Temu Kangen Eks Pemain Niac Mitra, Pernah Kalahkan Arsenal

Rabu, 07 Maret 2018 – 00:05 WIB
Mantan pemain Niac Mitra dari tiga generasi berkumpul dalam acara temu kangen di Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya, Minggu (4/3). FOTO: SIDIQ PRASETYO/JAWA POS

jpnn.com - Tiga generasi para mantan pemain Niac Mitra berkumpul dan bermain bersama di kota dan stadion tempat mereka berjaya dulu.

Hampir tiga dekade setelah bubar, para alumnusnya terus mewarnai sepak bola Indonesia dalam berbagai kapasitas.

BACA JUGA: Jahrani, Pria di Perutnya Ada Pisau dan Garpu Itu Ingin..

SIDIQ PRASETYO, Surabaya

SEBUAH umpan matang dari Jaya Hartono di sebelah kiri gagal dituntaskan Muhammad ’’Mamak’’ Zein Alhadad menjadi gol. Padahal, jika bola mengenai kepalanya, sudah pasti gawang lawan jebol.

BACA JUGA: Anak-anak Berbaur Tanpa Sekat Strata, Nur Asia Uno Terharu

Bukannya menyesal, Mamak malah tertawa. Begitu pula Jaya. Mantan bek kiri tim nasional Indonesia tersebut juga tersenyum santai.

Bisa jadi, kalau itu terjadi pada pertengahan 1980-an, ceritanya bakal berbeda. Mamak pasti akan dimarahi Jaya atau pelatih.

BACA JUGA: Erni Ingin Duduk di Depan Makam Amrozi Sambil Membawa Bunga

Maklum, pada periode tersebut, pastilah gol dan kemenangan yang menjadi target klub mereka: Niac Mitra.

Tapi, pada Minggu lalu (4/3), yang mereka jalani di Gelora 10 Nopember, Surabaya, itu bukanlah laga kompetitif. Melainkan bagian dari acara Temu Kangen Niac Mitra.

’’Saya yang punya inisiatif mengumpulkan para pemain Niac Mitra. Semua, bukan hanya satu angkatan,’’ kata Mamak.

Niac Mitra adalah klub legendaris asal Surabaya yang terjun di Galatama. Galatama alias Liga Sepak Bola Utama merupakan kompetisi semiprofesional pertama di Indonesia yang bergulir sejak 1979. Bahkan tergolong pionir di Asia.

J-League alias Liga Jepang saja belajar dari Galatama sebelum mulai digulirkan sebagai kompetisi profesional pada 1993.

Ironisnya, pada 1993–1994 itu pula untuk kali terakhir Galatama dihelat sebelum kemudian dileburkan dengan Kompetisi Divisi Utama Perserikatan menjadi Liga Indonesia.

Niac tercatat tiga kali menjuarai Galatama. Yakni pada 1980–1982, 1982–1983, dan 1986–1987. Tak cuma di dalam negeri, klub yang didirikan A. Wenas itu juga pernah menjuarai Piala Emas Aga Khan di Pakistan Timur (kini Bangladesh) pada 1979.

Dalam sebuah uji coba pada 1983 di Gelora 10 Nopember Surabaya, Niac juga sukses menaklukkan raksasa Inggris Arsenal 0-2.

Selain sederet gelar, Niac tak henti menyumbang pemain ke timnas. Sebagian di antara mereka yang hadir dalam temu kangen pada Minggu lalu tercatat pernah berkostum Garuda.

Di antaranya, Mamak, Jaya, Purwono, dan Riono Asnan. Dua legenda Singapura, Fandi Ahmad dan David Lee, juga pernah menjadi bagian dari skuad berkostum kebesaran hijau itu.

Bahkan, sang pelatih, M. Basri, yang melatih Niac Mitra mulai awal berdiri sampai bubar juga pernah menangani timnas. Bersama Iswadi Idris dan Abdul Kadir.

Temu kangen pada Minggu lalu, terang Mamak, dibarengkan dengan acara haul ke-63 kakeknya, Al Habib Husein bin Muhammad Tohir Alhadad. Kegiatan tersebut biasanya jatuh pada Februari atau Maret.

’’Pada 2018, kebetulan Maret,’’ ujar Mamak.

Paginya, para pemain, kata dia, berkumpul di rumahnya di kawasan Ampel, Surabaya. Setelah itu, siangnya baru ke Gelora 10 Nopember.

’’Tapi, ada juga yang datang ke Gelora 10 Nopember saat pertandingan,’’ ungkap Mamak yang musim lalu menjadi pelatih Persida Sidoarjo di kancah Liga 2.

Para pemain yang hadir dalam temu kangen tersebut bisa dikategorikan tiga generasi Niac Mitra. Tiga generasi tersebut terdiri atas generasi pertama atau pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.

Lalu, generasi pertengahan 1980-an dan generasi akhir 1980-an atau menjelang berakhirnya eksistensi Niac Mitra.

Dari generasi pertama, hadir Purwono, Riono Asnan, Ketip Suripno, Arifin, Wayan Diana, Yudi Suryata, Syamsul Arifin, dan Joko Malis. Kemudian, ada Mamak, Ferril Raymond Hattu, Rauf Haci, Yusman Mulyono, Agus Sarianto, Eduard Mangilomi, Jaya Hartono, Suganda, dan Nur Cholis di generasi pertengahan 1980-an. Sedangkan dari generasi terakhir ada Joko Slamet dan Nanang Kushardianto.

Hadir pula Basri, pelatih yang membawa Niac Mitra menjuarai Galatama musim 1980–1982 dan 1982–1983.

’’Saya senang dengan kegiatan seperti ini. Hanya dalam acara tertentu saya bisa bertemu dengan mereka (para pemain, Red),’’ ujar Basri.

Bagi pelatih kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 5 Desember 1942, tersebut, seluruh pemain Niac sudah seperti anak-anaknya sendiri.

’’Sekarang banyak yang tinggal berjauhan. Ada yang di Bali dan Palu (Sulawesi Tengah) yang jauh dari saya untuk bisa bertemu,’’ terang Basri yang kini tinggal di kawasan Wiyung, Surabaya.

Sebenarnya, pada 2013 kegiatan serupa pernah dilaksanakan. Tapi, ungkap Mamak, tidak ada kelanjutan alias vakum.

Maklum, sebagaimana dikatakan Basri, mereka terpencar di berbagai kota dan berbagai pulau di tanah air.

Ada yang di Denpasar, Bali. Ada yang di Makassar, Sulawesi Selatan. Ada pula yang di Palu, Sulawesi Tengah. Contoh yang terakhir ini adalah Rauf Haci.

Dan, tak semuanya juga bergelut di lapangan hijau sebagai pelatih. Ada yang menjadi pengusaha atau pegawai kantoran.

Meski memang rata-rata masih rutin bermain sepak bola. Atau minimal mengikuti perkembangannya.

Upaya mengumpulkan pemain dari tiga generasi itu sangat terbantu aplikasi WhatsApp. Di sana mereka berkumpul dalam sebuah grup percakapan. Di grup itu pula koordinasi acara dilakukan.

’’Suganda dan Nur Cholis yang menjadi koordinatornya. Jadi lebih rapi dan yang datang jauh lebih banyak dibandingkan lima tahun lalu,’’ jelas Mamak.

Putra pemilik Niac Mitra mendiang A. Wenas, Edo, ikut hadir. Dia muncul menjelang acara temu kangen hampir usai.

’’Edo kecil sudah sering ikut bersama Niac Mitra. Jadi, pemain juga dekat dengan dia,’’ ungkap Basri.

Mereka yang hadir dalam temu kangen di Gelora 10 Nopember tersebut datang dengan biaya sendiri. ’’Saya datang naik bus demi bisa bertemu dengan teman-teman lama Niac Mitra,’’ ujar Yudi Suryata, mantan bek Niac yang tinggal di Sragen, Jawa Tengah.

Di lapangan, para mantan pemain Niac itu mengadakan partai persahabatan dengan dua tim. Salah satunya PWI Jatim.

’’Ini tujuannya bukan cari menang-kalah. Yang penting silaturahminya,’’ kata Agus Sarianto.

Suasananya pun santai. Meski passing dan crossing tak sampai sasaran, atau ada peluang yang gagal dimanfaatkan, senyum saja.

Dari lapangan, para mantan penggawa Niac melanjutkan kangen-kangenan di sebuah rumah makan di kawasan Dinoyo, Surabaya.

Sayang, beberapa nama tak hadir. Salah satunya adalah bintang lapangan tengah Niac ketika menjadi juara 1980–1982, Rudy Keeltjes.

’’Iya, saya lupa kalau ada Temu Kangen Niac Mitra,’’ ujar Rudy yang saat dihubungi kemarin berada di Jember.

Niac dibubarkan Wenas pada 1989. Itu merupakan bentuk penolakan Wenas terhadap rencana pembagian kompetisi ke dalam dua wilayah. ’’Beliau maunya satu wilayah,’’ ungkap Basri.

Tapi, hampir tiga dekade sejak dibubarkan, nama Niac masih terus dikenang. Apalagi, banyak pemain didikannya yang kini terus berkiprah mewarnai sepak bola Indonesia dalam beragam kapasitas.

Jaya Hartono, misalnya, pernah membawa Persik Kediri juara Liga Indonesia. Mamak juga pernah menangani timnas kelompok umur.

Riono Asnan, Joko Malis, Yudi, dan Rudy sudah malang melintang di berbagai klub. Sedangkan Agus Sarianto serta Yusman Mulyono aktif dalam pembinaan pemain belia dan muda.

Ke depan, para mantan pemain Niac juga sepakat untuk terus menjaga komunikasi. April mendatang, mereka berencana berkumpul lagi sembari menghadiri pernikahan putra Joko Malis.

’’Kami akan bermain lagi di Gelora 10 Nopember. Semoga teman yang datang tambah banyak,’’ harap Joko yang juga ikut mengantarkan Persebaya Surabaya menjadi juara perserikatan musim 1977–1978. (*/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelang Senja di Bali, Chicco Jerikho-Putri Ikat Janji Suci


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler