jpnn.com, JAKARTA - Ahli psikologi forensik (Psifor) Reza Indragiri Amriel memberikan pernyataan terbaru terkait kasus narkoba yang menjerat mantan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Teddy Minahasa (TM).
Dia menduga Irjen Teddy sudah dijadikan sebagai target operasi kriminalisasi.
BACA JUGA: Banyak Fakta Sidang yang Kabur, Teddy Minahasa Seharusnya Bebas dari Tuntutan Mati
Diketahui, Polres Bukittinggi awalnya hendak memusnahkan 40 kilogram sabu-sabu. Namun, Teddy kala itu diduga memerintahkan AKBP Doddy Prawiranegara selaku Kapolres Bukittinggi untuk menukar sabu-sabu sebanyak lima kilogram dengan tawas.
Perkara dengan lima terdakwa ini telah memasuki tahap tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
BACA JUGA: Teddy Minahasa Dituntut Hukuman Mati, Pakar Hukum Pidana Berkomentar Begini
"Dari satu sesi ke sesi persidangan TM dan DP berikutnya, saya menangkap 3F yang merupakan persoalan serius," tutur Reza dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (12/4/2023).
F pertama yaitu fabricated confession. Keterangan saksi adalah bukti yang diyakininya paling merusak proses persidangan. Hal ini menonjol antara pada sejumlah keterangan Linda Pujiastuti alias Anita Cepu (LA).
BACA JUGA: Dituntut Penjara 20 Tahun, Eks Anak Buah Teddy Minahasa Takut dengan Sosok Ini
Sebab, dengan mudahnya Linda membangun narasi bahwa ia bepergian berdua bersama Teddy ke Laut Cina Selatan. Di sepanjang perjalanan mereka dengan gampangnya berbuat tidak senonoh.
"Ini jelas kebohongan besar, mengingat tim Bravos Radio berhasil menemukan surat tugas resmi dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada TM dan tim untuk melakukan operasi penegakan hukum terkait narkoba," tegas Reza.
Tim itu terdiri dari sejumlah personel Polri dengan berbagai pangkat. Dengan misi resmi dan didampingi sekian banyak anggota korps Tribrata, bahkan kabarnya juga menyertakan beberapa aparat dari lembaga penegakan hukum lainnya, maka sah operasi yang Teddy pimpin dinyatakan sebagai kerja penegakan hukum yang terkendali.
"Bukan perjalanan liar. Dan gila apabila TM melakukan kemaksiatan bersama LA di tengah sorotan sekian banyak orang," kata dia, menekankan.
Atas dasar itu, Reza menilai apa pula alasan untuk percaya pada klaim Linda bahwa ia merupakan istri siri dan memiliki anak dari Teddy. Klaim itu sekonyong-konyong Linda angkat di persidangan tanpa dipantik oleh pertanyaan apa pun.
Di salah satu stasiun televisi, Arman Depari mendeskripsikan profil Linda sebagai sosok pendusta yang bahkan perlu dicek kewarasannya.
Tambahan lagi, Reza menyebut permohonan LA untuk menjadi justice collaborator (JC) ditolak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPS). Alhasil, Linda sangat layak dipandang sebagai saksi merangkap terdakwa yang buruk kredibilitasnya.
"Tinggal lagi pertanyaannya adalah keterangan palsu LA termasuk dalam kategori apa? Pertama, keterangan palsu yang ia berikan secara sukarela (voluntary false confession)? Atau kedua, keterangan palsu yang disampaikan karena adanya tekanan atau pun iming-iming pihak eksternal (coerced false confession)?" urainya.
"Mari bernalar, sebesar apa nyali LA sehingga sanggup merekayasa rangkaian cerita bohong dengan inisiatifnya sendiri?" tantang Reza.
Selanjutnya adalah forensic fraud. Ini terkait manipulasi barang bukti forensik, yakni narkoba. Indragiri menyebut indikasi forensic fraud lainnya adalah bukti chat.
Dari 900 bukti chat, ulas Reza, hanya 80 atau sekitar 10 persen saja yang disodorkan penyidik ke persidangan. Dengan demikian, sangat beralasan untuk menilai bukti chat itu sebagai data/informasi yang tidak berkualitas.
"Dari sudut pandang psifor, data/informasi yang berkualitas harus lengkap (utuh) dan akurat. Dengan bukti chat yang sangat sedikit dan terpenggal-penggal, bagaimana bisa dipastikan bahwa simpulan yang terbangun (bahwa TM mengorkestrasi penyisihan, penggantian, dan penjualan narkoba) akan akurat?" tuturnya lebih lanjut.
Apalagi karena bisa dipastikan bahwa nukilan bukti chat dikumpulkan penyidik bukan secara acak, melainkan diambil dengan tujuan tertentu (purpossive sampling). Hal ini sangat mungkin potongan-potongan chat TM dirangkai sedemikian rupa untuk mendukung tujuan (purpose) tertentu.
Dalam analisa Reza, manipulasi bukti forensik juga terlihat pada chat antara Teddy dan Dody. Bukti chat ini yang kemudian diklaim Doddy sebagai perintah Teddy agar mengganti sabu dengan tawas sebagai bonus bagi anggota kepolisian.
"Jika chat tersebut hanya berupa teks (kata-kata), maka tanpa tedeng aling-aling saya meyakini bahwa itu mutlak merupakan perintah salah dari orang (TM) yang memiliki niat jahat (criminal intent)," imbuhnya.
Hanya saja di persidangan ia mengetahui bahwa chat tersebut telah diutak-atik. Yakni, emoji berupa wajah tertawa dihilangkan sepenuhnya.
"Alhasil, begitu emoji dimunculkan sebagaimana chat TM aslinya, penilaian saya serta-merta berubah. Tentu perubahan ini berdasar, yakni sekitar seratus riset tentang komunikasi kriminal yang memuat emoji," bebernya.
Simpulannya, emoji mendatangkan konteks dan emosi yang mengubah interpretasi pesan secara keseluruhan.
Reza menjelaskan, begitu signifikannya dampak emoji, sehingga otoritas peradilan di sekian yuridiksi pun menyusun kamus serta panduan bagi hakim untuk memahami komunikasi tertulis yang memuat emoji.
Dengan kata-kata yang sama, namun memuat emoji tertawa, makna pesan Teddy menjadi serba relatif. Reza mencermati chat itu tidak lagi bisa secara absolut dipahami sebagai perintah. Apalagi chat Dody atas chat Teddy itu ternyata juga memuat emoji tertawa.
"Klop sudah, kedua perwira tersebut berada di gelombang yang sama bahwa chat mereka tidak bersifat vertikal (perintah) dari TM ke DP. Kedua polisi itu tahu satu sama lain ihwal konteks senda gurau dalam chat mereka," ungkapnya.
Dari chat Teddy dan Dody itu, Reza mengajak kembali ke fabricated confession.
Menduplikasi pembelaan diri Richard Eliezer, Dody mengaku bahwa perbuatannya menjual narkoba kepada Linda dilatari oleh perintah jahat atau tekanan Teddy.
"Pembelaan diri semacam ini diistilahkan sebagai superior order defence (SOD). Pertanyaannya, seberapa meyakinkan SOD yang diajukan oleh DP? Sama persis dengan SOD yang diangkat Richard Eliezer?" ujarnya.
Dalam khazanah psifor, lanjut Indragiri, SOD diuji lewat tiga tahap secara berurutan.
Pertama, pastikan terlebih dahulu bahwa perintah salah dari atasan benar-benar ada secara objektif. Pada tahap ini saja klaim SOD oleh Dody seketika patah.
Sebagaimana diuraikan di alinea terdahulu, chat Teddy dan Dody yang memuat teks dan emoji tertawa memperlihatkan bahwa keduanya tidak berinteraksi dalam konteks perintah atasan kepada bawahan. Karena pengujian di tahap pertama saja gagal, maka sebetulnya tidak diperlukan lagi pengujian lewat tahap-tahap berikutnya.
"Tapi okelah, mari berandai-andai bahwa TM benar-benar telah memberikan instruksi jahat kepada DP. Jadi, masuk ke pengujian tahap kedua," lanjutnya pula.
Pada tahap kedua, menurut Indragiri, perlu dicek apakah pihak penerima perintah dalam hal ini Dody memiliki kemampuan, kewenangan, kesempatan, dan sejenisnya untuk menolak instruksi dari pihak pemberi perintah dari Teddy. Jika Dody tidak memiliki hal-hal tersebut, maka SOD bersangkutan bisa diterima. Konsekuensinya, Dody akan bernasib sama dengan Eliezer.
Kenyataannya, Dody sanggup menolak chat WhatsApp berisi perintah Teddy. Di Bukittinggi, Dody juga kuasa melawan instruksi Teddy.
Di hadapan majelis hakim, Dody bahkan lantang mengutarakan kesanggupannya menentang kapolda-kapolda lain. Juga tersedia waktu berpekan-pekan bagi Dody untuk menghindari perintah Teddy.
"Itu semua memperlihatkan betapa klaim DP tentang SOD terlihat mengada-ada. Karena itu, pengujian setop sampai di sini. DP tidak patut berlindung sebagaimana Eliezer, karena situasi DP kontras dengan situasi Eliezer, titik," tegasnya.
Namun mari berandai-andai lagi. Anggaplah perintah salah Teddy sungguh-sungguh ada dan Dody benar-benar terpojok, takluk dalam kuasa Teddy. Jadi, masuk ke tahap ketiga pengujian.
Di tahap terakhir ini harus dicek: SOD layak diterima hakim jika Dody berhadapan dengan akibat sangat buruk manakala ia menentang perintah Teddy.
"Faktanya, saat DP menjawab "Siap, tidak berani Jenderal...????", TM tidak menjatuhkan sanksi apa pun kepada DP. Begitu pula ketika DP kembali berseberangan dengan atasannya di Bukittinggi, lagi-lagi tidak ada konsekuensi buruk yang DP alami," singgung Reza.
Hal ini menandakan bahwa tidak ada risiko negatif yang Dody derita. Dengan kata lain, simpul Reza, pengakuan Dody bahwa bersangkutan takut terhadap Teddy tak lebih adalah dramatisasi belaka.
"Pun saat DP mengaku lari lintang putang di PN Jakbar (gedung publik) demi menghindar dari TM, terkesan absurd sekali. Nasib DP beda jauh dengan Eliezer yang bisa dihabisi Sambo sekiranya ia berani menentang atasannya itu," tandasnya.
Akhirnya pada F ketiga: fake crime. Reza mengatakan, bertitik tolak dari fabricated dan forensic fraud sebagaimana diurai di atas maka tersedia alasan untuk menduga bahwa TM sudah dijadikan sebagai target operasi kriminalisasi.
"TM terkena sanksi etik, masuk akal. TM dijatuhi hukuman pidana, di mana perbuatan jahatnya?" cetus Indragiri.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean