Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Surya Darma mengatakan, pihak pengembang memang menuntut revisi angka biaya pokok penyediaan (BPP) oleh PLN
BACA JUGA: Baru Seribu Industri yang Siap
''Kalau menggunakan angka sekarang, panas bumi tidak akan berkembang,'' ujarnya usai seminar Indonesia Commitment to Develop Geothermal di Jakarta Selasa (29/7).10 Juni lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Permen ESDM tentang BPP PLN per regional, yang digunakan untuk menghitung formula harga jual listrik dari pengembang panas bumi ke PLN.
Dalam Permen tersebut disebutkan, harga jual listrik panas bumi adalah sebesar 85 persen dari BPP regional PLN untuk pembangkit kapasitas 10 - 55 MW, dan 80 persen BPP untuk kapasitas pembangkit di atas 55 MW
Yang jadi masalah, kata Surya Darma, sistem penghitungan BPP tersebut berbeda dengan sistem yang disepakati saat negosiasi antara pengembang panas bumi dan PLN
BACA JUGA: Enam Bulan, Astra Laba Rp 4,75 Triliun
Yakni, BPP dihitung per regional, misal sistem Jawa-Bali dijadikan satu dan sistem Sumatera dijadikan satu, tidak dibagi-bagi per sub sistemMenurut Surya Darma, kekeliruan terjadi antara Departemen ESDM dan Ditjen Listrik Pemanfaatan Energi
BACA JUGA: Dekati Pemilu, Kinerja Swasta Melambat
Angka-angka yang sudah disetujui Menteri ESDM, ternyata berbeda dengan yang dikeluarkan oleh Ditjen LPE atas nama Menteri ESDM.Akibat hal tersebut, lanjut dia, BPP untuk wilayah Sumatera bagian selatan (Sumbagsel) menjadi sangat kecil, hanya Rp 565 per kilo watt hour (Kwh)Sehingga, dengan skema 85 persen harga BPP, maka pengembang hanya bisa menjual ke PLN seharga Rp 480 per Kwh.
Padahal, jika satu sistem Sumatera disatukan, maka BPP nya bisa mencapai Rp 1000 per Kwh, sehingga harga jual listrik dari pengembang ke PLN bisa Rp 850 per Kwh''Nah, harga itu baru mendekati nilai keekonomian,'' terangnya.
Terkait hal tersebut, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro berjanji untuk segera merevisi Permen terkait BPP tersebut''Saya sudah minta ke Ditjen Listrik untuk segera merevisinya,'' ujarnya saat seminar kemarin.
Komitmen pemerintah tersebut diapresiasi positif oleh Asosiasi Panas Bumi IndonesiaMeski demikian, Surya Darma yang juga Presdir PT Pertamina Geothermal Energy mengatakan, kurangnya koordinasi di internal pemerintahan tersebut membuat pengembangan panas bumi di Indonesia menjadi stagnan''Investor kan butuh kepastian,'' katanya.
Dia juga mendesak, pemerintah segera merealisasikan revisi tersebut''Kami berharap, satu minggu atau dua minggu ke depan sudah terealisasi,'' tandasnya.
CEO PT Supreme Energy Supramu Santosa menambahkan, kejelasan kebijakan harga oleh pemerintah sangat diperlukan oleh pengembang panas bumiPasalnya, investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga terus melambung''Investasi yang dibutuhkan kini sangat besar,'' ujarnya.
Dia mencontohkan, biaya EPC power plant dan fasilitasnya sudah sekitar USD 1,7 - 1,8 juta per MW, biaya pengeboran sumur atau drilling untuk kedalaman 2000 meter yang dua tahun lalu sebesar USD 5,5 juta per sumur, kini sudah naik hingga USD 7 - 8 juta per sumur. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Tambah Utang 10 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi