardi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Dewan Nasional SETARA Intitute Hendardi menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

Putusan tersebut pada pokoknya menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.

BACA JUGA: Almas Tsaqibbirru Re A, Mahasiswa Solo Pemenang Gugatan Syarat Capres-Cawapres di MK

“Keputusan tersebut telah menegaskan inkonsistensi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan Konstitusi RI,” tegas Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (16/10).

Menurut Hendardi, MK apapun alasannya telah melampaui batas kewenangannya. MK telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi.

BACA JUGA: MK Muluskan Jalan Gibran, CSIIS Prediksi Akan Ada Perang Sedarah

Sebab, dengan putusan menerima dan mengubah bunyi Pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator.

MK juga sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy sesuai selera penguasa. MK yang mengeklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional (constitutional evil).

BACA JUGA: KPU Segera Ubah Syarat Capres dan Cawapres Sesuai Putusan MK

Dalam posisi ini, kelas kenegarawanan seperti apa yang hendak dibanggakan dari hakim-hakim MK?

“Jika dengan putusan ini Gibran Rakabuming Raka melenggang ke bursa Pilpres, tidak perlu analisis rumit untuk mengatakan bahwa putusan MK memang ditujukan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan bapaknya dan meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia,” ujar Hendardi.

“Tidak ada presiden yang sesibuk Jokowi dalam mempersiapkan penggantinya kecuali Jokowi,” kata Hendardi.

Hal ini terjadi bukan hanya karena nafsu kuasa, Jokowi tetapi juga kecemasan akan masa depan dirinya yang landing dari kursi kepresidenan dengan warisan kebijakan yang buruk di banyak sektor.

Di luar soal kontestasi Pilpres, Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim Orde Baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca-Orde Baru, saat ini hampir tidak ada bedanya.

Sebab, para hakim dengan bangga mempromosikan apa yang disebut judisialisasi politik otoritarianisme.

Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis padahal yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara,” ujar Hendardi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler