Tangkis Radikalisme, Belajar Agama Harus Komprehensif

Jumat, 23 September 2016 – 15:25 WIB
Ilustrasi. Foto: AFP

jpnn.com - JAKARTA - Memahami agama Islam jangan hanya 'kulitnya' atau secara tekstual. Tetapi harus masuk ke wilayah isi agama itu sendiri (kontekstual).

Dengan begitu, pemahaman agama Islam itu jadi komprehensif dan keseluruhan. Itu penting dalam membendung faham radikal terorisme.

BACA JUGA: IDI Diminta Tak Merecoki Pengusutan Kasus Vaksin Palsu

Selama ini, faham itu banyak menggunakan ayat-ayat Alquran dan hadis yang dipahami secara dangkal. Maknanya malah lebih sering diputarbalikkan.

"Kelompok radikal selama ini hanya mengandalkan 'kulitnya' dan memutarbalikkan maknanya untuk melancarkan propagandanya. Bahkan mengafirkan orang yang tidak sepaham. Jelas pemahaman secara parsial itu bahaya karena bisa menimbulkan kelompok radikal lebih besar," ujar Rois Syuriah PBNU Zakky Mubarak di Jakarta, Jumat (23/9).

BACA JUGA: Bantah Kabar Rohadi Punya Water Park, Pengacara: Itu Baru Wacana

Sesuai kaidahnya, lanjut Zakky, agama Islam terutama ayat-ayat Alquran dan hadis pemahamannya harus lurus dan tidak seenaknya.

Artinya, ada kaidah yang harus mengarahkan pada kebaikan dan membawa kemaslahatan pada umat. K

BACA JUGA: Kepada Dua Kapolda, ‎Kapolri: Tugas Baru Berat, Pilkada Lumayan Panas

arena itu, untuk memahami agama Islam wajib belajar pada ahlinya yaitu kiai, ulama, ustdz, guru, dan dai.

Tapi ahli itu pun harus jelas track record-nya, di mana pendidikannya dan latar belakangnya.

"Jangan belajar agama dengan membaca sendiri atau belajar dari teman. Juga jangan hanya kursus atau belajar agama seminggu dua minggu tapi sudah merasa alim, itu bahaya. Agama Islam itu perlu didalami secara berkesinambungan sehingga agama itu jadi komprehensif dan secara keseluruhan, tidak parsial," tegas Dewan Pakar Masjid Agung Sunda Kelapa ini.

Dia mengaku memiliki pengalaman berdialog dan berkumpul dengan kelompok radikal untuk memilih dan memilah ayat-ayat Alquran dan hadis.

Di situ mereka menyampaikan ayat dan hadis  yang dianggap cocok dengan doktrin mereka, tapi yang tidak cocok mereka sembunyikan.

Saat dialog itu, Kiai Zakky memberikan pemahaman yang benar dengan menggunakan ayat-ayat serta hadis yang ringan agar seimbang. Dari situ, sebagian mereka bisa berubah.

Selain itu, dari pengalamannya lama membina remaja masjid, remaja kampus, muslim kampus, Kiai Zakky juga memberikan pemahaman yang sama beserta penjelasan yang gamblang tentang makna ayat-ayat Alquran dan hadis.

Dari situ terjadi dialog sehingga mereka mengerti mana yang benar dan mana yang salah.

"Saya ambil contoh, orang yang tidak salat itu dianggap kafir. Tapi ada hadis lain yang menegaskan itu bukan kafir nonmuslim tapi umat muslim mengingkari salah satu kewajiban Islam. Saya jelaskan bahwa yang membedakan muslim dan kafir itu bukan di situ, tapi dari kalimat syahadat,” ujarnya.

“Kalau orang bersyahadat itu pasti muslim, tapi kalau tidak bersyahadat itunon muslim. Kalau urusan ibadah itu urusan dia dengan Allah. Itu menjadi gambaran bahwa masih banyak orang tidak tahu sehingga banyak yang kepleset," jelas Imam Besar Masjid Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia itu.

Di sinilah, lanjut Kiai Zakky, peran ulama sangat penting. Artinya, ulama harus proaktif memberikan pemahaman kepada umat.

Jangan seperti dulu di mana para ulama lebih banyak tawadhu (rendah hati) dan menunggu orang bertanya.

"Ulama, guru, ustaz, da'i harus pr aktif untuk menyelamatkan umat dari serbuan Faham yang salah. Sudah bukan masanya ulama seperti dulu yang lebih banyak menunggu. Satu lagi, di samping berdakwah, ulama harus menulis melalui website, media sosial, dan media massa," tegas Kiai Zakky. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ssttt.... Mabes Polri Selidiki Video Kombes Krishna Bermain Balita


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler