jpnn.com - JAKARTA – Pemerintah menargetkan deklarasi dalam negeri terkait tax amnesty mencapai Rp 1000 triliun.
Hingga Selasa (20/9) kemarin, deklarasi sudah mencapai Rp 700 triliun. Tetapi, banyak kendala yang mengadang repatriasi aset.
BACA JUGA: Harga Cengkih Tertahan, Nilainya Sebegini
Salah satunya, wajib pajak peserta amnesti pajak yang berkewajiban membubarkan special purpose vehicle (SPV).
SPV selama ini digunakan untuk mengelola aset dan investasi di dalam dan luar negeri.
BACA JUGA: Pajak Freeport Mencurigakan, DPRD Papua Bentuk Tim Investigasi
SPV merupakan perusahaan yang secara de facto dimiliki wajib pajak, namun secara de jure tidak terkait langsung dengan wajib pajak.
Misalnya, banyak wajib pajak yang menggunakan SPV untuk membeli saham perusahaan milik wajib pajak yang tercatat di bursa.
BACA JUGA: Jangan Sampai Penindakan Google Hambat Iklim Investasi
Dengan demikian, pajak penghasilan dan pajak badan berkurang. Selain itu, porsi kepemilikan di sebuah perusahaan terbuka bisa kurang dari 50 persen sehingga tidak ada kewajiban membeli sisa saham pihak lain.
SPV juga digunakan untuk mengalihkan aset yang menjadi objek pajak. Misalnya, melalui utang. Berdasar Peraturan Menteri Keuangan No 127 Tahun 2016 pasal 3 ayat 4, pinjaman yang dicatat wajib pajak dan kewajiban yang dicatat SPV wajib ditiadakan.
’’Kalau SPV bubar, utang bisa jadi default (gagal bayar, Red). Ada beberapa pengusaha kita yang memakai SPV seperti di Hongkong, Singapura, atau negara lainnya,’’ kata Dirut Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio kemarin (20/9).
Kewajiban pembubaran SPV dan penghapusan utang tersebut membingungkan wajib pajak pemilik SPV.
’’Kalau sudah bayar empat persen (uang tebusan deklarasi amnesti pajak, Red), kenapa tetap harus ganti nama?’’ ungkap Tito.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menambahkan, revisi PMK itu berkaitan dengan stimulus penghapusan kewajiban tender offer kepada wajib pajak yang memiliki saham lebih dari 50 persen di satu perusahaan terbuka.
BEI juga memberikan diskon biaya perdagangan dengan skema tutup sendiri (crossing) di pasar negosiasi.
BEI pun melakukan relaksasi persyaratan pencatatan efek di papan pengembangan untuk aktiva bersih berwujud (net tangible asset), batasan proporsi saham beredar di publik (free float), dan diskon separo biaya pencatatan saham (initial listing fee).
Karena terkendala oleh aturan di PMK tersebut, seluruh fasilitas yang diberikan OJK dan BEI itu belum dimanfaatkan wajib pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengakui, pihaknya masih mendengarkan masukan dari berbagai pihak untuk merevisi PMK 127.
’’Kami berusaha akomodasi apa saja yang akan menjadi concern wajib pajak dan WNI pemilik SPV,’’ ujarnya. (gen/c5/noe/jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mobile Marketing Semakin Menjanjikan
Redaktur : Tim Redaksi