Tangkap Cukong Pembalakan Liar

Jumat, 21 Oktober 2016 – 10:21 WIB
Kayu gelondongan hasil sitaan aparat di kawasan hutan di NTB. Pembalakan liar di wilayah tersebut makin marak. Aparat harus segera bertindak. FOTO: Lombok Post/JPNN.com

jpnn.com - MATARAM - Lemahnya penegakkan hukum dan kesenjangan ekonomi menjadi penyebab pembalakan liar terus menggerogoti hutan NTB. Untuk itu dibutuhkan langkah cepat dan ketegasan aparat penegakkan hukum untuk memberantas pembalakan liar (illegal logging) ini.

Hal itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan WWF NTB, Kamis (20/10). Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram Zainal Asikin mengatakan, upaya pemberantasan pelaku pembalakan liar selama ini hanya mampu menangkap pelaku kecil yang ada di hutan.

BACA JUGA: Maaf, Ini Dia Kota dengan Transportasi Paling Buruk di Indonesia

Ia mengistilahkannya sebagai “tukang kebun” sementara pelaku utama, otak dari pembalakan liar tidak tersentuh. ”Tapi cukongnya tidak pernah terjamah,” katanya, seperti dilansir Lombok Post (Jawa Pos Group).

Ia juga menyarankan, untuk menimbulkan efek jera, barang bukti berupa kendaraan pengangkut maupun kayu sebaiknya dimusnahkan saja. Pemerintah bisa melakukannya, seperti pemusnahan yang dilakukan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti terhadap kapal-kapal pencuri ikan. Sebab jika kayu-kayu tersebut dilelang, yang membeli lagi adalah para pengusaha pelaku illegal logging.

BACA JUGA: Barter Ganja dengan Panel Surya, WN PNG Ditangkap di Papua

Demikian juga dengan kendaraan, Dinas Kehutanan NTB punya hak untuk menolak apabila ada yang ingin meminjam. ”Jika diberikan pinjam nanti dipakai lagi untuk kejahatan illegal logging,” katanya.

Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Mataram Didit Jatmiko menyebutkan, jumlah kasus illegal logging yang ditangani PN Mataram tahun 2016 kurang dari 15 kasus. Tapi rata-rata barang buktinya berupa kayu 1 potong, dan paling banyak 8 potong kayu. ”Semua kasus ini sudah selesai, vonis sudah,” katanya.

BACA JUGA: Mengharukan, Ikhlas Cerai Usai Baca Surat sang Buah Hati

Vonis hukuman para pelaku illegal logging ini bervariasi tergantung dari jenis kasus. Ada yang 1 tahun atau 1,5 tahun. Tetapi yang jelas dalam mengambil keputusan pengadilan, PN Mataram tentu tidak hanya melihat dari sisi salah benar. Tetapi juga banyak aspek yang ditinjau seperti keadilan sosial dan lokal justice. Sehingga semua aspek tersebut juga jadi pertimbangan. ”Kalau barang bukti hanya satu potong terus kita maksimalkan hukuman 15 tahun, kan seperti membabi buta toh” katanya.

Tapi di sisi lain, ia juga merasa kaget dengan presentasi temuan Dinas Kehutanan yang menangkap kayu dalam truk-truk. Tapi dalam pengadilan barang buktinya hanya satu dua batang pohon. ”Saya juga kaget loh kok banyak,” ujarnya.

Kepala Dinas Kehutanan NTB Hunanidiaty Nurdin mengungkapkan, selama empat bulan menjabat jumlah kasus pembalakan liar yang ditangani sebanyak 32 kasus. Sebanyak 11 kasus diantaranya sudah vonis, dan dua kasus P21.  Sisanya, 19 kasus masih dalam penyidikan, sembilan kasus di antaranya masih DPO. Sementara, barang bukti yang diamankan saat ini adalah 33 unit kendaraan pengangkut dan 313,79 meter kubik kayu. ”Kalau yang dulu-dulu saya tidak tahu,” ujarnya.

Ia mengatakan, Dinas Kehutanan tidak hanya menangkap pelaku kecil, tetapi juga otak pembalakan liar. Sampai saat ini dua otak pembalakan liar sudah ditangkap, namun yang lain masih terus dikejar.

Direktur WWF NTB Ridha Hakim dalam tulisannya menjelaskan, dalam kasus illegal logging putusan hakim dalam sistem peradilan pidana menunjukkan ketidak konsistenan. Putusan hakim cenderung membebaskan pelaku illegal logging. Hal ini dipengaruhi sistem peradilan pidana yang parsial, kondisi internal peradilan, pengaruh psikologis terhadap pelaku illegal logging di luar wilayah hukumnya, dan rendahnya moralitas oknum aparat penegak hukum.

Dalam diskusi yang dihadiri berbagai kalangan ini, WWF merumuskan beberapa langkah strategis untuk pemberantasan illegal logging.(JPG/ili/r7/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PNS Berpose Tanpa Busana, Beginilah Akibatnya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler