Ketika Pebrinawaty dan suaminya Efendi memutuskan pindah ke Launceston, mereka tak membayangkan kehidupan di salah satu kota Tasmania ini lebih mahal daripada Sydney.

"Saya sangat terdampak dengan biaya child care yang mahal," katanya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

BACA JUGA: Dokter Hewan di Australia Meminta Lebih Banyak Kucing yang Menyumbangkan Darahnya

Anak pertamanya, Christer, berusia tujuh tahun dan sudah masuk sekolah dasar. Sementara Rosselyn, anak keduanya, masih berumur 3,5 tahun.

"Yang kedua aku jaga sendiri," ujarnya.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Polisi Tiongkok Bentrok dengan Warga Etnis Muslim

Pebrinawaty mengaku tak menitipkan Rosselyn ke 'child care' atau tempat penitipan dan perawatan anak, karena biaya yang dibutuhkan tidak sebanding dengan penghasilan yang akan diperoleh jika dia bekerja.

"Saya sempat ditawarin kerja lima jam dengan rate $27.96 per jam, tapi apabila saya masukin anak di child care untuk setengah hari saja, di sini harganya $85," katanya.

BACA JUGA: Burung Kakatua di Australia Bisa Buka Tong Sampah Milik Warga, Apakah Dikunci Jadi Solusinya?

Artinya, bila Pebrinawaty menerima pekerjaan itu dan memperoleh total $139.8 untuk lima jam kerja, lalu dikurangi biaya child care setengah hari $85, maka sisa dari upahnya hanya sekitar $54.8 sehari.

"Setelah kami hitung-hitung, rasanya tidak worth it," ujarnya.

Sejak pindah ke Tasmania sekitar 3,5 tahun lalu, Efendi bekerja sebagai 'chef' selama 5 hari seminggu. Saat suaminya libur, Pebrinawaty yang bekerja.

"Ketika anak masih satu, kami gantian jaga, dan kebetulan waktu itu saya kerja di supermarket yang bukanya pagi, jadi bisa dapat shift empat sampai lima jam sehari," jelasnya.

Tapi kondisi mereka sekarang berbeda.

Menurut Pebrinawaty, mahalnya biaya hidup termasuk untuk membayar 'child care' membuat keluarga muda ini mengurungkan niat untuk menambah anak.

Mereka sedang mengajukan permohonan untuk menjadi penduduk tetap (PR), karena status bukan PR ini yang membuat mereka tidak bisa mengakses subsidi dari pemerintah untuk mendapat pelayanan penitipan dan perawatan anak, atau Child Care Subsidy (CCS).

Tapi, bahkan bagi keluarga yang bisa mengakses CCS pun, pengalamannya tidak semudah yang dibayangkan oleh keluarga yang tak menerimanya.Tetap mahal meski ada subsidi

Helena Logue, seorang guru sekolah menengah di negara bagian Victoria, memiliki dua orang anak umur tujuh dan dua tahun, yang tinggal di daerah Frankston, pinggiran Kota Melbourne.

Helena menitipkan anak bungsunya di child care, sedangkan anak sulung yang sudah sekolah juga dititip sebelum dan setelah jam sekolah.

"Karena biaya penitipan anak tinggi dan tingkat penghasilan kami tergolong menengah, CCS yang kami terima sedikit. Jadi kami memutuskan suami harus kerja sehari dari rumah untuk mengurus yang kecil," katanya.

"Saya dan suami negosiasi, dia harus tinggal di rumah sehari, saya enggak kerja sehari. Jadi, anak kami yang paling kecil dititip di child care tiga hari," jelas Helena.

"Dengan dititip tiga hari di child care bagi kami itu cukup terjangkau."

Biaya penitipan untuk anak usia dua tahun di sekitar tempat tinggal keluarga Helena mencapai $180 per hari, termasuk makan, popok, susu dan kebutuhan lainnya.

Tapi, setelah mendapat subsidi dari pemerintah lewat CCS, Hellena mengatakan biaya yang dibayar ke 'child care' sekitar $98

Makanya, menurut Helena, bagi sebagian orang tua yang bekerja, biasanya mereka mempertimbangkan apakah penghasilannya memadai dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk penitipan anak.

Meski Helena dan suaminya sama-sama bekerja dengan penghasilan yang terbilang memadai dan mendapat subsidi, biaya penitipan anak tetap dirasakan mereka cukup berat.

"Kesulitannya di situ. Saya sekarang titip yang kecil tiga hari, terus yang besar itu karena saya berangkat kerja harus pagi-pagi jadi dia dititipkan di before school care yang biayanya $20 per hari dan after school care $37 perhari."

Namun Helena menyebut keluarganya beruntung karena kebetulan dia seorang guru yang juga akan libur bila masa liburan sekolah tiba.

"Kebayang bagi keluarga yang memiliki anak kecil usia sekolah pada saat liburan sekolah, harus dititip di child care yang di tempat kami itu sekitar $150 per hari."

Meski memiliki dua penghasilan di keluarganya, Hellena mengatakan meningkatnya biaya hidup di Australia belakangan ini membuat hidup mereka tidak senyaman sebelumnya.

"Kondisi kami tidak comfortable sekarang, karena misalnya tidak bisa lagi setiap saat pergi liburan, harus menabung terlebih dahulu dan memotong biaya untuk hal-hal yang luxury."1,2 juta keluarga akan peroleh tambahan subsidi

Pemerintah Australia pimpinan Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan paket 'child care' murah sudah lolos di Parlemen pada akhir tahun 2022 dan akan diberlakukan dalam APBN mulai Juli tahun 2023.

Paket kebijakan baru ini akan berdampak pada sekitar 1,2 juta rumah tangga, dengan penambahan CCS menjadi 90 persen bagi keluarga dengan total penghasilan $80.000 per tahun atau kurang.

Sedangkan untuk rumah tangga dengan total penghasilan di atas $80.000 per tahun, subsidinya akan dikurangi 1 persen untuk setiap tambahan penghasilan $5.000, sampai subsidinya mencapai 0 persen untuk keluarga berpenghasilan total $530.000.

Dipekirakan keluarga dengan total penghasilan sekitar $120.000 dengan seorang anak yang dititipkan selama tiga hari di 'child care', akan mendapatkan penghematan $1.700 per tahun.

Cara perhitungan untuk menentukan CCS yang lebih tinggi bagi keluarga dengan beberapa anak di bawah lima tahun akan tetap berlaku dalam APBN mendatang. 

Sebelum berlakunya paket child care yang lebih murah, seperti ini cara menghitung subsidi child care.

Tapi cara tersebut berubah melalui paket ini, yang diperkirakan akan menelan biaya subsidi sebesar $55,3 miliar selama empat tahun.

Ikuti informasi menarik lainnya dari Australia melalui ABC Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rebecca Klopper: Korban Penyebaran Konten Intim yang Malah Dipolisikan

Berita Terkait